Minggu, 18 Maret 2012

Jawaban Tentang CINTA

 
Sahabat fillah…
Perasaan “cinta” adalah sebagian dari fitrah manusia, dan setiap kita pasti memiliki rasa itu. Oleh sebab itu, bagaimana timbal balik sepatutnya sebagai bentuk kesyukuran atas karunia yang telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan itu. Yaitu dengan menjaga dan menempatkannya secara baik dan benar. Mengapa…? Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menghadirkan kita ke dunia ini dengan kecintaan yang luar biasa. Lalu, apa bukti cinta itu? Di antaranya adalah diciptakannya kita dengan bentuk sebaik-baiknya dibanding makhluk lain. Kemudian diciptakannya kita berpasangan, lalu disempurnakannya penciptaan manusia dengan akal, perasaan dan naluri.
Cinta. Deretan huruf yang menyimpan berjuta makna, atau bahkan susah untuk didefinisikan. Banyak orang menyebut cinta itu fitrah, cinta itu kebahagiaan, cinta itu keindahan, dan lain sebagainya. Namun tak sedikit pula dari mereka menyatakan bahwa cinta itu virus, cinta itu tak berlogika, cinta itu racun. Begitulah keunikan cinta yang adakalanya bisa menjadi sumber kekuatan penggerak jiwa dan perilaku, namun adakalanya berbuah duri yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam lubang kehinaan, keterpurukan, dan kesedihan yang tidak beralasan. Seperti yang terurai dalam sebait sajak dari film laris di Indonesia bertemakan cinta, Ketika Cinta Bertasbih :
Cinta adalah kekuatan yang mampu
Mengubah duri jadi mawar
Mengubah cuka jadi anggur
Mengubah sedih jadi riang
Mengubah amarah jadi ramah
Mengubah musibah jadi muhibah
Namun demikian, cinta pun bisa menghasilkan perubahan sebaliknya, mengubah mawar jadi duri, mengubah anggur jadi cuka, dan seterusnya. Yaitu, saat cinta telah membutakan akal pikiran manusia. Karena memang, ketika seseorang sedang dilanda cinta, maka bagian yang lebih berperan atau bekerja bukanlah fungsi otaknya, melainkan fungsi sarafnya. Sehingga itulah alasan, mengapa seseorang yang sedang jatuh cinta kerap kali melakukan tindakan-tindakan bodoh atau di luar kendali.
Sahabat fillah…
Dalam kehidupan ini, kita tidak pernah terlepas dari segala bentuk muamalah. Yaitu bagaimana hubungan manusia dengan Allah subhanahu wa ta’ala, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam semesta. Hubungan yang baik pada dasarnya ditandai dengan cinta. Dengan cinta, hubungan manusia dengan Sang Kholik akan menghasilkan ketaqwaan. Dengan cinta pula, hubungan manusia dengan sesamanya akan menumbuhkan kasih sayang. Begitu juga hubungan manusia dengan alam semesta, maka dengan cinta akan menciptakan rasa memiliki. Tanpa “cinta” panggung kehidupan ini akan terasa hampa adanya. Hanya kekacauan, kebiadaban, kerusakan, dan lain sebagainya yang akan meramaikan sandiwara ini.
Namun demikian, cinta itu bersemayam di dalam hati yang bersifat labil, Seperti sabda Rasullullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
يَا مُقَلِّبَ اْلقُلُوبِ ثَبِتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ
Hati itu bersifat gampang terbolak-balik bagaikan bulu yang terombang-ambing oleh angin yang berputar-putar. Sebagaimana amal-amal dan perilaku kita yang senantiasa bersumber dari niat dan motivasi di dalam hati. Maka cinta pun bisa mewujud dengan dasar niat yang beraneka rupa. Ada cinta yang tulus, penuh kerelaan. Namun ada pula cinta yang penuh duri dan racun. Ada cinta yang merupakan buah keimanan dan ketaqwaan. Namun ada pula cinta yang berlandaskan nafsu hina.
Bagi seorang muslim dan beriman, cinta terbesar dan cinta hakiki adalah cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Cinta yang selalu kita butuhkan, cinta yang tak pernah pudar dan lekang oleh waktu, dan cinta yang melahirkan kebahagiaan sejati. Kita dapat mewujudkan cinta dalam berbagai kesempatan dan kepada siapa atau apa saja, asalkan semuanya bersumber dari kecintaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan karena menggapai ridho Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : ”Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itumengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” ( Al-Baqarah : 165 )
Sebagai penutup, agar cinta tidak menjerumuskan kita ke dalam jurang kehinaan, ada baiknya kita mengambil hikmah dari para sahabat dan ulama berikut ini :
Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Cuma tanahnyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah oleh karena embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji. (Hamka)
Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat. (Hamka)
Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi musuhmu. Dan bencilah musuhmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi kekasihmu. (Ali bin Abi Thalib)
Engkau berbuat durhaka kepada Allah, padahal engkau mengaku cinta kepada-Nya? Sungguh aneh keadaan seperti ini. Andai kecintaanmu itu tulus, tentu engkau akan taat kepada-Nya. Karena sesungguhnya, orang yang mencintai itu tentu selalu taat kepada yang ia cintai. (A’idh Al-Qorni)

“Cinta membangkitkan jiwa dan menata prilaku. Mengungkapkannya adalah suatu kewajaran dan memendamnya menjadi beban.” Lalu, beliau berkata: “Mereka berucap: ‘Kita tidak memungkiri kerusakan cinta jika terbumbui oleh perbuatan tercela kepada sesama makhluk. Yang kita dambakan adalah cinta suci dari seorang laki-laki idaman yang selalu komitmen kepada agama, kehormatan, dan akhlak. Jangan sempat cinta itu menjadi jurang pemisah antara manusia dengan Khaliq-nya dan menyebabkan antara pecinta dengan yang dicintainya jatuh ke dalam perbuatan nista. (Ibnu Qayyim rahimahullâh dalam kitabnya ad-Dâ' wa ad-Dawâ')
Wallahu a’lam bisshohwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar