“Bila seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaqnya
meminang,” kata Rasulullah mengandaikan sebuah kejadian sebagaimana
dinukil Imam At Tirmidzi, “Maka,
nikahkanlah dia.” Rasulullah memaksudkan perkataannya tentang lelaki
shalih yang datang meminang putri seseorang.
“Apabila engkau tidak menikahkannya,” lanjut beliau tentang pinangan
lelaki shalih itu, “Niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan
kerusakan yang meluas.” Di sini Rasulullah mengabarkan sebuah ancaman
atau konsekuensi jika pinangan lelaki shalih itu ditolak oleh pihak yang
dipinang. Ancamannya disebutkan secara umum berupa fitnah di muka bumi
dan meluasnya kerusakan.
Bisa jadi perkataan Rasulullah ini menjadi hal yang sangat berat bagi
para orangtua dan putri-putri mereka, terlebih lagi jika ancaman jika
tidak menurutinya adalah fitnah dan kerusakan yang meluas di muka bumi.
Kita bisa mengira-ngira jenis kerusakan apa yang akan muncul jika
seseorang yang berniat melamar seseorang karena mempertahankan kesucian
dirinya dan dihalang-halangi serta dipersulit urusan pernikahannya.
Inilah salah satu jenis kerusakan yang banyak terjadi di dunia modern
ini, meskipun banyak di antara mereka tidak meminang siapapun.
“Saya,” katanya dengan aksen Madinah memperkenalkan diri pada pihak perempuan, “Adalah Abud Darda’.”
“Dan ini,” ujarnya seraya memperkenalkan si pelamar, “Adalah saudara
saya, Salman Al Farisi.” Yang diperkenalkan tetap membisu. Jantungnya
berdebar.
“Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan
yang utama di sisi Rasulullah, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai
ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar
putri Anda untuk dipersuntingnya,” tutur Abud Darda’ dengan fasih dan
terang.
“Adalah kehormatan bagi kami,” jawab tuan rumah atas pinangan Salman,
”Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah
kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rasulullah
yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada
putri kami.” Yang dipinang pun ternyata berada di sebalik tabir ruang
itu. Sang putri shalihah menanti dengan debaran hati yang tak pasti.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili putrinya.
”Tapi, karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah, saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman.”
”Tapi, karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah, saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman.”
Ah, romansa cinta Salman memang jadi indah di titik ini. Sebuah
penolakan pinangan oleh orang yang dicintainya, tapi tidak mencintainya.
Salman harus membenturkan dirinya dengan sebuah hukum cinta yang lain,
keserasaan. Inilah yang tidak dimiliki antara Salman dan perempuan itu.
Rasa itu hanya satu arah saja, bukan sepasang.
Salman ditolak. Padahal dia adalah lelaki shalih. Lelaki yang menurut Ali bin Abi Thalib adalah sosok perbendaharaan ilmu lama dan baru, serta lautan yang tak pernah kering. Ia memang dari Persia, tapi Rasulullah berkata tentangnya,
Salman ditolak. Padahal dia adalah lelaki shalih. Lelaki yang menurut Ali bin Abi Thalib adalah sosok perbendaharaan ilmu lama dan baru, serta lautan yang tak pernah kering. Ia memang dari Persia, tapi Rasulullah berkata tentangnya,
“Salman Al Farisi dari keluarga kami, ahlul
bait.” Lelaki yang bertekad kuat untuk membebaskan dirinya dari
perbudakan dengan menebus diri seharga 300 tunas pohon kurma dan 40
uqiyah emas. Lelaki yang dengan kecerdasan pikirnya mengusulkan strategi
perang parit dalam Perang Ahzab dan berhasil dimenangkan Islam dengan
gemilang. Lelaki yang di kemudian hari dengan penuh amanah melaksanakan
tugas dinasnya di Mada’in dengan mengendarai seekor keledai, sendirian.
Lelaki yang pernah menolak pembangunan rumah dinas baginya, kecuali
sekadar saja. Lelaki yang saking sederhana dalam jabatannya pernah
dikira kuli panggul di wilayahnya sendiri. Lelaki yang di ujung
sekaratnya merasa terlalu kaya, padahal di rumahnya tidak ada seberapa
pun perkakas yang berharga. Lelaki shalih ini, Salman Al Farisi, ditolak
pinangannya oleh perempuan yang dicintanya.
Salman ditolak. Alasannya ternyata sederhana saja. Dengarlah.
“Namun, jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama,
maka putri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan,” kata si ibu
perempuan itu melanjutkan perkataannya. Anda mengerti? Si perempuan
shalihah itu menolak lelaki shalih peminangnya karena ia mencintai
lelaki yang lain. Ia mencintai si pengantar, Abud Darda’. Cinta adalah
argumentasi yang shahih untuk menolak.
Ada juga kisah cinta yang lain. Abu Bakar Ash Shiddiq meminang Fathimah binti Muhammad
kepada Rasulullah. Ia ingin mempererat kekerabatannya dengan Sang Rasul
dengan pinangan itu. Saat itu usia Fathimah menjelang delapan belas
tahun. Ia menjadi perempuan yang tumbuh sempurna dan menjadi idaman para
lelaki yang ingin menikah. Keluhuran budi, kemuliaan akhlaq, kehormatan
keturunan, dan keshalihahan jiwa menjadi penarik yang sangat kuat.
“Saya mohon kepadamu,” kata Abu Bakar kepada Rasulullah sebagaimana
dikisahkan Anas dalam Fatimah Az Zahra, “Sudilah kiranya engkau
menikahkan Fathimah denganku.” Dalam riwayat lain, Abu Bakar melamar
melalui putrinya sekaligus Ummul Mukminin Aisyah.
Mendapat pinangan dari lelaki shalih itu, Rasulullah hanya terdiam
dan berpaling. “Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” kata beliau dalam
riwayat lain. “Hai Abu Bakar, tunggulah sampai ada keputusan,” kata
Rasulullah. Yang terakhir ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath
Thabaqat. Maksud Rasulullah dengan menunggu keputusan adalah keputusan
dari Allah atas kondisi dan keadaan itu, apakah menerima pinangan itu
atau tidak.
Ketika Umar bin Khathab mendengar cerita ini dari Abu Bakar langsung, ia mengatakan, “Hai Abu Bakar, beliau menolak pinanganmu.”
Kemudian Umar mengambil kesempatan itu. Ia mendatangi Rasulullah dan menyampaikan pinangannya untuk menikahi Fathimah binti Muhammad.
Tujuannya tidak terlalu berbeda dengan Abu Bakar. Bahkan jawaban yang
diberikan Rasulullah kepada Umar pun sama dengan jawaban yang diberikan
kepada Abu Bakar.
“Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” ujar beliau. “Tunggulah sampai ada keputusan,” kata Rasulullah.
Ketika Abu Bakar mendengar cerita ini dari Umar bin Khathab langsung, ia mengatakan, “Hai Umar, beliau menolak pinanganmu.”
Kita bisa membayangkan itu? Dua orang lelaki paling shalih di masa
hidup Rasulullah pun ditolak pinangannya. Abu Bakar adalah sahabat
paling utama di antara seluruh sahabat yang ada. Kepercayaannya kepada
Islam dan kerasulan begitu murni,
tanpa reverse ataupun setitis keraguan. Karena itulah ia mendapat
julukan Ash Shiddiq. Ia adalah lelaki yang disebutkan Al Qur’an sebagai
pengiring jalan hijrah Rasulullah
di dalam gua. Ia adalah dai yang banyak memasukkan para pembesar Mekah
dalam pelukan Islam. Ia adalah pembebas budak-budak muslim yang senantiasa tertindas. Ia adalah lelaki yang menginfakkan seluruh hartanya untuk jihad,
dan hanya menyisakan Allah dan Rasul-Nya bagi seluruh keluarganya. Ia
adalah orang yang ingin diangkat sebagai kekasih oleh Rasulullah. Ia
adalah salah satu lelaki yang telah dijamin menginjakkan tumitnya di
kesejukan taman jannah. Namun, lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah.
Sementara, siapa tidak mengenal lelaki shalih lain bernama Umar bin
Khathab. Ia adalah pembeda antara kebenaran dan kebathilan. Ia dan Hamzah
lah yang telah mengangkat kemuliaan kaum muslimin di masa-masa awal
perkembangannya di Mekah. Ia lelaki yang seringkali firasatnya
mendahului turunnya wahyu dan ayat-ayat ilahi kepada Rasulullah. Ia
adalah lelaki yang dengan keberaniannya menantang kaum musyrikin saat ia
akan berangkat hijrah, ia melambungkan nama Islam. Ia lelaki yang
sangat mencintai keadilan dan menegakkannya tatkala ia menggantikan
posisi Rasulullah dan Abu Bakar di kemudian hari. Ia pula yang di
kemudian hari membuka kunci-kunci dunia dan membebaskan negeri-negeri
untuk menerima cahaya Islam. Namun, lelaki shalih ini ditolak
pinangannya secara halus oleh Rasulullah.
Mari kita simak kenapa
pinangan dua lelaki shalih ini ditolak Rasulullah. Ketika itu, Ali bin
Abi Thalib datang menemui Rasulullah. Shahabat-shahabatnya dari Anshar,
keluarga, bahkan dalam sebuah riwayat termasuk pula dua lelaki shalih
terdahulu mendorongnya untuk datang meminang Fathimah binti Muhammad kepada Rasulullah. Ia menemui Rasulullah dan memberi salam.
“Hai anak Abu Thalib,” sapa Rasulullah pada Ali dengan nama kunyahnya, ”Ada perlu apa?”
Simaklah jawaban lugu yang disampaikan Ali kepada Rasulullah sebagaimana dinukil Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat.
“Aku terkenang pada Fathimah binti Rasulullah,” katanya lirih hampir
tak terdengar. Dengar dan rasakan kepolosan dan kepasrahan dari setiap
diksi yang terucap dari Ali bin Abi Thalib itu. Kepolosan dan kepasrahan
seorang pecinta akan cintanya yang demikian lama. Ia menggunakan
pilihan kata yang sangat lembut di dalam jiwa, “Terkenang.” Kata ini
mewakili keterlamaan rasa dan gelora yang terpendam, bertunas menembus
langit-langit realita, transliterasi rasa.
“Ahlan wa sahlan!” kata Rasulullah menyambut perkataan Ali. Senyum
mengiringi rangkaian kata itu meluncur dari bibir mulia Rasulullah. Kita
tidak usah sebingung Ali memahami jawaban Rasulullah. Jawaban itu
bermakna bahwa pinangan Ali diterima oleh Rasulullah seperti yang
dipahami rekan-rekan Ali.
Mari kita biarkan Ali dengan kebahagiaan diterima pinangannya oleh
Rasulullah. Mari kita melihat dari perspektif yang lebih fokus untuk
memahami penolakan pinangan dua lelaki shalih sebelumnya dan penerimaan
lelaki shalih yang ini. Kita boleh punya pendapat tersendiri tentang
masalah ini.
Ketika Rasulullah menjelaskan alasan kepada Abu Bakar dan Umar berupa
penolakan halus, kita tidak bisa menerimanya secara letter lijk. Sebab
bisa jadi itu adalah bahasa kias yang digunakan Rasulullah. Misalnya
ketika Rasulullah mengatakan bahwa Fathimah masih kecil, tentu saja ini
tidak bisa diterjemahkan sebagai kecil secara harfiah, sebab saat itu
usia Fathimah sudah hampir delapan belas tahun. Sebuah usia yang cukup
matang untuk ukuran masa itu dan bangsa Arab. Sementara Rasulullah
sendiri berumah tangga dengan Aisyah pada usia setengah usia Fathimah
saat itu. Maka, kita harus memahami kalimat penolakan itu sebagai bahasa
kias.
Saat Rasulullah meminta Abu Bakar dan Umar bin Khathab untuk menunggu
keputusan, ini juga diterjemahkan sebagai penolakan sebagaimana
dipahami dua lelaki shalih itu. Jadi, pernyataan Rasulullah itu bukan
pernyataan untuk menggantung pinangan, sebab jika pinangan itu
digantung, tentu saja Umar dan Ali tidak boleh meminang Fathimah.
Pernyataan itu adalah sebuah penolakan halus.
Atau bisa jadi, saat itu Rasulullah punya harapan lain bahwa Ali bin
Abi Thalib akan melamar Fathimah. Beliau tahu sebab sejak kecil Ali
telah bersamanya dan banyak bergaul dengan Fathimah. Interaksi yang lama
dua muda mudi sangat potensial menumbuhkan tunas cinta dan memekarkan
kuncup jiwanya. Ini dibuktikan dari pernyataan Rasulullah untuk meminta
dua lelaki shalih itu menunggu keputusan Allah tentang pinangannya.
Jadi, dalam hal ini kemungkinan Rasulullah mengetahui bahwa putrinya dan
Ali telah saling mencintai. Sehingga Rasulullah pun punya harapan pada
keduanya untuk menikah. Rasulullah hanya sedang menunggu pinangan Ali.
Di masa mendatang sejarah membuktikan ketika Ali dan Fathimah sudah
menikah, ia berkata kepada Ali, suaminya,
“Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda.”
Saya yakin kita tahu siapa yang dimaksud oleh Fathimah. Ini perspektif
saya.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan singkat Ali, “Aku terkenang pada
Fathimah binti Rasulullah.” Satu kalimat itu sudah mewakili apa yang
diinginkan Ali. Rasulullah sangat memahami ini. Beliau adalah seseorang
yang sangat peka akan apa-apa yang diinginkan orang lain dari dirinya.
Beliau memiliki empati terhadap orang lain dengan demikian kuat. Beliau
memahami bentuk sempurna keinginan seseorang seperti Ali dengan beberapa
kata saja.
Dan jawaban Rasulullah pun menunjukkan hal yang serupa, “Ahlan wa
sahlan!” Ungkapan sambutan selamat datang atas sebuah penantian.
Jadi, dengan perspektif ini, kita akan memahami bahwa lelaki shalih
yang datang untuk meminang bisa ditolak pinangannya, tanpa akan
menimbulkan fitnah di muka bumi ataupun kerusakan yang meluas. Wanita
shalihah yang dipinang Salman Al Farisi telah menunjukkan kepada kita,
bahwa ia mencintai Abud Darda’ dan menolak pinangan lelaki shalih dari
Persia itu. Rasulullah pun telah menunjukkan pada kita bahwa ia menolak
pinangan dua lelaki tershalih di masanya karena Fathimah mencintai
lelaki shalih yang lain, Ali Bin Abu Thalib. Di sini, kita belajar bahwa
cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah
argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta
berada dalam singgasana pernikahan.
Mari kita dengarkan sebuah kisah yang dikisahkan Ibnu Abbas dan
diabadikan oleh Imam Ibnu Majah. Seorang laki-laki datang menemui
Rasulullah. “Wahai Rasulullah,” kata lelaki itu,
“Seorang anak yatim perempuan yang dalam tanggunganku telah dipinang dua orang lelaki, ada yang kaya dan ada yang miskin.”
“Kami lebih memilih lelaki kaya,” lanjutnya berkisah, “Tapi dia lebih
memilih lelaki yang miskin.” Ia meminta pertimbangan kepada Rasulullah
atas sikap yang sebaiknya dilakukannya.
“Kami,” jawab Rasulullah,
“Tidak melihat sesuatu yang lebih baik dari pernikahan bagi dua orang
yang saling mencintai, lam nara lil mutahabbaini mitslan nikahi.”
Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak. Di telinga dan
jiwa lelaki ini, perkataan Rasulullah itu laksana setitis embun di
kegersangan hati. Menumbuhkan tunas yang hampir mati diterpa badai
kemarau dan panasnya bara api. Seakan-akan Rasulullah mengatakannya
khusus hanya untuk dirinya. Seakan-akan Rasulullah mengingatkannya akan
ikhtiar dan agar tiada sesal di kemudian hari.
“Cinta itu,” kata Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Tahrirul
Ma’rah fi ‘Ashrir Risalah, “Adalah perasaan yang baik dengan kebaikan
tujuan jika tujuannya adalah menikah.” Artinya yang satu menjadikan yang
lainnya sebagai teman hidup dalam bingkai pernikahan.
Dengan maksud yang serupa, Imam Al Hakim mencatat bahwa Rasulullah
bersabda tentang dua manusia yang saling mencintai. “Tidak ada yang bisa
dilihat (lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai,” kata
Rasulullah, “Seperti halnya pernikahan.” Ya, tidak ada yang lebih indah.
Ini adalah perkataan Rasulullah. Dan lelaki ini meyakini bahwa
perkataan beliau adalah kebenaran. Karena bagi dua orang yang saling
mencintai, memang tidak ada yang lebih indah selain pernikahan. Karena
cintalah yang menghapus fitnah di muka bumi dan memperbaiki kerusakan
yang meluas, insya Allah.
Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah
argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta
berada dalam singgasana pernikahan
Sumber : dakwatuna.com
Sumber : dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar