Minggu, 20 Mei 2012

Beratnya Proses Pernikahan Syar'i

by : Abu Harun
Waktu itu kurasakan berat hidup ini. Bukan dikarenakan perihnya mengais rizki, bukan pula karena kesulitan ekonomi, dan bukan pula karena banyaknya hutang negeri. Namun dikarenakan aku merasakan keterasingan diri.

Masih terngiang di telingaku bagaimana kerabat dan keluarga mengolok-olok sunnah ketika pertama kali, dahulu, sunnah demi sunnah yang kutampakkkan hingga aku harus mengelus dada. Dari sini aku berpikir bahwa aku harus memiliki tempat untuk mencurahkan segala perasaanku, teman yang akan memberikan inspirasi dan pelipur lara, dan teman untuk mau berjalan bersama denganku di atas sunnah nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Ya, aku berpikir bahwa aku harus menikah.

Sebelum menikah, aku membekali diriku dengan membeli kitab Adab Az Zifaf (Edisi Terj. Indonesia) yang ditulis oleh Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani [1]. Aku membacanya lembaran demi lembaran hingga selesai. Keinginanku adalah pernikahanku haruslah yang Islami dan sesuai dengan sunnah nabi, tidak ada bid’ah dan selainnya. FYI, ketika menikah aku berusia 25 tahun dan genap 2 tahun aku mengenal manhaj salaf.

Adapun calon istriku juga baru mengenal manhaj salaf.

Maka insya Allah, kami yakin bahwa ketika menjalani kehidupan bersama dengan istriku nanti, segalanya akan mudah terobati. Saling mendukung dan saling menjaga, saling mengingatkan, dan saling memberikan motivasi untuk menjaga iman dan amal shalih.
Namun apa daya, ternyata bahwa pesta ini bukan hanya pestaku seorang, namun juga dianggap menjadi pestanya keluargaku dan keluarga calon mertuaku.

Kesedihanku luar biasa. Berkata aku di dalam hati, “Bagaimana mungkin aku bisa menjadikan kehidupan rumah tanggaku di atas sunnah, sedangkan aku mengawalinya dengan cara-cara yang tidak disyariatkan.”

Sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair:
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لاَ تَجْرِي عَلىَ الْيَبَسِ
Kau dambakan keselamatan tapi engkau tak menempuh jalurnya.
Sungguh bahtera tak kan pernah berlayar di daratan.
Aku tidak bisa melawan kehendak mereka, sedangkan di hati mereka terbesit bahwa ini adalah pesta mereka juga. Mereka yang mengadakan, mereka yang merencanakan, mereka yang membuat list undangan, mereka yang membuat konsep, dan memang….. mereka sih yang mendanai.

Dalam keadaan situasi seperti itu, muncul dalam otakku untuk menggunakan salah satu kaidah dalam kaidah-kaidah ushul fiqih.
إذا تعارض ضرران دفع أخفهما
“Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka ambillah yang paling ringan.” [2]
Maka mulailah aku melobi keluarga, baik keluargaku maupun calon mertua dalam setiap perkara dari rencana-rencana mereka. Tujuanku adalah memperingan atau memperkecil perkara-perkara yang sekiranya menyelisihi syariat.

Di antaranya adalah ketika sudah mafhum sebuah pesta penikahan pasti full musik. Dan so pasti keluargaku menolak pernikahanku sepi tanpa musik. Ya udah kalo gheto maka aku sarankan jangan pakai musik pop, dangdut, atau semacamnya, tapi pakailah nasyid atau musik Islami supaya pernikahan ini bernuansa pernikahan Islami. [3]
Maka akhirnya inilah hasil dari walimah kami:
Plan OK / Tidak OK Keterangan
Lamaran tidak ribet, tidak rame, tanpa ada cincin pengikat sampai hari H. OK. Alhamdulillah lamaran hanya bertiga (saya, ibu, dan bapak) yang datang.
Panpel (panitia pelaksana) adalah ikhwan dan akhwat (teman-teman ngaji). OK. Alhamdulillah ikhwah bersedia membantu. Ketua panitia adalah kakak ipar (teman satu kampus)
Jamuan makanan dan minuman yang sederhana (tidak mubazir). OK. Alhamdulillah makanan dan minuman sederhana tapi cukup sehingga tidak ada yang ndak kebagian makanan dan kue.
Mahar (maskawin) sederhana dan ndak neko-neko, tapi berkesan. OK. Alhamdulillah mas kawin 1 set Kitab Tafsir Ibnu Katsir (Edisi Indonesia 8 jilid)
Tempat duduk tamu lelaki dan wanita dipisah. OK dan Tidak OK Di awal hari sampai siang alhamdulillah terpisah, namun menjelang sore tatkala sebagia panpel (panitia) pulang, mulailah bercambur baur tamu lelaki dan wanita. Adapun tempat pengantin HARUS berjejer (ndak boleh pisah).
Busana pengantin yang sesuai dengan sunnah. OK dan tidak OK Pertama-tama ketika akad nikah HARUS pakai pakaian adat. Menjelang sore baru boleh ganti baju pakai gamis dan jubah terserah.
Tidak ada foto-fotoan. Tidak OK Di luar rencana, ternyata kerabat ada yang mendatangkan fotographer. Namun saya meminta foto sekedarnya saja ndak usah banyak-banyak moto.
Tidak ada Shooting video Tidak OK ibid
Sholat sunnah 2 rakaat setelah sah menjadi suami istri. OK Siiip.
Tidak Dirias (Make up) OK dan Tidak OK Alhamdulillah aku tidak dirias. tetapi istri HARUS dirias. Menjelang siang ia hapus seluruh riasannya karena sholat Zhuhur. Setelah itu polos sampai akhir acara. Ploooong rasanya…
Tidak ada acara adat OK Mantabs.
Tidak ada musik. Tidak OK. Pernikahanku disetel
musik Islami semisal nasyid dan sejenisnya

Di balik layar ada kakak iparku (kakaknya istri) yang berjuang dari awal sampai akhir untuk mengurus segalanya. Beliaulah yang menjadi ketua panitia, siang dan malam ia lalui dalam persiapan pernikahan kami. Barokallahu lahu wajazahullahu khoiron, iapun rela untuk didahului oleh adiknya. Ya, ia belum menikah waktu itu. Dan 2 tahun setelah kami menikah barulah terwujudkan baginya untuk menikahi seorang akhwat, walhamdulillah.

Demikianlah aku menikah, sulit sekali untuk mewujudkan pernikahan Islami yang betul-betul disyariatkan.
Tidak setiap dambaan seseorang akan tercapai.
Angin bertiup tidak searah dengan yang dimaukan perahu.
Namun di situ aku berjanji untuk mewujudkannya dalam pernikahan anak-anak kami di masa yang akan datang. Ya, aku melangkahkan kakiku memasuki gerbang rumah tangga untuk kurindukan menjalani sunnah demi sunnah dalam kehidupan yang islami bersama keluargaku.

Dan kini Alhamdulilah aku sudah dikaruniai seorang anak lelaki yang sedang belajar abata. Wallahu a’lam.

komentar: Salut untuk perjuangannya. Beruntunglah Istri anda. Semoga Allah memberkahi pernikahan kalian. Amiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar