Larangan Tasyabuh
بسم الله الرحمن الرحيم
Allah Ta’ala telah berfirman dalam Kitab-Nya yang agung, “Tidak akan rela orang-orang Yahudi dan Nasrani kepadamu hingga kamu mengikuti millah (agama) mereka.” (QS. Al-Baqarah: 120)
Dan Nabi Muhammad bersabda, “Dan
pasti kalian akan mengikuti orang-orang sebelum kalian setapak demi
setapak dan sejengkal demi sejengkal, hingga kalaupun mereka masuk ke
lubang biawak kalian pasti akan mengikutinya.”, Para sahabat bertanya,
“Ya Rasulullah, jejak orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab ,
“Siapa lagi kalau bukan mereka.” (HR. Muslim no. 2669)
Rasulullah juga bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad dalam musnadnya juz II hal. 50)
Wahai saudaraku yang mulia,
sesungguhnya masalah tasyabbuh (menyerupai) terhadap orang-orang kafir
ini merupakan topik yang sangat penting. Islam menjadikan masalah ini
termasuk dalam hal yang sangat diperhitungkan. Nabi telah
memperingatkan dalam beberapa hadits yang berkenaan dengan tasyabbuh
terhadap orang-orang kafir, baik secara global maupun secara detil.
Tetapi,
di sisi lain sebagian umatnya justru telah terjerumus ke dalam jurang
tasyabbuh, walaupun berbeda tingkat dan derajat tasyabbuhnya, sesuai
dengan kadar kerusakan yang terjadi pada umat dari zaman ke zaman. Oleh
karena itu tidaklah salah kalau kami katakan bahwa kadar tasyabbuh
yang menimpa umat Islam di zaman kini telah mencapai tingkat yang
paling kronis dibanding keadaan yang telah menimpa pada umat-umat
terdahulu.
PENGERTIAN TASYABBUH
At-Tasyabbuh
secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti meniru atau
mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti. At-Tasybih
berarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa).
Dikatakan tasyabbaha bihi artinya serupa dengannya, meniru dan
mengikutinya.
Tasyabbuh yang
dilarang dalam Al-Quran dan As-Sunnah secara syar’i adalah menyerupai
orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya, baik dalam aqidah,
peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku yang menunjukkan
ciri khas mereka (kaum kafir).
Oleh
karena itu, secara global kita katakan bahwa segala sesuatu yang tidak
termasuk ciri khusus orang-orang kafir, baik aqidahnya,
adat-istiadatnya, peribadatannya, dan hal itu tidak bertentangan dengan
nash-nash serta prinsip-prinsip syari’at, atau tidak dikhawatirkan
akan membawa kepada kerusakan, maka tidak termasuk tasyabbuh. Inilah
pengertian secara global.
MENGAPA TASYABBUH TERHADAP ORANG-ORANG KAFIR DILARANG
Yang
pertama kali harus kita pahami seperti dinyatakan dalam beberapa
ketentuan Islam, bahwa dien (Islam) dibangun di atas pondasi yang
dinamakan at-taslim, yakni penyerahan diri secara totalitas kepada
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Sedangkan at-taslim sendiri bermakna
membenarkan seluruh yang diberitahukan Allah Ta’ala, tunduk kepada
perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Kemudian
membenarkan apa-apa yang disampaikan Rasul-Nya, tunduk kepada perintah
beliau, menjauhi larangannya dan mengikuti semua petunjuk beliau .
Dalam
permasalahan ini kita dapat mengatakan, bahwa faktor yang menyebabkan
kita dilarang bertasyabbuh dengan orang-orang kafir banyak sekali. Dan
sebagian besar dari faktor tersebut dapat diterima oleh akal sehat dan
fitrah yang suci. Adapun penyebab timbulnya larangan tasyabbuh,
diantaranya:
1. Semua perbuatan orang kafir pada dasarnya dibangun di atas pondasi kesesatan (dhalalah) dan kerusakan (fasad).
Inilah
sebenarnya titik tolak semua perbuatan dan amalan orang-orang kafir,
baik yang bersifat menakjubkan anda atau tidak, baik yang dzahir
(nampak nyata) kerusakannya ataupun terselubung. Karena sesungguhnya
yang menjadi dasar semua aktivitas orang-orang kafir adalah dhalal
(sesat), inhiraf (menyeleweng dari kebenaran), dan fasad (rusak). Baik
dalam aqidah, adat-istiadat, ibadah, perayaan-perayaan hari besar,
ataupun dalam pola tingkah lakunya.
Adapun
kebaikan yang mereka perbuat hanyalah merupakan suatu pengecualian
saja. Oleh karena itu jika ditemukan pada mereka perbuatan-perbuatan
baik, maka di sisi Allah Ta’ala tidak memberi arti apapun baginya dan
tidak diberi pahala sedikitpun. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan Kami hadapi amal yang mereka kerjakan, kemudian Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
2. Dengan bertasyabbuh terhadap orang kafir, maka seorang muslim akan menjadi pengikut mereka.
Yang
berarti dia telah menentang atau memusuhi Allah Ta’ala dan Rasul-Nya .
Dan dia akan mengikuti jalur orang-orang yang tidak beriman. Padahal
dalam perkara ini terdapat peringatan yang sangat keras sekali,
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas datang kepadanya petunjuk dan mengikuti jalannya
orang-orang yang tidak beriman, Kami biarkan ia leluasa dengan
kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang
kafir) kemudian Kami seret ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)
3.
Hubungan antara sang peniru dengan yang ditiru seperti yang terjadi
antara sang pengikut dengan yang diikuti yakni penyerupaan bentuk yang
disertai kecenderungan hati, keinginan untuk menolong serta menyetujui
semua perkataan dan perbuatannya.
Dan
sikap itulah yang menjadi bagian dari unsur-unsur keimanan, di mana
seorang muslim tidak diharapkan untuk terjerumus ke dalamnya.
4. Sebagian besar tasyabbuh mewariskan rasa kagum dan mengokohkan orang-orang kafir.
Dari
sana timbullah rasa kagum pada agama, kebudayaan, pola tingkah laku,
perangai, semua kebejatan dan kerusakan yang mereka miliki.
Kekagumannya kepada orang kafir tersebut akan berdampak penghinaan
kepada As-Sunnah, melecehkan kebenaran serta petunjuk yang dibawa
Rasulullah dan para salafush shalih (pendahulu umat Islam yang
shalih). Karena barangsiapa yang menyerupai suatu kaum pasti sepakat
dengan fikrah (pemikiran) mereka dan ridha dengan semua aktivitasnya.
Inilah bentuk kekaguman terhadap mereka. Sebaliknya, ia tidak akan
merasa kagum terhadap semua hal yang bertentangan dengan apa yang
dikagumi tersebut.
5.
Musyabbahah (meniru-niru) itu mewariskan mawaddah (kasih sayang),
mahabbah (kecintaan), dan mawalah (loyalitas) terhadap orang-orang yang
ditiru tesebut.
Karena bagi seorang
muslim jika meniru dan mengikuti orang-orang kafir, pasti dalam
hatinya ada rasa ilfah (akrab dan bersahabat) dengan mereka. Dan rasa
akrab dan bersahabat ini akan tumbuh menjadi mahabbah (cinta), ridha
serta bersahabat kepada orang-orang yang tidak beriman. Dan akibatnya
dia akan menjauh dari orang-orang yang shalih, orang-orang yang
bertakwa, orang-orang yang mengamalkan As-Sunnah, dan orang-orang yang
lurus dalam ber-islam. Hal tersebut merupakan suatu hal yang naluriah,
manusiawi dan dapat diterima oleh setiap orang yang berakal sehat.
Khususnya jika muqallid (si pengikut) merasa sedang terkucil atau
sedang mengalami kegoncangan jiwa. Pada saat yang demikian itu apabila
ia mengikuti yang lainnya, maka ia akan merasa bahwa yang diikutinya
adalah agung, akrab bersahabat, dan terasa menyatu dengannya. Kalau
tidak, maka keserupaan lahiriah saja sudah cukup baginya. Keserupaan
lahiriah ini direfleksikan ke dalam bentuk kebudayaan dan tingkah laku.
Dan tidak bisa tidak, kelak akan berubah menjadi penyerupaan batin.
Hal ini merupakan proses yang wajar dan dapat diterima oleh setiap
orang yang mau mengamati permasalahan ini dalam pola tingkah laku
manusia (human being). Kami akan memberikan contoh yang menggambarkan
adanya keserupaan, kecintaan, dan keakraban antara orang-orang yang
senasib.
