Sahabat fillah…
Perasaan “cinta” adalah sebagian dari
fitrah manusia, dan setiap kita pasti memiliki rasa itu. Oleh sebab itu,
bagaimana timbal balik sepatutnya sebagai bentuk kesyukuran atas
karunia yang telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan itu. Yaitu dengan menjaga dan menempatkannya secara baik dan benar. Mengapa…? Karena Allah subhanahu wa ta’ala
telah menghadirkan kita ke dunia ini dengan kecintaan yang luar
biasa. Lalu, apa bukti cinta itu? Di antaranya adalah diciptakannya kita
dengan bentuk sebaik-baiknya dibanding makhluk lain. Kemudian
diciptakannya kita berpasangan, lalu disempurnakannya penciptaan manusia
dengan akal, perasaan dan naluri.
Cinta. Deretan huruf yang menyimpan
berjuta makna, atau bahkan susah untuk didefinisikan. Banyak orang
menyebut cinta itu fitrah, cinta itu kebahagiaan, cinta itu keindahan,
dan lain sebagainya. Namun tak sedikit pula dari mereka menyatakan bahwa
cinta itu virus, cinta itu tak berlogika, cinta itu racun. Begitulah
keunikan cinta yang adakalanya bisa menjadi sumber kekuatan penggerak
jiwa dan perilaku, namun adakalanya berbuah duri yang dapat
menjerumuskan manusia ke dalam lubang kehinaan, keterpurukan, dan
kesedihan yang tidak beralasan. Seperti yang terurai dalam sebait sajak
dari film laris di Indonesia bertemakan cinta, Ketika Cinta Bertasbih :
Cinta adalah kekuatan yang mampu
Mengubah duri jadi mawar
Mengubah cuka jadi anggur
Mengubah sedih jadi riang
Mengubah amarah jadi ramah
Mengubah musibah jadi muhibah
Namun demikian, cinta pun bisa
menghasilkan perubahan sebaliknya, mengubah mawar jadi duri, mengubah
anggur jadi cuka, dan seterusnya. Yaitu, saat cinta telah membutakan
akal pikiran manusia. Karena memang, ketika seseorang sedang dilanda
cinta, maka bagian yang lebih berperan atau bekerja bukanlah fungsi
otaknya, melainkan fungsi sarafnya. Sehingga itulah alasan, mengapa
seseorang yang sedang jatuh cinta kerap kali melakukan tindakan-tindakan
bodoh atau di luar kendali.
Sahabat fillah…
Dalam kehidupan ini, kita tidak pernah terlepas dari segala bentuk muamalah. Yaitu bagaimana hubungan manusia dengan Allah subhanahu wa ta’ala,
hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam
semesta. Hubungan yang baik pada dasarnya ditandai dengan cinta. Dengan
cinta, hubungan manusia dengan Sang Kholik akan menghasilkan ketaqwaan.
Dengan cinta pula, hubungan manusia dengan sesamanya akan menumbuhkan
kasih sayang. Begitu juga hubungan manusia dengan alam semesta, maka
dengan cinta akan menciptakan rasa memiliki. Tanpa “cinta” panggung
kehidupan ini akan terasa hampa adanya. Hanya kekacauan, kebiadaban,
kerusakan, dan lain sebagainya yang akan meramaikan sandiwara ini.
Namun demikian, cinta itu bersemayam di dalam hati yang bersifat labil, Seperti sabda Rasullullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
يَا مُقَلِّبَ اْلقُلُوبِ ثَبِتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ
Hati itu bersifat gampang
terbolak-balik bagaikan bulu yang terombang-ambing oleh angin yang
berputar-putar. Sebagaimana amal-amal dan perilaku kita yang senantiasa
bersumber dari niat dan motivasi di dalam hati. Maka cinta pun bisa
mewujud dengan dasar niat yang beraneka rupa. Ada cinta yang tulus,
penuh kerelaan. Namun ada pula cinta yang penuh duri dan racun. Ada
cinta yang merupakan buah keimanan dan ketaqwaan. Namun ada pula cinta
yang berlandaskan nafsu hina.
Bagi seorang muslim dan beriman, cinta terbesar dan cinta hakiki adalah cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Cinta yang selalu kita butuhkan, cinta yang tak pernah pudar dan lekang
oleh waktu, dan cinta yang melahirkan kebahagiaan sejati. Kita dapat
mewujudkan cinta dalam berbagai kesempatan dan kepada siapa atau apa
saja, asalkan semuanya bersumber dari kecintaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan karena menggapai ridho Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : ”Dan
di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan
jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itumengetahui ketika
mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal).” ( Al-Baqarah : 165 )
Sebagai penutup, agar cinta
tidak menjerumuskan kita ke dalam jurang kehinaan, ada baiknya kita
mengambil hikmah dari para sahabat dan ulama berikut ini :
Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Cuma tanahnyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah oleh karena embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji. (Hamka)
Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat. (Hamka)
Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi musuhmu. Dan bencilah musuhmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi kekasihmu. (Ali bin Abi Thalib)
Engkau berbuat durhaka kepada Allah, padahal engkau mengaku cinta kepada-Nya? Sungguh aneh keadaan seperti ini. Andai kecintaanmu itu tulus, tentu engkau akan taat kepada-Nya. Karena sesungguhnya, orang yang mencintai itu tentu selalu taat kepada yang ia cintai. (A’idh Al-Qorni)
“Cinta membangkitkan jiwa dan menata prilaku. Mengungkapkannya adalah suatu kewajaran dan memendamnya menjadi beban.” Lalu, beliau berkata: “Mereka berucap: ‘Kita tidak memungkiri kerusakan cinta jika terbumbui oleh perbuatan tercela kepada sesama makhluk. Yang kita dambakan adalah cinta suci dari seorang laki-laki idaman yang selalu komitmen kepada agama, kehormatan, dan akhlak. Jangan sempat cinta itu menjadi jurang pemisah antara manusia dengan Khaliq-nya dan menyebabkan antara pecinta dengan yang dicintainya jatuh ke dalam perbuatan nista. (Ibnu Qayyim rahimahullâh dalam kitabnya ad-Dâ' wa ad-Dawâ')
Wallahu a’lam bisshohwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar