Jilbabku Penutup Auratku
Jilbab
merupakan bagian dari syari’at yang penting untuk dilaksanakan oleh
seorang muslimah. Ia bukanlah sekedar identitas atau menjadi hiasan
semata dan juga bukan penghalang bagi seorang muslimah untuk menjalankan
aktivitas kehidupannya. Menggunakan jilbab yang sesuai dengan tuntunan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib dilakukan
oleh setiap muslimah, sama seperti ibadah-ibadah lainnya seperti sholat,
puasa yang diwajibkan bagi setiap muslim. Ia bukanlah kewajiban
terpisah dikarenakan kondisi daerah seperti dikatakan sebagian orang
(karena Arab itu berdebu, panas dan sebagainya). Ia juga bukan kewajiban
untuk kalangan tertentu (yang sudah naik haji atau anak pesantren).
Benar saudariku… memakai jilbab adalah kewajiban kita sebagai seorang
muslimah. Dan dalam pemakaiannya kita juga harus memperhatikan apa yang
telah diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seperti telah disebutkan pada artikel sebelumnya, terdapat beberapa
persyaratan dalam penggunanan jilbab yang sesuai syari’at. Semoga Allah
memudahkan penulis memperjelas poin-poin yang ada dalam artikel
sebelumnya.
DEFINISI JILBAB
Secara bahasa, dalam kamus al Mu’jam al Wasith 1/128, disebutkan bahwa jilbab memiliki beberapa makna, yaitu:
- Qomish (sejenis jubah).
- Kain yang menutupi seluruh badan.
- Khimar (kerudung).
- Pakaian atasan seperti milhafah (selimut).
- Semisal selimut (baca: kerudung) yang dipakai seorang wanita untuk menutupi tubuhnya.
Adapun secara istilah, berikut ini perkataan para ulama’ tentang hal ini.
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Jilbab menurut bahasa Arab yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, bukan hanya sebagiannya.”
Sedangkan Ibnu Katsir mengatakan, “Jilbab adalah semacam selendang yang
dikenakan di atas khimar yang sekarang ini sama fungsinya seperti izar
(kain penutup).” (Syaikh Al Bani dalam Jilbab Muslimah).
Syaikh bin Baz (dari Program Mausu’ah Fatawa Lajnah wal Imamain)
berkata, “Jilbab adalah kain yang diletakkan di atas kepala dan badan di
atas kain (dalaman). Jadi, jilbab adalah kain yang dipakai perempuan
untuk menutupi kepala, wajah dan seluruh badan. Sedangkan kain untuk
menutupi kepala disebut khimar. Jadi perempuan menutupi dengan jilbab,
kepala, wajah dan semua badan di atas kain (dalaman).” (bin Baz, 289).
Beliau juga mengatakan, “Jilbab adalah rida’ (selendang) yang dipakai di
atas khimar (kerudung) seperti abaya (pakaian wanita Saudi).” (bin Baz,
214). Di tempat yang lain beliau mengatakan, “Jilbab adalah kain yang
diletakkan seorang perempuan di atas kepala dan badannnya untuk menutupi
wajah dan badan, sebagai pakaian tambahan untuk pakaian yang biasa
(dipakai di rumah).” (bin Baz, 746). Beliau juga berkata, “Jilbab adalah
semua kain yang dipakai seorang perempuan untuk menutupi badan. Kain
ini dipakai setelah memakai dar’un (sejenis jubah) dan khimar (kerudung
kepala) dengan tujuan menutupi tempat-tempat perhiasan baik asli (baca:
aurat) ataupun buatan (misal, kalung, anting-anting, dll).” (bin Baz,
313).
Terdapat pertanyaan apa beda antara jilbab dengan hijab. Syaikh Al Bani rahimahullah
mengatakan, “Setiap jilbab adalah hijab, tetapi tidak semua hijab itu
jilbab, sebagaimana yang tampak.” Sehingga memang terkadang kata hijab
dimaksudkan untuk makna jilbab. Adapun makna lain dari hijab adalah
sesuatu yang menutupi atau meghalangi dirinya, baik berupa tembok, sket
ataupun yang lainnya. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam surat al-Ahzab ayat 53, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah-rumah nabi kecuali bila kamu diberi izin…
dan apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepda mereka (para istri
Nabi), maka mintalah dari balik hijab…”
SYARAT-SYARAT PAKAIAN MUSLIMAH
1. Menutup Seluruh Badan Kecuali Yang Dikecualikan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل
لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُؤْذَيْنَ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
وَقُل
لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا…
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…” (QS. An Nuur: 31)
Tentang ayat dalam surat An Nuur yang artinya “kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya”, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama
sehingga membawa konsekuensi yang berbeda tentang hukum penggunaan
cadar bagi seorang muslimah. Untuk penjelasan rinci, silakan melihat
pada artikel yang sangat bagus tentang masalah ini pada artikel Hukum Cadar di www.muslim.or.id.
Dari syarat pertama ini, maka jelaslah bagi seorang muslimah untuk
menutup seluruh badan kecuali yang dikecualikan oleh syari’at. Maka,
sangat menyedihkan ketika seseorang memaksudkan dirinya memakai jilbab,
tapi dapat kita lihat rambut yang keluar baik dari bagian depan ataupun
belakang, lengan tangan yang terlihat sampai sehasta, atau leher dan
telinganya terlihat jelas sehingga menampakkan perhiasan yang seharusnya
ditutupi.
Catatan penting dalam poin ini adalah penggunaan khimar yang merupakan
bagian dari syari’at penggunaan jilbab sebagaimana terdapat dalam ayat
selanjutnya dalam surat An Nuur ayat 31,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan khimar ke dadanya.”
Khumur merupakan jamak dari kata khimar yang berarti sesuatu yang
dipakai untuk menutupi bagian kepala. Sayangnya, pemakaian khimar ini
sering dilalaikan oleh muslimah sehingga seseorang mencukupkan memakai
jilbab saja atau hanya khimar saja. Padahal masing-masing wajib
dikenakan, sebagaimana terdapat dalam hadits dari Sa’id bin Jubair
mengenai ayat dalam surat Al Ahzab di atas, ia berkata, “Yakni agar
mereka melabuhkan jilbabnya. Sedangkan yang namanya jilbab adalah qina’
(kudung) di atas khimar. Seorang muslimah tidak halal untuk terlihat
oleh laki-laki asing kecuali dia harus mengenakan qina’ di atas
khimarnya yang dapat menutupi bagian kepala dan lehernya.” Hal ini juga
terdapat dalam atsar dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata,
لابد للمرأة من ثلاثة أثواب تصلي فيهن: درع و جلباب و خمار
“Seorang wanita dalam mengerjakan shalat harus mengenakan tiga pakaian: baju, jilbab dan khimar.” (HR. Ibnu Sa’ad, isnadnya shahih berdasarkan syarat Muslim)
Namun terdapat keringanan bagi wanita yang telah menopause yang tidak
ingin kawin sehingga mereka diperbolehkan untuk melepaskan jilbabnya,
sebagaimana terdapat dalam surat An Nuur ayat 60:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ
النِّسَاء اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحاً فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ
أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن
يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan
perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.”
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
kata “pakaian” pada ayat di atas adalah “jilbab” dan hal serupa juga
dikatakan oleh Ibnu Mas’ud. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al Baihaqi).
Dapat pula diketahui di sini, bahwa pemakaian khimar yang dikenakan
sebelum jilbab adalah menutupi dada. Lalu bagaimana bisa seseorang
dikatakan memakai jilbab jika hanya sampai sebatas leher? Semoga ini
menjadi renungan bagi saudariku sekalian.
Gambar di atas adalah contoh tampilan khimar dan jilbab. Khimar
dikenakan menutupi dada. Setelah itu baru dikenakan jilbab di atasnya.
(warna, bentuk dan panjang pakaian dalam gambar hanyalah sebagai
contoh).
Catatan penting lainnya dari poin ini adalah terdapat anggapan bahwa
pakaian wanita yang sesuai syari’at adalah yang berupa jubah terusan
(longdress), sehingga ada sebagian muslimah yang memaksakan diri untuk
menyambung-nyambung baju dan rok agar dikatakan memakai pakaian
longdress. Lajnah Daimah pernah ditanya tentang hal ini, yaitu apakah
jilbab harus “terusan” atau “potongan” (ada pakaian atasan dan rok
bawahan). Maka jawaban Lajnah Daimah, “Hijab (baca: jilbab) baik terusan
ataukah potongan, keduanya tidak mengapa (baca: boleh) asalkan bisa
menutupi sebagaimana yang diperintahkan dan disyari’atkan.” Fatwa ini
ditandatangani oleh Abdul Aziz bin Baz sebagai ketua dan Abdullah bin
Ghadayan sebagai anggota (Fatawa Lajnah Daimah 17/293, no fatwa: 7791,
Maktabah Syamilah). Dengan demikian, jelaslah tentang tidak benarnya
anggapan sebagian muslimah yang mempersyaratkan jubah terusan
(longdress) bagi pakaian muslimah. Camkanlah ini wahai saudariku!
2. Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan
Hal ini sebagaimana terdapat dalam surat An Nuur ayat 31, “…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya…”
Ketika jilbab dan pakaian wanita dikenakan agar aurat dan perhiasan
mereka tidak nampak, maka tidak tepat ketika menjadikan pakaian atau
jilbab itu sebagai perhiasan karena tujuan awal untuk menutupi perhiasan
menjadi hilang. Banyak kesalahan yang timbul karena poin ini
terlewatkan, sehingga seseorang merasa sah-sah saja menggunakan jilbab
dan pakaian indah dengan warna-warni yang lembut dengan motif bunga yang
cantik, dihiasi dengan benang-benang emas dan perak atau meletakkan
berbagai pernak-pernik perhiasan pada jilbab mereka.
Namun, terdapat kesalahpahaman juga bahwa jika seseorang tidak
mengenakan jilbab berwarna hitam maka berarti jilbabnya berfungsi
sebagai perhiasan. Hal ini berdasarkan beberapa atsar tentang perbuatan
para sahabat wanita di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang mengenakan pakaian yang berwarna selain hitam. Salah satunya adalah
atsar dari Ibrahim An Nakhai,
أنه كان يدخل مع علقمة و الأسود على أزواج النبي صلى الله عليه و سلم و يرا هن في اللحف الحمر
“Bahwa ia bersama Alqomah dan Al Aswad pernah mengunjungi para
istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia melihat mereka
mengenakan mantel-mantel berwarna merah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf)
Catatan: Masalah warna ini berlaku bagi wanita. Adapun bagi pria,
terdapat hadits yang menerangkan pelarangan penggunaan pakaian berwarna
merah.
Dengan demikian, tolak ukur “Pakaian perhiasan ataukah bukan adalah
berdasarkan ‘urf (kebiasaan).” (keterangan dari Syaikh Ali Al Halabi).
Sehingga suatu warna atau motif menarik perhatian pada suatu masyarakat
maka itu terlarang dan hal ini boleh jadi tidak berlaku pada masyarakat
lain.
3. Kainnya Harus Tebal, Tidak Tipis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang dua kelompok yang termasuk ahli neraka dan beliau belum pernah melihatnya,
وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ
عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ
الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ
رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah
melihatnya, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka
memukul manusia dengan cambuknya dan wanita yang kasiyat (berpakaian
tapi telanjang, baik karena tipis atau pendek yang tidak menutup
auratnya), mailat mumilat (bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan
orang), kepala mereka seperti punuk onta. Mereka tidak masuk surga dan
tidak mendapatkan baunya, padahal baunya didapati dengan perjalanan
demikian dan demikian.” (HR. Muslim 3971, Ahmad 8311 dan Imam Malik 1421 – lihat majalah Al Furqon Gresik)
Ambil dan camkanlah hadits ini wahai saudariku, karena ancamannya
demikian keras sehingga para ulama memasukkannya dalam dosa-dosa besar.
Betapa banyak wanita muslimah yang seakan-akan menutupi badannya, namun
pada hakekatnya telanjang. Maka dalam pemilihan bahan pakaian yang akan
kita kenakan juga harus diperhatikan karena sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Abdil Barr, “Bahan yang tipis dapat menggambarkan bentuk tubuh dan
tidak dapat menyembunyikannya.” Syaikh Al Bani juga menegaskan, “Yang
tipis (transparan) itu lebih parah dari yang menggambarkan lekuk tubuh
(tapi tebal).” Bahkan kita ketahui, bahan yang tipis terkadang lebih
mudah dalam mengikuti lekuk tubuh sehingga sekalipun tidak transparan,
bentuk tubuh seorang wanita menjadi mudah terlihat.
4. Harus Longgar, Tidak Ketat
Selain kain yang tebal dan tidak tipis, maka pakaian tersebut haruslah
longgar, tidak ketat, sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh wanita
muslimah. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits dari Usamah bin Zaid
ketika ia diberikan baju Qubthiyah yang tebal oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia memberikan baju tersebut kepada
istrinya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya, beliau bersabda,
مرْها فلتجعل تحتها غلالة فإني أخاف أن تصف حجم عظمها
“Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam di balik
Qubthiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan
bentuk tubuh.” (HR. Ad Dhiya’ Al Maqdisi, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan)
Maka tidak tepat jika seseorang mencukupkan dengan memakai rok, namun
ternyata tetap memperlihatkan pinggul, kaki atau betisnya. Maka jika
pakaian tersebut telah cukup tebal dan longgar namun tetap
memperlihatkan bentuk tubuh, maka dianjurkan bagi seorang muslimah untuk
memakai lapisan dalam. Namun janganlah mencukupkan dengan kaos kaki
panjang, karena ini tidak cukup untuk menutupi bentuk tubuh (terutama
untuk para saudariku yang sering tersingkap roknya ketika menaiki motor
sehingga terlihatlah bentuk betisnya). Poin ini juga menjadi jawaban
bagi seseorang yang membolehkan penggunaan celana dengan alasan longgar
dan pinggulnya ditutupi oleh baju yang panjang. Celana boleh digunakan
untuk menjadi lapisan namun bukan inti dari pakaian yang kita kenakan.
Karena bentuk tubuh tetap terlihat dan hal itu menyerupai pakaian kaum
laki-laki. (lihat poin 6). Jika ada yang beralasan, celana supaya
fleksibel. Maka, tidakkah ia ketahui bahwa rok bahkan lebih fleksibel
lagi jika memang sesuai persyaratan (jangan dibayangkan rok yang
ketat/span). Kalaupun rok tidak fleksibel (walaupun pada asalnya
fleksibel) apakah kita menganggap logika kita (yang mengatakan celana
lebih fleksibel) lebih benar daripada syari’at yang telah Allah dan
Rasul-Nya tetapkan. Renungkanlah wahai saudariku!
5. Tidak Diberi Wewangian atau Parfum
Perhatikanlah salah satu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan tentang wanita-wanita yang memakai wewangian ketika keluar rumah,
ايّما امرأةٍ استعطرتْ فمَرّتْ على قوم ليَجِدُوا رِيْحِها، فهيا زانِيةٌٍ
“Siapapun perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati
kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (HR. Tirmidzi)
أيما امرأة أصابت بخورا فلا تشهد معنا العشاء الاخرة
“Siapapun perempuan yang memakai bakhur, maka janganlah ia menyertai kami dalam menunaikan shalat isya’.” (HR. Muslim)
Syaikh Al Bani berkata, “Wewangian itu selain ada yang digunakan pada
badan, ada pula yang digunakan pada pakaian.” Syaikh juga mengingatkan
tentang penggunaan bakhur (wewangian yang dihasilkan dari pengasapan)
yang ini lebih banyak digunakan untuk pakaian bahkan lebih khusus untuk
pakaian. Maka hendaknya kita lebih berhati-hati lagi dalam menggunakan
segala jenis bahan yang dapat menimbulkan wewangian pada pakaian yang
kita kenakan keluar, semisal produk-produk pelicin pakaian yang
disemprotkan untuk menghaluskan dan mewangikan pakaian (bahkan pada
kenyataannya, bau wangi produk-produk tersebut sangat menyengat dan
mudah tercium ketika terbawa angin). Lain halnya dengan produk yang
memang secara tidak langsung dan tidak bisa dihindari membuat pakaian
menjadi wangi semisal deterjen yang digunakan ketika mencuci.
6. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki
Terdapat hadits-hadits yang menunjukkan larangan seorang wanita
menyerupai laki-laki atau sebaliknya (tidak terbatas pada pakaian saja).
Salah satu hadits yang melarang penyerupaan dalam masalah pakaian
adalah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata
لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الرجل يلبس لبسة المرأة و المرأة تلبس لبسة الرجل
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria.” (HR. Abu Dawud)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kesamaan dalam perkara lahir
mengakibatkan kesamaan dan keserupaan dalam akhlak dan perbuatan.”
Dengan menyerupai pakaian laki-laki, maka seorang wanita akan
terpengaruh dengan perangai laki-laki dimana ia akan menampakkan
badannya dan menghilangkan rasa malu yang disyari’atkan bagi wanita.
Bahkan yang berdampak parah jika sampai membawa kepada maksiat lain,
yaitu terbawa sifat kelaki-lakian, sehingga pada akhirnya menyukai
sesama wanita. Wal’iyyadzubillah.
Terdapat dua landasan yang dapat digunakan sebagai acuan bagi kita untuk
menghindari penggunaan pakaian yang menyerupai laki-laki.
- Pakaian tersebut membedakan antara pria dan wanita.
- Tertutupnya kaum wanita.
Sehingga dalam penggunaan pakaian yang sesuai syari’at ketika menghadapi
yang bukan mahromnya adalah tidak sekedar yang membedakan antara pria
dan wanita namun tidak tertutup atau sekedar tertutup tapi tidak
membedakan dengan pakaian pria. Keduanya saling berkaitan. Lebih jelas
lagi adalah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al
Kawakib yang dikutip oleh syaikh Al Bani, yang penulis ringkas menjadi
poin-poin sebagai berikut untuk memudahkan pemahaman,
- Prinsipnya bukan semata-mata apa yang dipilih, disukai dan biasa dipakai kaum pria dan kaum wanita.
- Juga bukan pakaian tertentu yang dinyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang dikenakan oleh kaum pria dan wanita di masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Jenis pakaian yang digunakan sebagai penutup juga tidak ditentukan (sehingga jika seseorang memakai celana panjang dan kaos kemudian menutup pakaian dan jilbab di atasnya yang sesuai perintah syari’at sehingga bentuk tubuhnya tidak tampak, maka yang seperti ini tidak mengapa -pen)
Kesimpulannya, yang membedakan antara jenis pakaian pria
dan wanita kembali kepada apa yang sesuai dengan apa yang diperintahkan
bagi pria dan apa yang diperintahkan bagi kaum wanita. Namun yang perlu
diingat, pelarangan ini adalah dalam hal-hal yang tidak sesuai
fitrahnya. Syaikh Muhammad bin Abu Jumrah rahimahullah sebagaimana
dikutip oleh Syaikh Al Bani mengatakan, “Yang dilarang adalah masalah
pakaian, gerak-gerik dan lainnya, bukan penyerupaan dalam perkara
kebaikan.”
7. Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-Wanita Kafir
Banyak dari poin-poin yang telah disebutkan sebelumnya menjadi terasa
berat untuk dilaksanakan oleh seorang wanita karena telah terpengaruh
dengan pakaian wanita-wanita kafir. Betapa kita ketahui, mereka (orang
kafir) suka menampakkan bentuk dan lekuk tubuh, memakai pakaian yang
transparan, tidak peduli dengan penyerupaan pakaian wanita dengan pria.
Bahkan terkadang mereka mendesain pakaian untuk wanita maskulin! Hanya
kepada Allah-lah kita memohon perlindungan dan meminta pertolongan untuk
dijauhkan dari kecintaan kepada orang-orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk
hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun
(kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa
yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan
di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadid [57]: 16)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Firman Allah,
‘Janganlah mereka seperti…’ merupakan larangan mutlak dari tindakan
menyerupai mereka….” (Al Iqtidha, dikutip oleh Syaikh Al Bani)
8. Bukan Pakaian Untuk Mencari Popularitas
“Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas)
di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan pada hari kiamat,
kemudian membakarnya dengan api naar.”
Adapun libas syuhrah (pakaian untuk mencari popularitas) adalah setiap
pakaian yang dipakai dengan tujuan meraih popularitas di tengah-tengah
orang banyak, baik pakaian tersebut mahal, yang dipakai seseorang untuk
berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun pakaian yang bernilai
rendah yang dipakai seseorang untuk menampakkan kezuhudan dan dengan
tujuan riya. (Jilbab Muslimah)
Namun bukan berarti di sini seseorang tidak boleh memakai pakaian yang
baik, atau bernilai mahal. Karena pengharaman di sini sebagaimana
dikatakan oleh Imam Asy Syaukani adalah berkaitan dengan keinginan
meraih popularitas. Jadi, yang dipakai sebagai patokan adalah tujuan
memakainya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suka jika hambanya
menampakkan kenikmatan yang telah Allah berikan padanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
“Sesungguhnya Allah menyukai jika melihat bekas kenikmatan yang diberikan oleh-Nya ada pada seorang hamba.” (HR. Tirmidzi)
PENUTUP
Demikian sedikit penjelasan tentang pengertian jilbab dan penjelasan
dari poin-poin tentang persyaratan jilbab muslimah yang sesuai syari’at.
Saudariku… janganlah kita terpedaya dengan segala aktifitas dan
perkataan orang yang menjadikan seseorang cenderung merasa tidak mungkin
untuk menggunakan jilbab yang sesuai syari’at. Ingatlah, bahwa
sesungguhnya tidak ada teman di hari akhir yang mau menanggung dosa yang
kita lakukan. Hanya kepada Allahlah kita memohon pertolongan ketika
menjalankan segala ibadah yang telah disyari’atkan. Semoga artikel ini
juga dapat menjawab berbagai pertanyaan dan komentar yang masuk pada
artikel-artikel sebelumnya. Wallahu a’lam.
Maraji’:
Majalah Al Furqon, edisi 12 tahun III
Jilbab Muslimah. Syaikh Al Bani. Pustaka At Tibyan
Maktabah Syamilah
***
Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Artikel www.muslimah.or.id
Jilbab atau Khimar
تحرير القول في معنى الجلباب :
ذكره النووي في شرح مسلم (ثمانية أقوال ) في معنى الجلباب وأخذها منه الحافظ منه في (الفتح ) و زاد بعضهم كما سيأتي إن شاء الله
Dalam Syarh Muslim an Nawawi menyebutkan delapan pendapat mengenai
makna jilbab. Penjelasan an Nawawi ini lantas dikutip oleh al Hafizh
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
1-قَالَ النَّضْر بْن
شُمَيْلٍ هُوَ ثَوْب أَقْصَر وَأَعْرَض مِنْ الْخِمَار وهو اختيار الزمشخري
قال في (كشافه) ثوب واسع أوسع من الخمار ودون الرداء تلويه المرأة على
رأسها وتبقى منه ما ترسله على صدرها
Pendapat Pertama, An Nadhr bin Syumail menyebutkan bahwa
jilbab adalah kain yang lebih pendek dan lebih lebar dari pada khimar
(kerudung). Inilah pendapat yang dipilih oleh Zamakhsyari. Dalam al
Kasysyaf Zamakhsyari mengatakan bahwa jilbab adalah kain longgar yang
lebih besar dari pada khimar namun lebih kecil jika dibandingkan dengan
rida’ (rida’ adalah kain atasan yang pakai oleh laki-laki yang sedang
dalam kondisi ihram, pent) yang dililitkan oleh seorang perempuan untuk
menutupi kepalanya lalu sisanya dijulurkan untuk menutupi dada.
2- وَهِيَ الْمِقْنَعَة تُغَطِّي بِهِ الْمَرْأَة رَأْسهَا : وهو اختيار سعيد بن جبير
Pendapat kedua, jilbab adalah miqna’ah atau tutup kepala
yang digunakan seorang perempuan untuk menutupi kepalanya. Inilah
pendapat yang dipilih oleh Said bin Jubair.
3-وَقِيلَ : هُوَ ثَوْب وَاسِع دُون الرِّدَاء تُغَطِّي بِهِ صَدْرهَا ، وَظَهْرهَا
وهو اختيار السندي
في حاشيته على ابن ماجة : (ثَوْب تُغَطِّي بِهِ الْمَرْأَة رَأْسهَا
وَصَدْرهَا وَظَهْرهَا إِذَا خَرَجَتْ ) واختيار العيني في (شرح البخاري )
(جلباب وهو خمار واسع كالملحفة تغطي به المرأة رأسها وصدرها )
Pendapat ketiga, jilbab adalah kain longgar yang lebih
kecil jika dibandingkan dengan rida yang digunakan untuk menutupi dada
dan punggung. Inilah pendapat yang dipilih oleh as Sindi dalam Hasyiyah
Ibnu Majah. As Sindi mengatakan, “Jilbab adalah kain yang digunakan oleh
seorang perempuan untuk menutupi kepala, dada dan punggung ketika
keluar rumah”. Pendapat ini dipilih oleh al Aini dalam Syarah al
Bukhari. Beliau mengatakan, “Jilbab adalah khimar atau kerudung longgar
seperti milhafah yang dipakai oleh perempuan untuk menutupi kepala dan
dada”.
4-، وَقِيلَ : هُوَ كَالْمَلَاءَةِ
وهو
اختيار ابن رجب قال : (( الجلباب )) : هي الملاءة المغطية للبدن كله ،
تلبس فوق الثياب ، وتسميها العامة : الإزار ، ومنه قول الله – عز وجل – : {
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ } وهو اختيار البغوي في تفسيره
والألباني
Pendapat keempat, jilbab adalah mala-ah [semisal jas hujan
yang menutupi dari kepala sampai kaki, pent]. Inilah pendapat yang
dipilih oleh Ibnu Rajab. Beliau mengatakan, “Jilbab adalah mala-ah yang
menutupi seluruh badan yang dipakai setelah memakai pakaian rumahkan.
Orang awam [di zaman beliau, ent] menyebutnya izar. Itulah makna jilbab
yang Allah maksudkan dalam firman-Nya, “Mereka menjulurkan jilbab
mereka”. Pendapat ini juga dipilih oleh al Baghawi dalam tafsirnya dan
al Albani.
5- وَالْمِلْحَفَة : وهو اختيار الجوهري نقله ابن كثير عنه
Pendapat kelima, jilbab adalah milhafah. Inilah pendapat yang dipilih oleh al Jauhari sebagaimana nukilan Ibnu Katsir.
6- وَقِيلَ : هُوَ الْإِزَار ، وهو اختيار ابن الأعرابي كما في حاشية العدوي المالكي
Pendapat keenam, jilbab adalah izar [lihat pendapat
keempat]. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Arabi sebagaimana yang
disebutkan dalam hasyiyah al ‘Adawi al Maliki.
7- وَقِيلَ : الْخِمَار : ذكره النووي وابن حجر وغيرهما
Pendapat ketujuh, jilbab itu sama dengan khimar alias kerudung. Adanya pendapat semacam ini disebutkan oleh an Nawawi, Ibnu Hajar dll.
8-وقيل: الرداء فوق الخمار.
قاله ابن مسعود، وعبيدة، وقتادة، والحسن البصري، وسعيد بن جبير، وإبراهيم
النخعي، وعطاء الخراساني، وغير واحد.. (ابن كثير في تفسيره )
Pendapat kedelapan, jilbab adalah rida’ yang dikenakan
setelah mengenakan khimar atau kerudung. Demikian pendapat Ibnu Mas’ud,
Ubaidah, Qatadah, al Hasan al Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim an
Nakhai, Atha al Khurasani dll. Demikian yang disebutkan oleh Ibnu Katsir
dalam Tafsirnya.
9- وقال أبو حيان في (البحر ) : الجلباب : كل ثوب تلبسه المرأة فوق ثيابها ،
Pendapat kesembilan, jilbab adalah segala kain yang
dikenakan oleh seorang perempuan setelah mengenakan pakaian rumahan.
Demikian perkataan Abu Hayyan dalam al Bahr.
10- وقيل : كل ما تستتر به من كساء أو غيره
ذكره أبو حيان في
تفسيره ونقل البقاعي أنه اختيار الخليل بن أحمد قال البقاعي في تفسيره :
وقال حمزة الكرماني : قال الخليل : كل ما تستتر به من دثار وشعار وكساء فهو
جلباب
Pendapat kesepuluh, jilbab adalah kain atau yang lainnya
yang dipakai oleh seorang perempuan untuk menutupi tubuhnya. Al Baqa’i
dalam tafsirnya menukil perkataan Hamzah al Karmani yang menukil
perkataan al Khalil. Al Khalik mengatakan, “Semua pakaian yang digunakan
oleh perempuan untuk menutupi badannya baik pakaian dalam, pakaian luar
ataupun pakaian tambahan adalah jilbab”.
11-وقيل القميص : ذكره الملا علي القاري في (شرح المشكاة ) عن الأبهري وذكره البقاعي في تفسيره
وقال البقاعي عن جميع المعاني المتقدمة في تفسيره : (والكل يصح إرادته هنا )
Pendapat kesebelas, jilbab adalah qamis [long dress, pent].
Pendapat ini menurut al Mula ‘Ali al Qari dalam Syarh al Misykah adalah
pendapat al Abari. Pendapat ini juga disebutkan oleh al Baqa’i dalam
tafsirnya.