Kalau seseorang bepergian
ke negeri lain maka ia akan menjadi orang asing di sana. Jika dia
bertemu dengan seseorang yang berpakaian sama dengan pakaiannya,
kemudian berbicara dengan bahasa yang sama pula pasti akan timbul
mawaddah (cinta) dan ilfah (rasa akrab bersahabat) lebih banyak
dibanding kalau di negeri sendiri. Jadi apabila seseorang merasa serupa
dengan lainnya, maka rasa persamaan ini akan membekas di dalam
hatinya. Ini dalam masalah yang biasa. Lalu bagaimana jika seorang
muslim menyerupakan diri dengan orang-orang kafir karena kagum kepada
mereka? Dan memang inilah yang kini banyak terjadi. Suatu hal yang
tidak mungkin, seorang muslim bertaklid dan menokohkan orang kafir
kalau tidak berawal dari rasa kagum, kemudian disusul dengan keinginan
untuk mengikuti, mencontoh, dan akhirnya menumbuhkan rasa cinta yang
mendalam yang disertai dengan sikap loyalitas yang tinggi. Hal itu bisa
dilihat pada masa sekarang di mana banyak muslim yang bergaya hidup
kebarat-baratan.
6.
Bertasyabbuh terhadap orang-orang kafir pada dasarnya akan
menjerumuskan kepada kehinaan, kelemahan, kekerdilan (rendah diri), dan
kekalahan.
Oleh karena itu sikap
bertasyabbuh dilarang keras. Demikianlah yang terjadi pada sebagian
besar orang-orang yang mengikuti orang-orang kafir sekarang.
BEBERAPA KAIDAH PENTING
Yang harus dipahami dari kaidah dasar yang dijadikan tolok ukur tasyabbuh adalah sebagai berikut:
Kaidah Pertama:
Rasulullah
memberitakan kepada kita bahwa sebagian umat ini pasti akan mengikuti
jejak orang-orang terdahulu dari umat lain. Hadits mengenai hal ini
merupakan hadits shahih, seperti yang tertulis dalam kitab-kitab Shahih
dan kitab-kitab Sunan. Di antaranya sabda beliau yaitu: “Umat ini
pasti akan mengikuti jejak umat-umat sebelumnya, setapak demi setapak,
sejengkal demi sejengkal.”
Dan,
hadits-hadits lain hingga sampai derajat jazm (pasti), yang menyatakan
bahwa sebagian umat ini pasti akan terjerumus ke arah langkah-langkah
orang-orang kafir. As-Sunan (jalan atau jejak) yang dikabarkan Nabi
seperti kata para ahli ilmu, meliputi aqidah, ibadah, hukum, adat
kebudayaan, tingkah laku, dan hari-hari besar atau perayaan-perayaan.
Yang
dimaksud dengan umat-umat sebelumnya, dari beberapa keterangan
hadits-hadits lain dari Nabi , secara singkat dinyatakan, bahwa mereka
itu adalah bangsa Persia dan Romawi. Ada pula yang menyatakan bahwa
mereka itu adalah dari kalangan Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani. Juga,
ada yang menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir secara
mutlak. Bahkan, ada yang menafsiri bahwa mereka adalah orang-orang
musyrik.
Nash-Nash tersebut saling
mendukung antara satu dengan lainnya. Merupakan suatu kepastian bahwa
umat ini akan mengikuti jejak orang-orang kafir. Dan dapat dipastikan
pula, bahwa yang mereka ikuti dan tiru dari orang-orang kafir salah
satunya dalam bentuk firqah-firqah (kelompok). Sebab, Nabi menyatakan,
bahwa akan tetap tinggal sebagian umat ini yang tetap berpegang pada
kebenaran dan memperjuangkannya. Mereka itu adalah golongan yang berhak
mendapat pertolongan, yang menerangkan kebenaran dengan
terangterangan, yang menyuruh kepada yang ma’ruf, yang melarang
kemaksiatan dan kemungkaran, yang tidak pernah merasa terhalangi oleh
orang-orang yang mencela dan memusuhinya hingga hari kiamat. Merekalah
yang dinamakan Al-Firqatu An-Najiyah (golongan yang selamat). Dan
sebagian dari tanda-tanda keselamatannya yaitu keadaan mereka yang
selalu berpegang pada kebenaran, tidak terjatuh dalam jurang tasyabbuh
dengan orang-orang kafir.
