Senin, 05 Desember 2011

Pentingnya Ilmu dalam Pernikahan


Pernikahan adalah hal yang fitrah….. didambakan oleh setiap orang yang normal, baik itu laki-laki maupun perempuan yang sudah baligh. Dan disyariatkan oleh Islam, sebagai amalan sunnah bagi yang melaksanakannya.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dengan rasa saling tertarik kepada lawan jenis dan saling membutuhkan, sehingga dengan itu saling mengasihi dan mencintai untuk mendapatkan ketenangan dan keturunan dalam kehidupannya. Bahkan pernikahan adalah merupakan rangkaian ibadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang di dalamnya banyak terdapat keutamaan dan pahala besar yang diraih oleh pasangan tersebut.

Walaupun demikian, banyak kita jumpai pada saudara-saudarai kita tealah salah menilai suatu pernikahan, bahkan di kalangan mereka tidak mengerti ilmu sekalipun.Langkah awal melakukan pernikahan didasari karena ingin lari dari suatu problem yang sedang dialami. Sebagai contoh kasus dibawah ini:

Fulanah adalah seorang muslimah, yang sudah mengkaji ilmu dien. Ia mempunyai konflik yang cukup berat dengan orang tuanya, mungkin dengan sedikitnya ilmu maka ia kurang bisa dalam bermuamalah dengan orang tuanya, atau mungkin juga karena kurang fahamnya tentang bagaimana pengalaman daripada Birrul-walidain (Berbakti kepada kedua orang tua-ed). Masalahnya ia akan dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tuanya yang menurutnya tidak sepaham dalam hal manhaj (pemahaman). Alasan ini adalah terpuji di dalam Islam, namun cara pendekatan dan cara menolak kepada orang tuanya yang mungkinkurang baik. Keua orang tuanya mendesak terus agar ia menerima lelaki yang dianggap tepat untuk pasangan hidup anaknya. Fulanah sangat bingung, apalagi orangtuanya mulai mengancam dengan berbagai ancaman. Kebingungannya itu, ia kemukakan kepada salah seorang teman perempuannya sepengajian yang sudah nikah. Temannya itu pun dengan spontan menyarankan supaya dia menikah dengan teman suaminya. Fulanah dengan senang hati menerima usulan tersebut, sejuta harapan yang indah …. bayangkan ! Ia akan terbebas dari problem yang sedang ia hadapi dan dapat menjadi istri seseorang yang sefaham dengannya nanti … bisa ngaji sama-sama, bisa mengamalkan ilmu sama-sama. Lelaki yang dimaksudpun akhirnya merasa iba setelah mendengar cerita tentang keistiqomahan Fulanah. Dia beranggapan bahwa Fulanah lebih perlu ditolong, sekalipun cita-citanya yang menjadi taruhannya. Sebenarnya ia belum siap untuk menikah, karena sedang menimba ilmu dien bahkan baru mulai merasakan lezatnya menimba ilmu.

Singkat cerita akhirnya dengan izin Allah menikahlah mereka. Orang tuanya yang tadinya bersikeras, mengizinkan dengan ketulusan hati seorang bapak kepada putrinya, demi kebaikan anaknya. Pernikahan berlangsung dengan disaksikan oleh kedua orangtua Fulanah dan teman-temannya.

Mulanya pasangan ini kelihatan bahagia. Dengan seribu cita-cita dan angan-angan. Fulanah ingin membentuk rumah tangga yang Islami bersama suami yang akan selalu membimbing dia dan akan selalu bersama disampingnya.

Hari-hari terus berjalan sebulan-dua bulan…, mereka mulai mengetahui kelemahan masing-masing, dan mulailah timbul perasaan kecewa di hati mereka, harapan dan cita-cita tidak sesuai dengan kenyataan. Si isteri kurang mengetahui tentang hal-hal yang harus ia lakukan, misalnya ketika suami pulang dari luar rumah; ia berpenampilan seadanya, bahkan terkesan kusut dan tidak menarik. Mungkin ia menganggap suaminya orang baik yang tidak perlu memandang wanita yang berpenampilan indah dan menarik. Ini hanya satu contoh dan masih banyak hal lagi yang membuat suami kecewa. Sang suami yang sudah pernah merasakan lezatnya menimba ilmu, ingin kembali sibuk dalam majlis ilmu. Baginya duduk bersama teman-teman semajlis ilmu lebih mengasyikkan dari pada duduk bersama isteri yang “menjenuhkan.

Fulanah yang masih kurang ilmu diennya, menilai bahwa suaminya telah menelantarkannya. Fulanah merasa tertekan melihat tingkah laku suaminya yang demikian. Tak tahu harus berbuat apa. Ia memang kurang mempunyai bekal ilmu untuk menghadapi pernikahan. Konflik rumah tangga pun terjadi. Ternyata konflik dengan orang tuanya yang dulu, lebih ringan rasanya dibanding dengan konfliknya yang sekarang. Kalau sudah seperti ini …. apa yang ingin ia lakukan? Cerai … dan kembali ke orang tua ? …. wal’iyadzubillah, bukan hal yang mudah !

Sesungguhnya kasus yang terjadi di atas banyak kita jumpai di kalangan muslim dan muslimah yang tanpa pikir panjang dan tanpa persiapan apa-apa dalam langkahnya menuju nikah. Bahkan ada problem rumah tangga yang lebih parah lagi akibat dari pernikahan yang tanpa dilandasi oleh ilmu dien, amalan dan ketaqwaan. Misalnya ada kemaksiatan yang terjadi di dalam rumah tangga tersebut ; suami menyeleweng atau sebaliknya, yang membuat rumah tangga menjadi runyam berantakan. Nikah yang katanya untuk mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan serta untuk mewujudkan cita-cita yang indah dan mulia, menjadi sebaliknya. Akhirnya keluarga dan anak-anak yang akan jadi korban kecerobohan karena faktor ketergesaan.

Memang untuk mendapatkan keluarga sakinah seperti yang dicita-citakan setiap muslim dan muslimah, tidak semudah yang dibayangkan. Ternyata pemahaman ilmu dien yang cukup dari masing-masing pihak memegang peran penting untuk mewujudkan cita-cita tersebut, mengingat dalam rumah tangga banyak permasalahan yang akan timbul. Seperti bagaimana memenuhi hak dan kewajiban suami-istri, apa tugas masing-masing dan bagaimana cara mendidik anak. Bagaimana mungkin jika tidak kita persiapkan sebelumnya? Disinilah salah satu hikmah diwajibkannya bagi setiap muslim untuk mencari ilmu.

Pentingnya Ilmu

Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh sekelompok shahabat di antaranya Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu :

“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim"
(HR. Ahmad dalam Al’Ilal, berkata Al Hafidz Al Mizzi; hadits hasan. Lihat Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi, ta’lif Ibnu Abdil Baar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang membahas panjang lebar tentang derajat hadits ini)

Ilmu yang demaksud di atas adalah ilmu dien yaitu pengenalan petunjuk dengan dalilnya yang memberi manfaat bagi siapa pun yang mengenalnya.

Kita harus berilmu agar selamat hidup di dunia dan di akhirat. Karena dengan berilmu kita akan tahu mana yang diperintahkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan mana yang dilarang, atau mana yang disunnahkan oleh Rasul-Nya dan mana yang tidak sesuai dengan sunnah (bid’ah).

Dengan ilmu kita tahu tentang hukum halal dan haram, kita mengetahui makna kehidupan dunia ini dan kehidupan setelah kematian yaitu alam kubur, kita tahu kedahsyatan Mahsyar dan keadaan hari kiamat serta kenikmatan jannah dan kengerian neraka, dan lain sebagainya.

Dengan ilmu dapat mendatangkan rasa takut kepada Allah Ta’ala, karena sungguh Dia Yang Maha Mulia telah berfirman :

“Sesungghnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya adalah orang yang berilmu (ulama). "(QS. Fathir : 28)

Dengan rasa takut kepada Allah ta’ala amalan yang kita lakukan ada kontrolnya, dibenci atau diridhai oleh Allah ta’ala.

Imam Ahmad berkata :
“Asalnya ilmu adalah takut (takwa) kepada Allah Ta’ala (Lihat Hilyah Thalibul ‘Ilmi, ta’lif Bakr bin Abdillah Abu Zaid, hal. 13)

Orang yang berilmu akan tahu betapa berat siksa Allah sehingga ia takut berbuat maksiat kepada Allah. Ilmu juga membuat orang tahu betapa besar rahmat Allah Ta’ala sehingga dalam beramal ia selalu mengharap ridha-Nya semata.

Perlu diingat bahwa bukanlah yang dimaksud dengan orang berilmu itu adalah orang yang memiliki banyak kitab atau riwayat yang diketahui, tapi yang dinamakan berilmu apabila orang tersebut memahami apa yang disampaikan kepadanya dari ilmu-ilmu tersebut dan mengamalkannya. (Lihat Syarhus Sunnah oleh Al Imam Al Barbahari)

Ilmu merupakan obat bagi hati yang sakit dan merupakan hal yang paling penting bagi setiap manusia setelah mengenal diennya. Sehingga dengan mengenal ilmu dan mengamalkannya akan menjadi sebab bagi setiap hamba untuk masuk jannah-Nya Allah Ta’ala dan bila jahil terhadap ilmu bisa menyebabkan ia masuk neraka.

Ilmu adalah warisan dari para Nabi dan merupakan cahaya hati, setinggi-tinggi derajatnya di antara manusia dan sedekatnya-sedekatNya manusia kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala :

“… Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…(Al Mujaadilah : 11)

Kebutuhan seorang hamba akan ilmu dien ini, melebihij kebutuhan akan makan dan minum sampai digambarkan bahwa kebutuhan ilmu itu sama seperti manusia membutuhkan udara untuk bernapas.

Last edited by rofa310887; 28-02-2011 at 04:02 PM..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar