Umar bin Abdul Aziz, itulah dia mukjizat Islam! Sebuah lembaran putih
di antara lembaran-lembaran hitam dinasti Bani Marwan. [1] Sosok
manusia pilihan yang lahir dari perpaduan antara dua unsur yang amat
bertolak belakang!
Ya, sekali lagi amat bertolak belakang! Mengapa demikian?
Ia
terlahir dari keluarga Bani Umayyah yang terhitung keluarga ningrat,
pemegang tampuk kekuasaan. Ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan, seorang
gubernur Mesir yang diangkat oleh saudaranya, Amirul Mukminin Abdul
Malik bin Marwan. Abdul Aziz memerintah Mesir selama 20 tahun.
Sebagai
gubernur, hidupnya tentu penuh dengan kenikmatan. Hidangan lezat,
istana megah, pakaian indah, dan kendaraan mewah. Adapun ibunya bernama
Ummu ‘Ashim, Laila binti ‘Ashim bin Umar bin Khaththab. Seorang wanita
dari keluarga Umar bin Khaththab yang tersohor dengan kezuhudan dan pola
hidupnya yang amat bersahaja.
Nah, dari perpaduan dua unsur
inilah terlahir sosok Umar bin Abdul Aziz, si Mukjizat Islam. Sungguh,
riwayat hidupnya merupakan fenomena yang sangat luar biasa.
Menggambarkan sosok pribadinya, sungguh merupakan suatu hal yang sulit
dilakukan.
Memang benar, terhadap suatu sejarah besar, selalu
ditemui pertanyaan dan keraguan yang mengharubirukan kita tentang diri
seorang besar dan pemimpin adil semisal beliau ini.
Sebenarnya,
kesulitan sesungguhnya yang kita hadapi ialah dari sekian banyak
kumpulan fakta yang berhubungan dengan kebesaran dan kelebihannya, sisi
mana yang mesti diambil dan mana yang mesti ditinggalkan. Ketaatan dan
ketekunannya dalam beribadah, ketinggian jiwanya, kewibawaannya,
keadilannya, atau sepak terjangnya yang mengagumkan itu? [2]
Akan
tetapi, agar pembaca tak terlena karena terlalu asyik mengikuti cerita
ini, maka kali ini penulis hanya ingin menitikberatkan pada salah satu
faktor utama yang ikut mewarnai pribadi seorang Umar bin Abdul Aziz.
Faktor tersebut bermula dari keshalihan istri ‘Ashim bin Umar bin Khaththab,
yang merupakan nenek dari Umar bin Abdul Aziz.
Khalid Muhammad Khalid, seorang penulis mesil kondang menuturkan dalam bukunya Khulafaur Rasul sebagai,
Waktu
itu, malam gelap gulita...
Kota Madinah telah tertidur lelap. Semua orang
sedang terbuai dalam mimpi di rumahnya masing-masing. Namun, di sana
masih ada seseorang yang tetap terjaga karena gelisah diusik rasa
tanggung jawabnya yang demikian besar, dan memang ia selalu gelisah
seperti itu, sehingga tak pernah barang sekejap pun dapat berdiam diri.
Ditelusurinya
jalan-jalan dan lorong kota Madinah yang sempit itu, yang terasa
hanyalah kegelapan malam yang hitam pekat bagai tinta, dan angin dingin
yang menusuk tulang.
Orang itu keluar dan berjalan
mengendap-endap. Setiap rumah diamatinya dari dekat dengan seksama.
Dipasangnya telinga dan matanya baik-baik, kalau-kalau ada penghuninya
yang masih terjaga karena lapar, atau yang tak dapat memicingkan matanya
karena sakit, atau yang merintih dalam penderitaan, atau barangkali ada
seorang pengelana yang terlantar.
Ia selalu mengamati kalau-kalau
ada kepentingan rakyatnya yang luput dari perhatiannya, karena ia yakin
betul bahwa semuanya itu nanti akan dimintakan pertanggungjawaban
kepadanya. Diperhitungkan inci demi inci, butir demi butir, dan tak
mungkin ada yang terlewatkan di hadirat Allah Ta’ala.
Orang itu
adalah khalifah kaum muslimin, sosok yang selama ini mereka panggil
dengan Amirul Mukminin. Benar! Ia tiada lain adalah Umar bin Khaththab.
Sudah
panjang jalan dan lorong yang ditelusurinya malam itu, sehingga
tubuhnya terasa letih, keringat pun mengucur dari sekujur tubuhnya
meskipun malam itu begitu dingin. Oleh sebab itu, ia menyandarkan
tubuhnya pada sebuah dinding rumah kecil nan reot.
Karena letih,
ia duduk di tanah sambil mencoba beristirahat barang sejenak. Setelah
letih kedua kakinya mulai terasa berkurang, ia bermaksud melanjutkan
langkah menuju ke mesjid. Sebab, tidak lama lagi fajar segera
menyingsing.