Berdasarkan
hal ini maka sabda Nabi yang menyatakan bahwa ada sebagian umatnya
yang mengikuti jejak umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan, tidak
lain bahwa mereka itu adalah ahlu iftiraq (kelompok sempalan) yang
memisahkan diri dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Kaidah Kedua
Nabi
ketika memberi tahu kepada kita bahwa sebagian umat ini akan terjatuh
dalam perangkap tasyabbuh atau mengikuti jejak orang-orang kafir, maka
sesungguhnya beliau telah mengingatkan tentang perkara ini dengan
peringatan yang sangat keras. Pertama, pemberitahuan beliau mengenai
hal ini mengandung peringatan. Kedua, yang dimaksud Nabi adalah
memperingatkan agar jangan sampai bertasyabbuh dengan orang-orang
kafir, baik secara global maupun secara detil. Adapun secara global,
seperti sabda beliau , “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka
dia termasuk golongan mereka.” Dan seperti hadits yang telah lalu,
“Sungguh kalian pasti akan mengikuti jejak umat-umat sebelummu.”
Hadits-hadits
tersebut bernada peringatan dan pemberitahuan terjatuhnya umat ke
dalam tasyabbuh. Demikian juga yang termaktub dalam hadits-hadits lain,
bahwa Nabi pernah bersabda, “Selisihilah orang-orang musyrik.”. Dan sabdanya , “Selisihilah orang-orang Yahudi.” (HR. Abu Dawud no. 652). Dan sabdanya, “Selisihilah orang-orang Majusi.”
(HR. Muslim no. 260). Semuanya merupakan nash-nash yang bersifat umum
dan global. Adapun yang secara terperinci akan kami terangkan, insya
Allah, pada edisi berikutnya sebagai contoh praktis terhadap topik ini.
Kaidah Ketiga
Maklumat
beliau bahwa sebagian umat beliau ada yang tetap berpegang teguh pada
kebenaran, tidak akan mampu dibendung oleh orang-orang yang suka
mencelanya dan tidak pula oleh orang-orang yang memusuhinya hingga hari
kiamat.
Kaidah-kaidah ini tidak
mungkin dipisahkan antara yang satu dengan lainnya kalau kita ingin
melihat masalah tasyabbuh ini. Karena kalau kita memisahkan nash yang
satu dengan nash lainnya, maka sebagian manusia akan menyangka bahwa
seluruh muslimin akan terjatuh dalam tasyabbuh.
PENUTUP
Kaidah-kaidah
ini tidak mungkin dipisahkan antara yang satu dengan lainnya kalau
kita ingin melihat masalah tasyabbuh ini. Karena kalau kita memisahkan
nash yang satu dengan nash lainnya, maka sebagian manusia akan
menyangka bahwa seluruh muslimin akan terjatuh dalam tasyabbuh.
Untuk
mendekatkan pemahaman, mungkin ada yang berkata, “Kalau tidak boleh
ikut-ikutan orang kafir, kenapa umat Islam juga memakai mobil, motor,
handphone, dst yang itu semua (kebanyakannya) buatan orang kafir? Tidak
naik onta saja, dst, seperti Rasulullah dulu?”. Maka jawabnya, sekali
lagi, yang dimaksudkan dengan tasyabbuh di sini adalah perkara yang
menjadi ciri khas orang kafir (seperti keyakinan, ibadah, budaya,dst),
bukan masalah yang tidak menjadi kekhususan bagi mereka (baca dengan
seksama penjelasan di atas, dari awal). Dalam urusan duniawi, terdapat
kaidah “hukum asal perkara dunia adalah boleh, sampai ada dalil
(Al-Qur’an dan Sunnah) yang melarangnya”.
Maka
jika kita memakai peralatan, pakaian, komputer, motor, dst, selama
pemakaian barang-barang itu tidak menyelisihi syari’at, maka tidak
termasuk tasyabbuh. Akan tetapi, jika kita (misalnya) memakai pakaian
yang mode (gayanya) menyerupai orang-orang kafir (seperti pakaian ketat
dan mengumbar aurat, dst) maka ini dilarang, karena menyelisihi
syari’at berpakaian. InsyaAllah akan kami rinci dalam pembahasan pecan
depan. Nantikan…
Oleh : Tim Redaksi Buletin Istiqomah
Rujukan : Mantasyabbaha biqoumin Fahuwa Minhum, karya Dr.Nashir Bin Abdul Karim Al-Aql
Tidak ada komentar:
Posting Komentar