ثمرة الخلاف
Konsekuensi dari adanya perbedaan pendapat mengenai pengertian jilbab
بين البقاعي ثمرة الخلاف في معاني الجلباب فقال :
( فإن كان المراد القميص فإدناؤه إسباغه حتى يغطي يديها ورجليها ،
وإن كان ما يغطي الرأس فادناؤه ستر وجهها وعنقها
Al Baqa’I menyebutkan konsekuensi dari berbagai pendapat di atas
dengan mengatakan, “Jika yang dimaksud dengan jilbab adalah qamis [long
dress, pent] perintah Allah untuk idna’ jilbab maknanya adalah memakai
long dress hingga menutupi kedua tangan dan kedua kaki.
Jika yang dimaksud dengan jilbab adalah penutup kepala maka makna idna’
jilbab adalah menutupi wajah dan leher dengan kain penutup kepala
tersebut.
، وإن كان المراد ما يغطي الثياب فادناؤه تطويله وتوسيعه بحيث يستر جميع بدنها وثيابها ،
وإن كان المراد ما دون الملحفة فالمراد ستر الوجه واليدين )
Jika yang dimaksud dengan jilbab adalah kain yang menutupi pakaian
rumahan maka makna idna’ jilbab adalah memanjangkan dan melonggarkan
kain tersebut sehingga menutupi seluruh badan plus kain rumahan yang
telah dikenakan terlebih dahulu.
وكما قال الملا علي القاري أن بعض هذه المعاني متقاربة .
al Mula ‘Ali al Qari mengatakan bahwa sebagian pendapat dalam masalah ini mirip-mirip dengan pendapat yang lain.
وعندي أن الراجح
والله أعلم : أن كل ما غطت به المرأة رأسها ونحرها وظهرها هو الجلباب ، لأن
آية (إدناء الجلباب ) نزلت لتمييز الحرائر عن الإماء عند المفسرين ،
والإماء يكشفن شعورهن ونحورهن .
Pendapat yang lebih kuat, semua kain yang
dipergunakan oleh perempuan untuk menutupi kepala, leher dan punggung
(sehingga panjangnya adalah sampai pantat, pent) adalah jilbab karena
dua pertimbangan:
ولذلك كان عمر يضرب الإماء بالدرة إذا غطت رأسها وقعنته ،
Pertama, Umar memukuli budak-budak perempuan yang memakai penutup kepala.
ولأن الله عز وجل قال ({ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جلابيبهن } فمن هنا للتبعيض قاله الزمخشري و أبو حيان
Kedua, karena Allah berfirman (yang artinya), “Mereka menjulurkan sebagian jilbab mereka”. Min dalam ayat di atas bermakna sebagian.
وذكر الزمخشري أن التبعيض يحتمل أمرين :
الأول
: أن أن يتجلببن ببعض ما لهنّ من الجلاليب ، والمراد أن لا تكون الحرة
متبذلة في درع وخمار ، كالأمة والماهنة [ الخادمه ] ولها جلبابان فصاعداً
في بيتها .
والثاني : أن ترخي المرأة بعض جلبابها وفضله على وجهها تتقنع حتى تتميز من الأمة )
az Zamakhsyari menyebutkan bahwa ‘sebagian’ di sini mengandung dua kemungkinan makna.
Pertama, perempuan berjilbab dengan sebagian jilbab mereka dengan
pengertian wanita merdeka tidaklah hanya mengenakan long dress dan
kerudung sebagaimana budak perempuan yang melakukan berbagai pekerjaan
rumah. Wanita merdeka hendaknya memakai dua jilbab.
Kedua, perempuan menjulurkan sebagian dan sisa kain jilbabnya
pada wajah sehingga wajah tertutup kain. Dengan ini wanita merdeka
nampak berbeda dengan budak perempuan.
قلت : والراجح هو الاحتمال الأول ، لأن الوجه ليس بعورة على الصحيح والله أعلم .
Jika kita berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat maka
kemungkinan makna yang paling mendekati untuk pengertian ‘sebagian’ di
sini adalah kemungkinan makna yang pertama.
وأما من قال أن الوجه عورة . فلها أن تظهر أسافل ثيابها .
Sedangkan yang berpendapat bahwa wajah wanita adalah aurat maka
seorang wanita ketika keluar rumah boleh menampakkan bagian atau ujung
bawah dari pakaian rumahan yang dia kenakan.
قال ابن كثير : قال ابن
مسعود: كالرداء والثياب. يعني: على ما كان يتعاناه نساء العرب، من
المِقْنعة التي تُجَلِّل ثيابها، وما يبدو من أسافل الثياب فلا حرج عليها
فيه؛ لأن هذا لا يمكن إخفاؤه.
Ibnu Katsir mengatakan bahwa menurut Ibnu Mas’ud yang dimaksud dengan
’kecuali yang nampak’ rida’ [baca: kain penutup kepala yang lebar] dan
pakaian rumahan. Maksudnya sebagaimana kebiasaan wanita arab masa silam
yang memakai kain penutup kepala yang lebar menutupi pakaian rumahan
yang telah terlebih dahulu dikenakan. Dalam kondisi demikian,
terlihatnya ujung bawah pakaian rumahan tidaklah mengapa karena hal
tersebut tidak mungkin disembunyikan.
[ونظيره في زي النساء ما يظهر من إزارها، وما لا يمكن إخفاؤه. ]
Semisal dengan ujung bawah pakaian rumahan adalah izar [kain yang
menutupi tubuh bagian bawah] dan pakaian perempuan yang lain yang tidak
mungkin disembunyikan.
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=162278
Haruskah Jilbab Hitam
Warna jilbab yang dikenakan oleh muslimah ketika keluar rumah.
هل هناك لون معين يجب أن
ترتديه المرأة عند خروجها، أي لا بد مثلاً أن ترتدي جلباباً أسوداً مع
تغطية الوجه، أم ليس هناك لون معين يجب أن تتقيد به؟
Pertanyaan, “Apakah ada warna tertentu yang wajib dikenakan
oleh seorang muslimah ketika keluar rumah? Dengan kata lain, harus
memakai jilbab berwarna hitam disamping menutup wajah ataukah tidak ada
warna tertentu yang wajib dipatuhi oleh seorang muslimah?”
ليس هناك لون معين يجب أن
تتقيد به، إلا أنه يكون من الألبسة التي لا تلفت النظر ولا تسبب الفتنة،
تكون ملابس عادية ليس فيها ما يلفت النظر ويسبب الفتنة بمن يراهن،
Jawaban Ibnu Baz, “Tidak ada warna tertentu yang wajib dipatuhi
oleh seorang muslimah. Yang jadi ketentuan adalah hendaknya pakaian
seorang muslimah adalah pakaian yang tidak menarik pandangan lawan jenis
dan tidak menyebabkan adanya lelaki yang tergoda karenanya. Dengan kata
lain, warna pakaian yang dipakai adalah warna yang lazim (baca:umum
dipakai) sehingga tidak menarik perhatian lawan jenis dan tidak
menyebabkan laki-laki yang memandangnya menjadi tergoda.
لأن الله قال -جل وعلا-: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى[الأحزاب: 33]،
Dalil masalah ini adalah firman Allah yang artinya, “Dan tinggallah kalian wahai para wanita di rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagai tabarruj ala jahiliah dulu”(QS al Ahzab:33).
قال العلماء: التبرج: إظهار المحاسن والمفاتن من المرأة،
Menurut para ulama tabarruj adalah perilaku seorang wanita yang
menampakkan keindahan tubuhnya atau hal-hal yang bisa menggoda lawan
jenis (termasuk di dalamnya adalah warna pakaian, pent).
فاللباس العادي أسود أو غير
أسود، أحمر أو أزرق أو أخضر إذا كان لباساً عادياً ليس فيه زينة تلفت
النظر، ولا جمال يلفت النظر، فهذا هو الذي ينبغي،
Warna pakaian yang lazim dipakai di tengah masyarakat baik
berwarna hitam atau bukan hitam baik merah, biru atau pun hijau asalkan
warna yang lazim dan pakaian tersebut tidak diberi motif atau
renda-renda yang menarik pandangan lawan jenis serta tidak diberi
hiasan-hiasan yang menarik pandangan lawan jenis. Inilah pakaian yang
sepatutnya dikenakan oleh seorang muslimah.
وكذلك الملابس الداخلية تكون مستورة، بهذا الجلباب وبهذا العباءة مع ستر الوجه واليدين والقدمين حتى تكون بعيدة عن الفتنة،
Kriteria lain yang harus dipenuhi oleh pakaian seorang muslimah adalah
pakaian dalamannya harus tertutup oleh jilbab panjang atau abaya
(pakaian khas wanita saudi pent) di samping itu wajah, dua telapak
tangan dan dua telapak kaki harus tertutup sehingga wanita tersebut
tidak menjadi sumber godaan bagi laki-laki.
ولا مانع من أن
يكون الجلباب يحصل مع يكون الخمار يكون معه نظر، لا بد من تمكنها من النظر
حتى تعرف طريقها، أو تكون هناك عين واحدة مفتوحة، أو العينان حتى تعرف
الطريق، مع ستر البقية.
Tidaklah terlarang jika jilbab panjang tersebut di samping ditambah
dengan khimar (kerudung dalaman) juga ditambah dengan kain tipis yang
berfungsi untuk melihat jalan. Keberadaan kain tipis tersebut adalah
sebuah keharusan sehingga muslimah tersebut bisa melihat sekelilingnya
dan tahu jalanan yang dilewati.
Jika tidak diberi kain tipis untuk melihat maka bisa dengan membiarkan
satu atau dua mata terbuka sehingga bisa melihat jalan yang dilewati
asalkan bagian badan selain mata tetap tertutup rapat dengan baik”.
http://www.ibnbaz.org.sa/mat/18614
Haruskah Muslimah Memakai Hitam-hitam Menyeramkan
Tentang pakaian syuhroh Ibnul Atsir -sebagaimana yang dikutip oleh asy Syaukani dalam Nailul Author juz 2 hal 470- mengatakan,
الشهرة ظهور الشيء ، والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم والتكبر
“Syuhroh adalah sesuatu yang menonjol. Yang dimaksud dengan
pakaian syuhroh adalah pakaian yang menyebabkan pemakai menjadi kondang
di tengah-tengah masyarakat disebabkan warna pakaiannya menyelisihi
warna pakaian yang umum dipakai masyarakat. Akhirnya banyak orang
menatap tajam orang yang memakai pakaian tersebut dan pemakainya sendiri
lalu merasa dan bersikap sombong terhadap orang lain”.
Dalam kutipan di atas terdapat indikator pakaian syuhroh yaitu banyak
orang menatap tajam orang yang memakainya. Hal ini menunjukkan bahwa
jika suatu jenis pakaian itu kurang umum atau kurang familiar , alias
kurang memasyarakat di suatu daerah namun orang-orang di daerah tersebut
menganggapnya wajar sehingga tidak ada sorotan mata yang tajam
ditujukan kepada orang tersebut maka pakaian itu bukanlah pakaian
syuhroh yang tercela.
Dalam kutipan di atas juga disampaikan dampak buruk dari pakaian syuhroh
yaitu menimbulkan perasaan dan sikap sombong orang yang mengenakan
terhadap orang-orang di sekelilingnya.
Perkataan Ibnul Atsir di atas jelas menunjukkan adanya pakaian syuhroh
yang tercela gara-gara masalah warna pakaian. Warna pakaian yang nyleneh
dengan umumnya warna pakaian di suatu masyarakat dinilai oleh Ibnul
Atsir sebagai pakaian syuhroh yang tercela.
Lantas bagaimana dengan warna hitam yang suka dipakai oleh sebagian
muslimah di negeri kita, apakah tergolong termasuk pakaian syuhroh yang
tercela?
Jawaban masalah ini bisa kita jumpai rubrik tanya jawab Majalah As-Sunnah Solo tepatnya pada edisi 5 tahun XIII Sya’ban 1430 atau Agustus 2009 pada halaman kelima dengan judul “Soal Warna Baju”.
Redaksi Majalah As Sunnah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Ana
mau menanyakan apa hukum berpakaian bagi seorang muslimah dengan warna
pakaian terang. Apakah ada hadits yang menyatakan berpakaian warna gelap
disunahkan? Terkait di Indonesia misalnya, yang sudah menjadi hal umum
berpakaian berpakaian warna terang. Apakah bisa dijadikan dalil
pemborehan yang berbeda dengan muslimah di negara-negara Arab? Mohon
penjelasannya. Jazakumullahu khair” Amri, Samarinda +62852483xxxxx
Berikut ini jawaban redaksi majalah As Sunah atas pertanyaan di atas,
“Seorang wanita muslimah boleh memakai pakaian berwarna terang selama
tidak menimbulkan fitnah (baca: godaan terhadap lawan jenis, ed)
berdasarkan beberapa riwayat dari para wanita salaf [riwayat-riwayat ini
bisa dilihat di dalam kitab Jilbab Mar’atil Muslimah, hlm 121-124;
karya Syaikh al Albani].
Namun sepantasnya meninggalkan pakaian berwarna terang yang menarik
perhatian atau berwarna-warni yang menarik hati laki-laki. Karena tujuan
perintah berjilbab adalah untuk menutupi perhiasan. Kalau
jilbab/pakaian itu sendiri dihiasi dengan renda, bros, aksesori,
warna-warni yang menarik pandangan orang maka ini bertentangan dengan
firman Allah azza wa jalla,
ولا يبدين زينتهن
“Dan janganlah para wanita mukminah itu menampakkan perhiasan mereka” (QS an Nur/24:31).
Ummu Salamah-radhiyallahu ‘anha- berkata,
لما نزلت: يدنين عليهن من جلابيبهن خرج نساء الأنصار كأن علي رؤوسهن الغربان من الأكسية
Ketika turun firman Allah (yang artinya), “Hendaknya mereka (wanita-wanita beriman) mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”
(QS al Ahzab/33:59) wanita-wanita Anshar keluar seolah-olah pada kepala
mereka terdapat burung-burung gagak karena warna (warna hitam-red)
kain-kain (mereka). HR Abu Daud no 4101; dishahihkan oleh Syaikh al
Albani.
Hadits ini menunjukkan bahwa wanita-wanita anshar tersebut mengenakan jilbab-jilbab berwarna hitam.
Oleh karena itulah jika keluar rumah, hendaklah wanita memakai pakaian
yang berwarna gelap, tidak menyala dan berwarna-warni agar tidak menarik
pandangan orang. [Dan tidak harus berwarna hitam, apalagi di sebagian daerah yang masyarakatnya memandang warna hitam itu menyeramkan]. Wallahu a’lam”.
Demikian jawaban redaksi majalah As- Sunah namun sebagian kalimat yang ditebalkan(miring) itu berasal dari saya pribadi, bukan dari pihak redaksi.
Jadi di sebagian tempat warna pakaian hitam yang dikenakan oleh seorang
muslimah itu bisa jadi menjadi pakaian syuhroh ketika warna hitam di
daerah tersebut dinilai adalah warna yang “menyeramkan” sehingga dalam
kondisi seperti ini sangat tidak dianjurkan untuk memakai warna hitam.
Jilbab Hitam Menurut Ulama Yaman
Sebagian muslimah yang taat beragama beranggapan bahwa satu-satunya warna pakaian muslimah yang ‘nyunnah’ adalah hitam. Jika ada yang berpakaian dengan warna selain hitam -apapun warnanya- maka dia belum menjadi muslimah sejati.
Lebih parah lagi, ada yang beranggapan bahwa warna hitam adalah tolak
ukur muslimah yang bermanhaj salaf. Artinya jika warna pakaian seorang
muslimah bukan hitam maka dia bukan muslimah salafiyyah (muslimah yang
bermanhaj salaf).
Untuk menilai anggapan di atas, marilah kita simak fatwa salah seorang ulama ahli sunnah di Yaman saat ini yaitu Syeikh Abdullah bin Utsman adz Dzimari. Fatwa ini beliau sampaikan dalam sesi tanya jawab setelah ceramah ilmiah yang beliau sampaikan dengan judul ‘Barokah Tamassuk bis Sunnah’
(Keberkahan Berpegang Teguh dengan Sunnah/Ajaran Nabi). Ceramah ini
beliau sampaikan pada tanggal 19 Shofar 1427 H di radio ad Durus as
Salafiyyah minal Yaman. Fatwa beliau tentang warna pakaian muslimah ini
tepatnya ada pada menit 59:47- 1:02:39. Rekaman kajian ini ada pada
kami.
Berikut ini transkrip fatwa beliau dan terjemahnya.
القارئ: هذا السائل من ليبيا يقول ما الضابط للون بالنسبة لحجاب المرأة المسلمة الشرعي؟
Moderator
mengatakan, “Ada seorang penanya dari Libia yang mengajukan pertanyaan
sebagai berikut. Apa warna yang pas untuk pakaian muslimah yang
sejalan dengan syariat?”
الجواب: اللون هو أحسن الألوان بالنسبة لحجاب المرأة هو لون الأسواد لأن الغالب علي هذا اللون أنه لا يكون ملفتا للرجال.
Jawaban Syeikh Abdullah adz Dzimari, “Warna terbaik untuk pakaian seorang wanita adalah hitam dengan dua alasan. Alasan pertama, warna hitam biasanya tidak menarik dan memikat pandangan laki-laki.
الأمر
الثاني أن عائشة-رضي الله عنها- عندما ذكرت بعض نساء الصحابة -في
رواية:نساء المهاجرين, و في رواية: نساء الأنصار- “رحم الله نساء المهاجرين
عندما نزلت آية الحجاب عمدن إلي مروطهن وشققنها وحتي أصبحن كالغربان”.
Alasan
kedua, ketika Aisyah menceritakan sebagian istri para shahabat – pada
satu riwayat dikatakan ‘istri para shahabat Mujahirin’ namun pada
riwayat yang lain disebutkan ‘istri para shahabat Anshor- “Semoga Allah
melimpahkan rahmatNya kepada para istri shahabat Muhajirin. Ketika
ayat tentang jilbab turun, mereka robek kain korden lalu mereka kenakan
sebagai jilbab sehingga mereka seperti burung gagak”.
عائشة
تشابه النساء كالغراب و الغراب يكون كله أسود اللون لا يري عليه أثر
البياض. فهذا هو الأقرب و يكون بعيدا من أي لون أو تفصيل أو شكل للزينة.
هذا من ناحية اللون.
هذا من ناحية اللون.
Dalam riwayat ini, Aisyah menyerupakan para
shahabiyah dengan burung gagak. Sedangan buruk gagak itu seluruh
tubuhnya berwarna hitam. Tidak ada warna putih sedikitpun. Inilah warna
yang tepat karena dengan memakai warna pakaian seperti ini maka wanita
yang bersangkutan terhindar dari warna pakaian, corak dan motif yang
menari perhatian lawan jenis.
و
أما من ناحية الصفات فبعض أهل العلم ذكرثمان الصفات للحجاب الشرعي. أن
يكون الحجاب فضفاضا واسعا, لا ضيقا, و أن يكون سميكا غليظا, لا شفافا و أن
يكون هذا الحجاب من ثياب النساء, لا من ثياب الرجال و أن يكون سابغا للجسد
كله لا يظهر شيئا من الجسد و أن يكون خاليا من العطور والبخور و غيرها من
روائح. لأنها إذا خرجت لا يحل لها أن تخرج متعطرة أو متبخرة. وكذلك أن لا
يكون ثوب الزينة. وكذلك أن لا يكون ثوب الشهرة. وكذلك أن لا تكون المرأة
متشابة به بالكافرات.
فمثل هذه الأوصاف ينبغي أن تراعي في الحجاب.
فمثل هذه الأوصاف ينبغي أن تراعي في الحجاب.
Tentang criteria pakaian muslimah yang sesuai syariat, sebagian ulama menyebutkan ada delapan kriteria.
- Longgar, lapang dan tidak ketat
- Tebal dan tidak transparan
- Model pakaian yang dipakai adalah model pakaian wanita, bukan model atau bentuk pakaian laki-laki
- Menutup badan secara sempurna sehingga tidak ada satupun bagian badan yang nampak
- Tidak diberi wewangian karena ketika keluar rumah seorang wanita dilarang untuk mengenakan wewangian
- Tidak menarik perhatian lawan jenis
- Bukan pakaian tampil beda yang menyebabkan orang yang memakainya menjadi kondang di masyarakat
- Bukan model pakaian yang menjadi ciri khas wanita kafir sehingga dengan memakainya muslimah tersebut menyerupai wanita kafir. Inilah kriteria yang harus dipenuhi ketika seorang muslimah hendak berpakaian dengan sempurna.
و
أما اللون فقد سمعتم. و إذا كان هناك لون آخر هادئ و هو مشهور في أوساط
البلد اللتي تعيش فيهاهذه المرأة و لا تكون منفردة به فلا مانع إذا كان غير
ملفت.
Tentang warna, telah kalian ketahui warna yang terbaik. Namun jika memang ada warna lembut(tidak mencolok) selain hitam yang biasa dipakai oleh para wanita di masyarakat setempat sehingga jika ada seorang muslimah yang mengenakannya maka dia tidak menjadi nyleneh di masyarakatnya maka tidak terlarang selama warna pakaian tersebut tidak menarik perhatian lawan jenis.
Sampai di sini penjelasan Syeikh Abdullah adz Dzimari.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa warna pakaian muslimah selain hitam itu diperbolehkan selama tidak menarik perhatian lawan. Tolak ukur penilaian warna yang menarik perhatian dan tidak adalah ‘urf atau nilai yang berlaku di masyarakat.
Oleh karenanya memakai warna pakaian semacam itu tidaklah menurunkan
kadar dan kualitas ke-ahlisunnah-an atau ke-salafi-an seorang muslimah.
Oleh sebab itu menilai seorang muslimah itu salafiyyah ataukah bukan
dengan melihat warna jilbabnya hitam ataukah bukan adalah suatu hal yang
keliru dan sangat tidak berdasar.
Meski tidaklah kita ingkari bahwa memilih warna hitam sebagai pakaian muslimah itu yang lebih afdhol.
Akan tetapi yang sangat merisaukan adalah ketika warna hitam ini
dijadikan tolak ukur dan parameter apakah seorang wanita itu salafiyyah
ataukah bukan tanpa dasar dalil dan ilmu.
Bolehkah Wanita Muslimah Membuka Aurat Selain Dirumah Suaminya
Pertanyaan:
Bismillah.
Ustadz apakah benar ada hadits yang mengatakan bahwa seorang wanita
dilarang melepas pakaianya selain di rumah suaminya? Lalu bagaimana
dengan di rumah saudara seperti tante dll? Juga bagaimana jika seorang
wanita hendak membeli baju di mall /pusat perbelajaan yang harus melepas
pakaiannya karena mencoba baju yang akan di beli? Atas jawaban ustadz
jazakAllohu khoir…
abu rahil
Jawaban:
Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani pernah mendapatkan pertanyaan
sebagai berikut, “Semua wanita yang melepas pakaiannya tidak di rumah
suaminya maka dia telah mencabik-cabik tirai yang Allah berikan
untuknya”.
Kami berharap mendapatkan penjelasan tentang hadits tersebut.
Jawaban beliau, “Yang dimaksudkan dengan melepas pakaian sebagaimana
dalam hadits di atas adalah telanjang untuk keperluan memasuki al hammam
(pemandian umum air hangat yang ada di masa silam). Pemandian ini tentu
tidak berada di dalam rumah sendiri namun berada di rumah salah satu
tetangga atau kerabat yang bukan mahram. Perempuan semacam inilah yang
mendapatkan ancaman sebagaimana dalam hadits di atas.
Sedangkan melepas kerudung di tengah-tengah sesama muslimah tidaklah termasuk dalam larangan yang ada pada hadits di atas.
Melepas pakaian yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah melepas
seluruh pakaian dengan kata lain telanjang bulat karena hendak masuk
pemandian umum.
Di antara bukti yang menunjukkan benarnya pemaknaan sebagaimana di atas
adalah sebab yang melatar belakangi ‘Aisyah menyampaikan hadits di atas.
Ketika beliau dikunjungi oleh sejumlah wanita, beliau bertanya tentang
asal negeri mereka. Ketika mereka menyampaikan bahwa mereka itu berasal
dari Himsh, beliau berkomentar, “Itulah negeri yang para wanitanya suka
pergi ke pemandian umum”. Kemudian beliau menyebutkan hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas yang bunyinya,
ما من امرأة تخلع ثيابها فى غير بيتها إلا هتكت ما بينها وبين الله تعالى
“Semua wanita yang melepas pakaiannya tidak di rumahnya maka dia telah mencabik-cabik tirai antara dirinya dengan Allah” [HR Abu Daud no 4010, dinilai sahih oleh al Albani]”.
Mengomentari fatwa Syaikh al Albani di atas Amr Abdul Mun’im Salim
mengatakan, “Hadits di atas hanya berlaku – sebagaimana penjelasan
Syaikh Al Albani- untuk wanita yang melepas pakaiannya dan menampakkan
auratnya di rumah atau tempat milik lelaki ajnabi (non mahrom), bukan
rumahnya bukan pula rumah salah seorang mahramnya. Di tempat tersebut
tidaklah menutup kemungkinan aurat si wanita akan terlihat oleh
laki-laki atau wanita yang tidak boleh melihat auratnya.
Sedangkan melepaskan pakaian di rumah sendiri atau rumah saudaranya atau
rumah orang tuanya hukumnya tidaklah mengapa. Bahkan seorang wanita
boleh melepas pakaian di setiap rumah yang aman dari pandangan orang
yang tidak boleh memandang meski rumah tersebut bukanlah rumah
mahramnya. Dalilnya adalah hadits dari Fathimah binti Qais yang
diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghabiskan masa iddah di rumah Ummu Syarik kemudian beliau larang.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Fathimah binti Qais,
تِلْكَ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِى اعْتَدِّى عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ
“Ummu Syarik adalah perempuan yang sering dikunjungi oleh para
sahabatku. Habiskanlah masa iddahmu di rumah Ibnu Ummi Maktum. Dia
adalah seorang yang buta. Engkau bisa melepaskan pakaianmu” (HR Muslim no 3770).
Sehingga semua tempat yang bisa dipastikan tidak ada seorang pun
yang bisa melihat auratnya diperbolehkan bagi seorang wanita untuk
melepas pakaiannya di tempat tersebut sebagaimana hadits di
atas. Yang terlarang adalah melepas pakaian di tempat pemandian umum
karena di tempat semisal ini kemungkinan besar seorang wanita
menampakkan auratnya kepada orang yang tidak boleh melihat auratnya”
[Jami’ Masa-il an Nisa’ yang dikumpulkan oleh Amr Abdul Mun’im Salim
hal68-69, Dar al Dhiya’ Thanta Mesir, cetakan pertama 1427 H].
Potongan Pakaian Muslimah Yang Tidak Syar'i
(afwan, bukan menghalalkan gambar.. silahkan di klik untuk memperbesar..!) |
Sebagian muslimah multazimah (yang komitmen dengan berbagai aturan
syariat) beranggapan bahwa pakaian muslimah yang syar’i harus berupa
memakai jubah, gamis panjang atau terusan. Akhirnya mereka beranggapan
bahwa muslimah yang memakai pakaian potongan (ada atasan dan ada
bawahan) bukanlah muslimah yang mengenakan pakaian yang syar’i. Di
samping itu muncul anggapan bahwa itu adalah gaya berpakaian ala haroki
atau hizbi. Padahal jika kita tahu bahwa model pakaian muslimah semacam
itu adalah model pakaian yang masih diperkenankan oleh syariat tentu
tidak sepantasnya kita memiliki anggapan-anggapan semisal di atas.
Kita semua memiliki kewajiban untuk berilmu sebelum beramal dan berucap.
Berikut ini kami bawakan fatwa ulama ahli sunnah dalam masalah ini.
Setelah mentelaahnya, kita akan mengetahui komentar apa yang tepat untuk
model pakaian muslimah di atas.
السؤال الخامس من الفتوى رقم ( 7791 )
س5: ما هي شروط الحجاب، أيجب أن يكون الجلباب قطعة واحدة أم يمكن أن يكون قطعتين، وإذا فعل هذا أيكون بدعة أم لا؟ أفيدونا.
Pertanyaan kelima pada fatwa no 7791
Pertanyaan, “Apa saja syarat hijab (pakaian muslimah)? Apakah
jilbab (pakaian muslimah) itu wajib terdiri dari satu potong kain
ataukah diperbolehkan jika terdiri dari dua potong kain? Jika pakaian
muslimah tersebut terdiri dari dua potong kain apakah itu bid’ah ataukah
tidak? Beri kami jawaban”.
ج5: الحجاب سواء كان قطعة أو
قطعتين فليس في ذلك بأس إذا حصل به الستر المطلوب المشروع. وبالله
التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Jawaban, “Tidaklah mengapa seandainya hijab (pakaian muslimah)
itu terdiri dari satu potong kain ataukah dua potong asal pakaian
tersebut menutupi aurat dengan baik sebagaimana yang dikehendaki oleh
syariat”.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … الرئيس
عبد الله بن غديان … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Fatwa ini ditandatangani oleh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
sebagai ketua Lajnah Daimah dan Abdullah bin Ghadayan sebagai anggota.
Fatwa Lajnah Daimah ini terdapat dalam buku Fatawa Lajnah Daimah tepatnya pada jilid 17 halaman 177
sumber artikel: http://ustadzaris.com
Subhanallah.. Memang Wanita adalah Perhiasan Dunia dan Bidadarinya Dunia, maka dari itu kita bisa mengambil manfaat dari tulisan ini..Amiin
BalasHapusBAJU MUSLIMAH