Senin, 16 Juli 2012

Ukhuwah dalam Realita Kehidupan Sejarah Kaum Muslimin

Ukhuwah Islamiyah adalah bagian dari ajaran Islam yang begitu indah dan penuh berkah. Ukhuwah merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Nikmat ukhuwah ini tidak terbatasi oleh suku, negara, ras, partai, organisasi dan berbagai ikatan keduniaan lainnya. Ia murni ikatan cinta karena Allah saja. Oleh karena itu tidak boleh ada yang membatasinya dengan wilayah maupun organisasi. Selama seseorang berpredikat muslim maka ia adalah ikhwah fillah yang layak mendapat hak-hak persaudaraan yang telah diatur dalam Islam.

Dengan ukhuwah Islamiyah seperti ini terbukti telah mempersatukan manusia yang mempunyai latar belakang yang begitu beragam, meninggikan derajat manusia yang tertindas dan menciptakan kehidupan yang harmonis, rukun dan aman (sesuai dengan fitrah manusia). Islam pada awal masa dakwah di Makkah hingga masa jaya khilafah Islamiyah selama beberapa abad (Masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, khulafaur raasyidin, khilafah Umawiyah, Khilafah Abbasiah, dan Khilafah Utsmaniah, dengan total masa + 1000 tahun lebih) telah menyatukan berbagai bangsa suku dan klan yang memiliki latar belakang geografis, demologis, ekonomi, budaya, bahasa dan pendidikan yang berbeda-beda.

Betapa bangsa Arab di Jazirah Arab, bangsa Syam, bangsa Turki, bangsa Persia, bangsa Asia Tengah, bangsa Afrika, dan lainnya menyatu sebagai satu bangsa, bangsa MUSLIM. Tidak ada perbedaan dan kesenjangan diantara mereka, karena memang semuanya merasa sebagai saudara seiman.

Mari sejenak kita rasakan kenikmatan ini (walaupun hnya bisa dibayangkan saja) seandainya kita berada di jaman itu, Apabila seorang muslim di Maroko, misalnya berpergian ke Syam, maka ia akan mendapatkan kemudahan penginapan, jamuan, jaminan keamanan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya dari seluruh umat Islam di berbagai daerah dan negeri-negeri yang ia lalui dan kunjungi. Bukan karena ia seorang penguasa yang berkantong tebal, melainkan semata-mata karena ia adalah seorang muslim yang harus diperlakukan sebagai saudara sendiri oleh seluruh umat Islam yang bertemu dengannya (sesuai dg yang telah Allah perintahkan bagi setiap muslim terhadap saudara seiman), meski sebelumnya mereka tidak pernah bertemu dan belum saling kenal. Seandainya Ia kehabisan bekal dalam perjalanan pun, ia tak perlu khawatir. Toh baitul mal umat Islam telah menyediakan dana zakat untuk musafir seperti dirinya, sehingga ia tetap akan sampai di rumahnya kembali dengan selamat, tanpa harus menanggung hutang satu rupiah pun.
Ke negri  Muslim manapun ia berpergian, ia tak perlu mengeluarkan uang yang sangat banyak + sistem yang berbelit-belit untuk mengurus visa, paspor, dan surat-surat kelengkapan resmi lainnya. Karena muslim adalah saudara, ke negeri muslim manapun ia berpergian. Tidak ada sekat batas teritorial di antara negeri-negeri muslim. Kewarganegaraan mereka adalah muslim, apapun negeri yang mereka huni; Mesir, Hijaz, Syam, Turki, India, atau Uzbekistan sekalipun. Itulah wujud ukhuwah Islamiyah pada masa tegaknya syari’at Islam di sepertiga muka bumi; Afrika Utara, Afrika Timur, Asia Barat Daya, Asia Tengah, Aseia Selatan, Sebagian Eropa Barat, Eropa Timur dan Rusia.

Ketika negara-negara Imperialis Eropa mulai menjajah dunia islam pada abad 17-20M, yaitu pada masa kemuduran dunia Islam, maka ukhuwah Islamiyah merupakan salah satu bagian dari syar’at Islam yang paling gencar dihancurkan oleh penjajah Eropa. Untuk tujuan itu mereka melakukan siasat-siasat licik yang samar dengan nama-nama dan slogan-slogan palsu seperti nasionalisme, materialisme, sekulerisme, liberalisme, dan humanisme. Yang pada hakikatnya bertujuan untuk memecah-belah umat Islam dunia dalam kotak-kotak negara kecil yang dipisah-pisahkan oleh batas-batas teritorial yang samar-samar. Akibatnya, dibelakang hari kerap kali menimbulkan perpecahan dan perang saudara sesama umat Islam yang mengatasnamakan ‘patriotisme’ dan ‘harga diri bangsa’ (na’udzubillah).

Materialisme semakin memecah-belah persaudaraan umat Islam. Umat Islam diajak untuk bersaudara dan bekerjasama dengan orang-orang yang mampu memberikan keuntungan secara materi, walau mereka adalah orang-orang kafir yang memerangi Islam sekalipun. Sebaliknya materialisme menghalangi umat Islam untuk membina hubungan dengan umat Islam lainnya, selama tidak ada keuntungan duniawi yang bisa diraih dari hubungan tersebut.

Sekularisme menelanjangi umat Islam dari pakaian ‘syari’at’ yang mereka kenakan selama ini. Sekularisme membiarkan umat Islam melaksanakan sholat, shaum, zakat, dan haji. Tapi urusan politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, militer, dan bidang-bidang kehidupan lainnya harus dipastikan steril dari aturan syari’at. Maka muncul bapak haji berdasi yang menekuni ekonomi ribawi, menerapkan demokrasi sekuler Barat, tunduk pada tuan besar AS dan sekutu-sekuunya. Mereka memperjuangkan hak laki-laki dan perempuan, muslim dan non muslim, dalam semua bidang kehidupan (yang sudah sangat jelas Allah menetapkan ketidaksamaannya) Inilah salah satu bentuk penentangan terselubung atas hukum Ilahyah (na’udzubillah). HAM versi Nashrani dan Yahudi Internasional dijunjung tinggi-tinggi, sementara syari’at Islam  (yang berasal langsung dari Allah pemilik alam semesta) dikebiri dan pembela-pembelanya diperangi dan dihujani dengan propaganda dan fitnah. Mereka bersaudara dan bekerja sama (baca: memperbudakkan diri sendiri) dengan bangsa-bangsa yang oleh Allah dan Rasulnya ditegaskan sebagai MUSUH ABADI; dan terbukti telah menjajah dan menzalimi umat Islam selama tidak kurang dari empat abad. Inilah nasib ukhuwah Islamiyah pada tataran keumatan secra Internasional. Lalu bagaimana dengan ruang lingkup yang jauh lebih kecil lagi. Tak sanggup jari-jari menguraikannya.

Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Aamiin.
Wallahua’lam bi showab.

[Diketik ulang dengan beberapa penambahan redaksional dari Buku “Mizanul Muslim” Jilid I Cetakan ke III  Bab VIII Mizanul Ukhuwah, halaman 521-522, Karya Abu Ammar Abu Fatiah Al Adnani]