Sebagaimana kita ketahui bahwa puasa seorang muslim dimulai sejak terbit fajar shodiq hingga tenggelamnya matahari.
Nah, bagaimanakah cara berpuasa bagi kaum muslimin di daerah kutub
yang mana matahari terbit sebentar lalu tenggelam atau tidak terbit
matahari sama sekali. Atau mengalami malam hanya sebentar dan sisanya
adalah siang hari?
.
.
Klasifikasi
Negara-negara di belahan dunia ini menurut lokasi garis katulistiwa terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama : Negara-negara yang terletak pada dua garis katulistiwa 45 dan 48 derajat utara dan selatan. Negara-negara ini bisa membedakan seluruh tanda-tanda alam untuk penetapan waktu dalam dua puluh empat jam, baik waktunya panjang atau pendek.
Kedua : Negara-negara yang terletak pada dua garis katulistiwa 48 dan 66 derajat utara dan selatan. Negara-negara ini tidak bisa membedakan sebagian tanda-tanda alam dalam penentuan waktu pada beberapa hari dalam setahun. Seperti tidak bisa melihat hilangnya mega merah yang menandai masuknya waktu sholat isya’ dan berakhirnya waktu sholat maghrib hingga tersamarkan dan tercampur dengan waktu shubuh.
Ketiga : Negara-negara yang terletak di atas garis katulistiwa 66 derajat utara dan selatan hingga ke daerah kutub. Negara-negara ini tidak bisa melihat tanda-tanda alam untuk penetapan waktu dalam kurun waktu yang lama dalam setahun siang atau malamnya. [1 ]
.
Cara Berpuasa
Lantas, bagaimana cara berpuasa bagi tiga kelompok Negara di atas? Lembaga Kibar Ulama di Saudi Arabia pernah ditanya permasalahan ini, yang kesimpulan jawabannya adalah sebagai berikut:
Pertama :
Barang siapa yang tinggal di Negara yang bisa terbedakan antara siang
dan malamnya dengan terbit fajar dan tenggelamnya matahari, hanya saja
waktu siang terkadang sangat panjang jika musim panas dan pendek pada
musim dingin, maka wajib bagi seluruh orang yang berpuasa untuk menahan
diri setiap harinya dari makan, minum dan pembatal-pembatal puasa mulai
terbit fajar hingga tenggelam matahari, selama waktu siang bisa
terbedakan dengan waktu malam. Boleh bagi mereka untuk makan, minum, dan
jima’ pada waktu malam saja sekalipun waktunya pendek. Karena syari’at
Islam berlaku umum bagi semua manusia di seluruh negeri. Allah berfirman
:
Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS. Al-Baqorah [2] : 187)
Dan barang siapa yang lemah untuk menyempurnakan puasa hingga
tenggelam matahari karena waktu siang yang sangat panjang, boleh baginya
berbuka puasa dan hendaklah diganti pada hari yang lain di bulan apa
saja yang mungkin baginya membayar utang puasanya. Allah berfirman:
Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, makan hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqorah [2] : 185)
Kedua : Barang
siapa tinggal di sebuah negeri yang matahari itu tidak tenggelam ketika
musim panas dan tidak terbit ketika musim dingin, atau tinggal di
sebuah negeri yang siang harinya berjalan enam bulan, maka wajib bagi
mereka untuk puasa Romadhon dengan memperkirakan waktunya, mulai dari
permulaan Romadhon dan selesainya, waktu terbit fajar dan tenggelam
matahari dengan cara melihat Negara yang terdekat dengan mereka yang
mana pada Negara itu bisa terbedakan antara siang dan malamnya hingga
waktu siang dan malam tepat dua puluh empat jam. [2]
Merujuk pada fatwa Majlis Fatwa Al-Azhar Al-Syarif, menentukan waktu
berpuasa Ramadhan pada daerah-daerah yang tidak teratur masa siang dan
malamnya, dilakukan dengan cara menyesuaikan/menyamakan waktunya dengan
daerah dimana batas waktu siang dan malam setiap tahunnya tidak jauh
berbeda (teratur). Sebagai contoh jika menyamakan dengan masyarakat
mekkah yang berpuasa dari fajar sampai maghrib selama tiga belas jam
perhari, maka mereka juga harus berpuasa selama itu.
Adapun untuk daerah yang samasekali tidak diketahui waktu fajar dan maghribnya, seperti daerah kutub (utara dan selatan), karena pergantian malam dan siang terjadi enam bulan sekali, maka waktu sahur dan berbuka juga menyesuaikan dengan daerah lain seperti diatas. Jika di Mekkah terbit fajar pada jam 04.30 dan maghrib pada jam 18.00, maka mereka juga harus memperhatikan waktu itu dalam memulai puasa atau ibadah wajib lainnya.[3]
Fatwa ini didasarkan pada Hadis Nabi SAW menanggapi pertanyaan Sahabat tentang kewajiban shalat di daerah yang satu harinya menyamai seminggu atau sebulan atau bahkan setahun.
Adapun untuk daerah yang samasekali tidak diketahui waktu fajar dan maghribnya, seperti daerah kutub (utara dan selatan), karena pergantian malam dan siang terjadi enam bulan sekali, maka waktu sahur dan berbuka juga menyesuaikan dengan daerah lain seperti diatas. Jika di Mekkah terbit fajar pada jam 04.30 dan maghrib pada jam 18.00, maka mereka juga harus memperhatikan waktu itu dalam memulai puasa atau ibadah wajib lainnya.[3]
Fatwa ini didasarkan pada Hadis Nabi SAW menanggapi pertanyaan Sahabat tentang kewajiban shalat di daerah yang satu harinya menyamai seminggu atau sebulan atau bahkan setahun.
"Wahai Rasul, bagaimana dengan daerah yang satu harinya (sehari-semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali shalat saja". Rasul menjawab "tidak... tapi perkirakanlah sebagaimana kadarnya (pada hari-hari biasa)". [HR. Muslim] Dan demikianlah halnya kewajban -kewajiaban yang lain seperti puasa, zakat dan haji.
Masya Allah bahkan pertanyaan seperti ini pun sudah diajukan oleh para sahabat,, yg tinggal di daerah padang pasir, yang mungkin tidak pernah melihat ataupun tidak pernah tau ada daerah kutub. Ini menunjukkan mukjizat Rasulullah dan menunjukkan bahwa sungguh risalah Islam ini telah sempurna dalam semua aspek keilmuan. Sehingga dengan pertanyaan sahabat ini kepada Rasulullah, umat muslim di daerah kutub tetap dapat menjalankan syariat Islam.
.
Footnote:
[1] An-Nawazil al-Fiqhiyyah Min Kitab ash-Shiyam hlm. 7-8 Khalid bin Abdullah al-Mushlih
[2] Abhats Hai’ah Kibar Ulama 4/435-464. Lihat pula Majmu’ Fatawa
Syaikh Ibnu Baz 15/293-300, Risalah fi Mawaqit Sholat hlm. 12-14 Ibnu
Utsaimin, Mausu’ah al-Qadhaya Fiqhiyyah al-Mu’ashirah hlm. 553-555 Ali
as-Salus, Mawaqit Ibadat az-Zamaniyyah wal Makaniyyah hlm. 631-633 Nizar
Mahmud, Fiqhu Nawazil 2/152-155 al-Jizani.
[3] Diambil dari buku Majma' Buhus Al-Islamiyah Fi Qadhaya Mu'ashirah,
karya Grand Syeikh Azhar Gad el-Haq Ali Gad el-Haq, hal 509 s/d 522
jilid pertama
.
Sumber :
Majalah Al Furqon Edisi 02 th. Ke-10 1431/2010. Masalah-Masalah
Kontemporer Seputar PUasa. Penulis : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin
Mukhtar dan Ustadz Abu Abdillah Syahrul Fatwa Hafidzahullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar