Senin, 26 Maret 2012

“Membedakan Hadist Palsu,dhaif Dan Shahih…!?”

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Ustadz, Ana mau tanya, bagaimana kita bisa tahu kalau hadist itu palsu, lemah atau dhaif serta shahih, karena ada teman yang bertanya, kalau dilihat berdasarkan perawinya atau yang meriwayatkannya, bukankah mungkin itu sifatnya subjektif? Dan hadist itu kan dibukukan jauh setelah Rasulullah wafat. Mungkin itu aja yang ana tanyakan. Jazakallah
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
 Lili Suheli

Jawaban

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Yang bisa menetapkan status sebuah hadits bukanlah kita yang awam ini, melainkan para ulama hadits. Mereka saja yang punya kapasitas, legalitas, otoritas dan tools untuk melakukannya. Dan buat kita, cukuplah kita membaca karya-karya agung mereka lewat kitab-kitab hasil naqd mereka.
Menetapkan status suatu hadits dikenal dengan istilah al-hukmu ‘alal hadits. Upaya ini adalah bagian dari kerja besar para ulama hadits . Mereka punya sekian banyak kriteria dalam menentukan derajat suatu hadits.

Secara umum, studi ini dilakukan pada dua sisi. Yaitu sisi para perawinya dan juga sisi matan haditsnya, atau isi materinya. Jadi yang dinilai bukan hanya salah satunya saja, melainkan keduanya.
Keshahihan suatu hadits akan dinilai pertama kali dari masalah siapa yang meriwayatkannya. Dan yang dinilai bukan hanya perawi pada urutan paling akhir saja. Akan tetapi mulai dari level pertama yaitu para shahabat, kemudian level kedua yaitu para tabi’in, kemudian level ketiga yaitu para tabi’it-tabi’in dan seterusnya hingga kepada perawi paling akhir atau paling bawah.

Thawus bin Kaisan

Di tengah bertaburnya lima puluh bintang hidayah yang bersinar terang  (yakni para sahabat), maka terkumpullah cahaya terang pada dirinya. Cahaya di hatinya, cahaya di lidahnya, dan cahaya di depan matanya.

Di bawah bimbingan lima puluh ulama alumnus madrasah Muhammad maka Thawus seakan menjelma menjadi duplikat  bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kemantapan iman, kejujuran kata-kata, kezuhudan dan terhadap dunia dan keberanian dalam menyerukan kalimat yang benar kendati harus ditebus dengan harga yang mahal.

Madrasah Muhammad (pengikut Muhammad) mengajarkan kepadanya bahwa agama adalah nasihat. Nasihat bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.

Fakta menjadi bukti baginya bahwa kebaikan secara total dapat terwujud bila dimulai dari penguasa. Bila baik pemimpinnya baik pula umatnya. Bila rusak pemimpinnya, rusak pula rakyatnya.

Atha Bin Abi Rabah


“Saya tidak melihat orang yang mencari ilmu karena Allah, kecuali tiga orang yakni: ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid.” Salamah bin Kuhail.

Tersebutlah, Sulaiman bin Abdul Malik, seorang Khalifah kaum muslimin dan salah seorang raja agung yang pernah bertahta di muka bumi sedang berthawaf di sekeliling Ka’bah dengan kepala terbuka dan bertelanjang kaki. Dia hanya mengenakan kain sarung dan selendang. Kondisinya kala itu sama seperti saudara-saudaranya fillah yang menjadi rakyat jelata. Sementara di belakangnya ada dua orang putranya, keduanya adalah dua anak muda yang keceriaan wajahnya bagaikan bulan purnama dan wangi dan kilauannya ibarat bunga yang sedang mekar.

Begitu khalifah menyelesaikan thawafnya, beliau menengok ke arah salah seorang pengawalnya sembari berkata,
“Di mana sahabatmu?.”

Orang itu menjawab, “Dia di sana sedang shalat”, Sambil menunjuk ke pojok Barat Masjid Al-Haram. Lalu Khalifah dengan diikuti kedua putranya menuju tempat yang ditunjuk oleh pengawal tersebut.

Para pengawal pribadinya ingin mengikuti khalifah guna melebarkan jalan bagi dan melindunginya dari suasana berdesak-desakan. Akan tetapi Khalifah melarang mereka melakukan hal itu sembari berkata,
“Para raja dan rakyat jelata sama kedudukannya di tempat ini. Tidak seorang pun yang lebih mulia dari orang lain, kecuali berdasarkan penerimaan (terhadap amalnya) dan ketakwaan. Boleh jadi ada orang yang kusut dan lusuh berdebu datang kepada Allah, lalu Allah menerima ibadahnya dan pada saat yang sama, para raja tidak diterima oleh-Nya."

Pemimpin dari kalangan Budak (Part 1)

Semoga bermanfaat,

Diriwayatkan oleh Imam Az-Zuhriy rahimahullahuta’ala, dia mengatakan “suatu hari saya datang menghadap khalifah  Abdul Malik Bin Marwan (Seorang Khalifah Bani Umayyah).

Abdul Malik berkata, “Wahai Zuhry, engkau dari mana?” Zuhri menjawab, “Aku datang dari Mekah Wahai Khalifah”

Abdul Malik bertanya, “Siapa yang Engkau tinggalkan menjadi pemimpin di Mekah?”

Zuhry berkata,  “Atha’ bin Abi Rabah

Abdul Malik : “Apakah dia dari orang Arab atau dari keturunan Budak?”

Zuhry : “Dia dari keturunan Budak”

Berkata Abdul Malik, “Dengan apa ia bisa memimpin mereka?”