Tiba-tiba, di saat duduk bertumpu pada kedua
tangannya, didengarnya ada suara lirih dalam gubuk itu. Suara itu
merupakan percakapan yang terjadi antara seorang ibu dengan anak
gadisnya. Yaitu tentang susu yang baru saja mereka perah dari kambing
mereka, untuk dijual di pasar pagi hari nanti.
Si Ibu meminta agar
anaknya mencampur susu itu dengan air, sehingga takarannya lebih banyak
dan keuntungan yang diperolehnya nanti dapat mencukupi kebutuhan mereka
hari itu.
Amirul Mukminin memasang telinganya lebih baik lagi untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
“Nak, campurlah susu itu dengan air!” kata si ibu.
“Tidak boleh, Bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air,” jawab gadis itu.
“Tetapi semua orang melakukan hal itu, Nak. Campur sajalah! Toh Amirul Mukminin tidak melihat kita melakukannya.”
“Bu, sekalipun Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Rabb Amirul Mukminin pasti mengetahuinya,” jawab gadis itu.
Mendengar
ucapan si gadis tadi, berderailah air mata Amirul Mukminin, ia tak
kuasa menahan tangis saking harusnya. Bukan air mata kesedihan,
melainnkan air mata ketakjuban dan kegembiraan.
Bergegas ia
bangkit dan melangkah menuju mesjid, lalu shalat fajar bersama para
sahabatnya. Seusai menunaikan shalat, ia segera pulang ke rumahnya.
Dipanggillah putranya, ‘Ashim, dan diperintahkannya untuk berkunjung
kepada ibu si gadis di rumah reot itu, dan menyelidiki keadaan mereka.
‘Ashim
kembali seraya menyampaikan kepada bapaknya perihal penghuni rumah yang
didatanginya. Amirul Mukminin kemudian menceritakan percakapan yang
didengarnya malam tadi kepada putranya, sehingga ia memerintahkan
kepadanya untuk menyelidiki keadaan keluarga itu.
Di akhir
percakapan itu, Amirul Muminin lalu berkata kepada putranya yang saat
itu sudah waktunya untuk berumah tangga, “Pergilah temui mereka, dan
lamarlah gadis itu untuk jadi istrimu. Aku melihat bahwa ia akan memberi
berkah kepadamu nanti. Mudah-mudahan pula ia dapat melahirkan keturunan
yang akan menjadi pemimpin umat!”
‘Ashim pun akhirnya menikahi
gadis miskin tapi mulia dan suci hati. Mereka berdua dikaruniai seorang
putri yang mereka beri nama Laila, yang kemudian lebih terkenal dengan
panggilan Ummu ‘Ashim.
Ummu ‘Ashim ini tumbuh menjadi seorang
gadis yang taat beribadah dan cerdas, yang akhirnya diperistri oleh
Abdul Aziz bin Marwan, dan dari keduanya terlahirlah Umar bin Abdul
Aziz.
Demikianlah silsilah keturunan mereka, dan nyatalah bashirah
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab tentang diri gadis yang membawa
berkah itu. [3]
وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ كُلُّ
امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman lalu
anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, maka Kami hubungkan
anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun
dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya.” (Qs. Ath-Thur: 21)
Sosok Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
Beliau dilahirkan pada tahun 60 Hijriah, bertepatan dengan tahun mangkatnya Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan,
pendiri Daulah Umawiyah. ‘Umar adalah lelaki yang berparas elok,
berkulit putih, berjambang tipis, bertubuh kurus, dan bermata cekung.
Pada wajahnya terdapat bekas tapal kuda. Memang sewaktu kecil ia pernah
masuk ke kandang kuda lalu ditendang pada bagian kepalanya, karenanya ia
disebut Asyaj Bani Umayyah, artinya orang dari Bani Umayyah yang
terluka kepalanya. [4]
Kecerdasan Umar bin Abdul Aziz
Salah
seorang tokoh ahlul bait yang bernama Muhammad bin ‘Ali al-Baqir pernah
ditanya tentang ‘Umar, maka jawabnya, “Dialah orang cerdasnya Bani
Umayyah, kelak ia akan dibangkitkan sebagai umat seorang diri.”
Maimun bin Mihran berkata, “Para ulama di samping ‘Umar tak ubahnya seperti santri.” Imam
Ahmad pernah berkata, “Diriwayatkan dalam hadits, bahwa Allah akan
membangkitkan di penghujung tiap abad seorang alim yang akan
memperbaharui keberagaman umat ini. Setelah kami perhatikan, ternyata
pada seratus tahun pertama Umarlah orangnya. Sedangkan pada seratus
tahun berikutnya ialah asy-Syafi’i.” [5]
Ketawadhuan Umar bin Abdul Aziz
Usai memakamkan Sulaiman bin Abdil Malik, ‘Umar mendengar suara gemuruh dan derap kuda. Ia pun bertanya, “Ada apa ini?”
“Ini
adalah kendaraan resmi kekhalifahan, wahai Amirul Mukminin. Ia sengaja
didatangkan kemari agar Anda menungganginya,” jawab seseorang.
“Aku tak membutuhkannya, jauhkan ia dariku. Kemarikan saja bighalku,” [6] jawab ‘Umar enteng.
Maka,
mereka mendekatkan bighalnya dan `Umar pun menungganginya. Tapi
tiba-tiba datanglah kepala keamanan yang mengawal ‘Umar dari depan
sembari memegang tombak. “Apa-apaan ini? Aku tak perlu pengawal. Aku
hanyalah salah seorang dari kaum muslimin,” kata ‘Umar. [7]
Maimun
bin Mihran meriwayatkan bahwa suatu ketika ia bertemu dengan ‘Umar bin
Abdul Aziz, lalu ‘Umar memintanya untuk menyampaikan sebuah hadits dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, Maimun menyebutkan
satu hadits yang amat berkesan hingga ‘Umar menangis sejadi-jadinya,
lalu kata Maimun, “Wahai Amirul Mukminin, kalau saja aku tahu Anda bakal
menangis niscaya akan kubawakan hadits lain yang lebih ringan.”
“Wahai
Maimun, ini gara-gara kami terlalu banyak makan kacang adas, dan sejauh
yang kuketahui, ia bisa melunakkan hati, memperbanyak air mata, dan
melemaskan badan,” sanggah ‘Umar.
Al-Ishami mengomentari kisah
ini dengan mengatakan, “Dia benar, memang kacang adas memiliki
sifat-sifat itu, akan tetapi rahasia sesungguhnya yang menyebabkan ‘Umar
menangis ialah karena hatinya amat takut kepada Allah. Akan tetapi, ia
punya alasan untuk menisbatkan sebab tangisnya pada adas, karena
pengaruhnya yang memang seperti itu. Seakan ia ingin menjauhkan dirinya
dari sesuatu yang mungkin menimbulkan riya’.” [8]
Mutiara Hikmah ‘Umar bin Abdul Aziz
Begitu
terpilih menjadi Khalifah, ‘Umar langsung berpidato di depan rakyatnya.
Ia menghaturkan puji-pujian kepada Allah dan salawat atas Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berkata, “Kuwasiatkan kepada
kalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah karena takwa adalah
pengganti segalanya, namun segalanya tak bisa menggantikan takwa.
Beramallah untuk akhirat kalian, karena barangsiapa beramal untuk
akhiratnya pastilah Allah mencukupi baginya perkara dunianya.
Perbaikilah
batin kalian, niscaya Allah akan memperbaiki lahiriah kalian.
Perbanyaklah mengingat kematian dan bersiap-siaplah sebelum ia datang,
karena kedatangannya merupakan penghapus setiap kenikmatan.
Sesungguhnya
orang yang tahu bahwa leluhurnya telah tiada semua, mestinya sadar
bahwa dirinya amat pantas untuk mati. Ingatlah bahwa umat ini tidak
berselisih lantaran Tuhan mereka, tidak pula lantarang Nabi-Nya atau
kitab suci-Nya. Akan tetapi mereka berselisih lantaran dinar dan dirham,
dan sungguh, demi Allah, aku tak akan memberikan yang batil pada
seorang pun, dan tidak pula menahan yang haq darinya,” kemudian ‘Umar
mengangkat suaranya keras-keras hingga terdengar semua orang, “Saudara
sekalian, siapa yang taat kepada Allah, maka ia wajib ditaati, dan siapa
yang bermaksiat kepada-Nya, maka tak ada ketaatan baginya. Taatilah aku
selama aku taat kepada Allah, namun jika aku bermaksiat maka janganlah
kalian menaatiku!” [9]
Catatan kaki:
[1] Penulis sengaja
menyebutnya sebagai Bani Marwan dan bukan Bani Umayyah, agar ungkapan
ini tidak mencakup pendiri Daulah Umawiyah yang merupakan seorang
sahabat Rasulullah yang mulia, yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan, karena
sepeninggal Mu’awiyah dan putranya Yazid, tampuk kekuasaan beralih
kepada Marwan bin Abdul Hakum dan keturunannya, yang terkenal suka
mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya dan para khalifahnya
gemar berfoya-foya, serta sederetan rapor merah lainnya yang menjadi
ciri khas pemerintahan mereka. Jadi, merekalah yang kami maksudkan di
sini, pen.
[2] Lihat: Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, oleh Khalid Muhammad Khalid, hlm. 605–608.
[3] Lihat: Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, hlm. 614–617, dengan sedikit penyesuaian.
[4] Lihat: Al-Wafi bil Wafayat: 7/157.
[5] Lihat: Shifatush Shafwah: 1/199.
[6] Bighal adalah hasil perkawinan silang antara keledai jantan dan kuda betina.
[7] Lihat: Shifatush Shafwah: 1/199.
[8] Lihat: Samthun Nujumil Awali, oleh al-Ishami.
[9] Tarikh Dimasyq: 45/358, oleh Ibnu Asakir.
Sumber: Ibunda para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, Wafa Press, Cetakan Pertama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar