Ustadz,
Ana mau tanya, bagaimana kita bisa tahu kalau hadist itu palsu, lemah
atau dhaif serta shahih, karena ada teman yang bertanya, kalau dilihat
berdasarkan perawinya atau yang meriwayatkannya, bukankah mungkin itu
sifatnya subjektif? Dan hadist itu kan dibukukan jauh setelah Rasulullah
wafat. Mungkin itu aja yang ana tanyakan. Jazakallah
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Lili Suheli
Jawaban
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Yang
bisa menetapkan status sebuah hadits bukanlah kita yang awam ini,
melainkan para ulama hadits. Mereka saja yang punya kapasitas,
legalitas, otoritas dan tools untuk melakukannya. Dan buat kita,
cukuplah kita membaca karya-karya agung mereka lewat kitab-kitab hasil
naqd mereka.
Menetapkan status suatu hadits dikenal dengan
istilah al-hukmu ‘alal hadits. Upaya ini adalah bagian dari kerja besar
para ulama hadits . Mereka punya sekian banyak kriteria dalam menentukan
derajat suatu hadits.
Secara umum, studi ini dilakukan pada dua
sisi. Yaitu sisi para perawinya dan juga sisi matan haditsnya, atau isi
materinya. Jadi yang dinilai bukan hanya salah satunya saja, melainkan
keduanya.
Keshahihan suatu hadits akan dinilai pertama kali dari
masalah siapa yang meriwayatkannya. Dan yang dinilai bukan hanya perawi
pada urutan paling akhir saja. Akan tetapi mulai dari level pertama
yaitu para shahabat, kemudian level kedua yaitu para tabi’in, kemudian
level ketiga yaitu para tabi’it-tabi’in dan seterusnya hingga kepada
perawi paling akhir atau paling bawah.
Nama para perawi paling
akhir itu adalah yang sering kita dengar sebagai hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Ibnu Majah, At-Tirmiziy, Abu Daud dan
lainnya. Akan tetapi, yang dijadikan ukuran bukan semata-mata para
perawi di level paling bawah atau paling akhir saja. Melainkan keadaan
para perawi dari level paling atas hingga paling bawah dijadikan objek
penelitian. Khususnya pada level di bawah para shahabat. Sebab para
ulama sepakat bahwa para shahabat itu seluruhnya orang yang ‘adil dan
tsiqah. Sehingga yang dinilai hanya dari level tabi’in ke bawah saja.
Satu
persatu biografi para perawi hadits itu diteliti dengan cermat.
Penelitian dipusatkan pada dua kriteria. Yaitu kriteria al-’adalah dan
kriteria adh-dhabth.
a. al-’adalah
b. adh-dhabth.
a. al-’adalah
Kriteria
pertama adalah masalah ‘adalah. Maksudnya sisi nilai ketaqwaan,
keIslaman, akhlaq, ke-wara’-an, kezuhudan dan kualitas pengamalan ajaran
Islam. Kriteria ini penting sekali, sebab ternyata kebanyakan hadits
palsu itu lahir dari mereka yang kualitas pengamalan keIslamannya
kurang.
Misalnya mereka yang sengaja mengarang atau memalsu
hadits demi menjilat penguasa. Atau demi kepentingan politik dan
kedudukan. Atau untuk sekedar mengejar kemasyhuran. Orang-orang yang
bermasalah dari segi al-’adalah ini akan dicatat dan dicacat oleh
sejarah. Mereka akan dimasukkan ke dalam daftar black-list bila ketahuan
pernah melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan aqidah, akhlaq dan
etika Islam.
Bahkan para ulama sampai melahirkan disiplin imu
khusus yang disebut ilmu al-jarhu wa at-ta’dil. Ilmu ini mengkhususkan
diri pada database catatan hitam seseorang yang memiliki cacat atau
kelemahan. Orang-orang yang dianggap cacat mendapatkan julukan khas
dalam ilmu ini. Misalnya si fulan adalah akzabun nass , fulan kazzab ,
si fulan matruk dan sebagainya.
b. Krieria adh-dhabth
Kriteria
adh-dhabth adalah penilaian dari sisi kemampuan seorang perawi dalam
menjaga originalitas hadits yang diriwayatkanya. Misalnya, adakah dia
mampu menghafal dengan baik hadits yang dimilikinya. Atau punyakah
catatan yang rapi dan teratur. Sebab boleh jadi seorang perawi memiliki
hafalan yang banyak, akan tetapi tidak dhabith atau tidak teratur,
bahkan boleh jadi acak-acakan bercampur baur antara rangkaian perawi
suatu hadits dengan rangkaian perawi hadits lainnya.
Biasanya
dari sisi adh-dhabth ini para perawi memang orang yang shaleh. Tetapi
kalau hafalan atau database periwayatan haditsnya acak-acakan, maka dia
dikatakan tidak dhaabith. Cacat ini membuatnya menempati posisi lemah
dalam daftar para perawi hadits. Hadits yang diriwayatkan lewat dirinya
bisa saja dinilai dha’if atau lemah.
Kebutuhan pada Ensiklopedi Hadits Lengkap
Untuk
mendapatkan kumpulan hadits yang shahih, kita bisa membuka kitab yang
disusun oleh para ulama. Di antara yang terkenal adalah kitab Ash-Shahih
yang disusun oleh Al-Imam Al-Buhkari dan kitab Ash-Shahih yang disusun
oleh Imam Muslim. Akan tetapi bukan berarti semua haditsmenjadi tidak
shahih bila tidak terdapat di dalam kedua kitab ini.
Sesungguhnya,
kedua kitab ini hanya menghimpun sebagian kecil dari hadits-hadits yang
shahih. Di luar kedua kitab ini, masih banyak lagi hadits yang shahih.
Keberadaan
kedua kitab itu meski sudah banyak bermanfaat, namun masih diperlukan
kerja keras para ulama untuk mengumpulkan semua hadits yang ada di muka
bumi, lalu satu per satu diteliti para perawinya. Dan seluruhnya disusun
di dalam suatu database. Sehingga setiap kali kita menemukan suatu
hadits, kita bisa lakukan searching, lalu tampil matan-nya beserta para
perawinya dengan lengkap mulai dari level shahabat hingga level
terakhir, sekaligus juga catatan rekord tiap perawi itu secara legkap
sebagaimana yang sudah ditulis oleh para ulama.
Yang sudah ada
sekarang ini baru program sebatas hadits-hadits yang ada di dalam 9
kitab saja, yang dikenal dengan kutubus-sittah. Program ini sudah
lumayan membantu, karena bisa dikemas dalam satu keping CD saja. Bahkan
Kementerian Agama, Wakaf, Dakwah dan Irsyad Saudi Arabia membuka situs
yang memuat database kesembian kitab hadits ini, sehingga bisa diakses
oleh siapa saja dan dari mana saja di seluruh dunia secara gratis.
http://hadith.al-Islam.com
Sayangnya,
hadits-hadits yang ada di program ini masih terbatas pada 9 kitab
hadits saja, meski sudah dilengkapi dengan kitab-kitab penjelasnya .
Padahal ada begitu banyak hadits yang belum tercantum di dalam
kutubus-sittah. Lagi pula program itu pun belum dilengkapi dengan
al-hukmu ‘alal hadits. Baru sekedar membuat database hadits yang
terdapat di 9 kitab itu. Dan meski setiap hadits itu sudah dilengkapi
nama-nama perawinya, namun belum ada hasil penelitian atas status para
perawi itu. Jadi hadits-hadits itu masih boleh dibilang mentah.
Proyek
ini cukup besar untuk bisa dikerjakan oleh perorangan. Harus ada
kumpulan team yang terdiri dari ribuan ulama hadits dengan spesifikasi
ekspert. Mereka harus bekerja full-time untuk jumlah jam kerja yang juga
besar. Tentu saja masalah yang paling besar adalah anggaran.
Sampai
hari ini, sudah ada beberapa lembaga yang merintisnya. Para ulama di
Al-Azhar Mesir, para ulama di Kuwait, para ulama di Saudi dan di
beberapa tempat lain, masing-masing sudah mulai mengerjakan. Sayangnya
hasilnya belum juga nampak. Barangkali karena mereka bekerja
sendiri-sendiri dan tidak melakukan sinergi. Padahal kalau semua potensi
itu disatukan dalam sebuah managemen profesioal, insya Allah kita bisa
menyumbangkan sesuatu yang berharga di abad 15 hijriyah ini.
Hitung-hitung
sebagai kado untuk kebangkitan Islam yang sudah sejak lama
didengung-dengungkan itu. Sebuah warisan pekerjaan dari generasi lampau
untuk kita demi mencapai masterpiece.
Wallahu a’lam bishshawab wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc
Sumber : Membedakan Hadist Palsu,dhaif Dan Shahih…!? [http://www.salaf.web.id]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar