Sabtu, 25 Februari 2012

BAB 18

 
“Wahai orang yang telah menghancurkan
kehormatan orang lain, dan yang memutuskan tali kasih,
kau akan hidup penuh kehinaan.
Jika engkau orang merdeka dan
dari keturunan orang yang baik-baik,
pastilah kau tidak akan menodai kehormatan orang lain.”
(Imam Syafi’i)

Betapa seringnya kita menghancurkan keluarga kita sendiri demi memperoleh keasyikan-keasyikan kecil. Saat-saat berkumpul yang mestinya bisa digunakan untuk berbicara dari hati ke hati, berubah menjadi pembicaraan yang menggelapkan hati lantaran kita tidak berhati-hati.
Pembicaraan yang mestinya bisa saling mengakrabkan antar anggota keluarga dan menguatkan perasaan kasih-sayang, berubah menjadi ajang untuk membuka aib orang lain.
Betapa mengasyikkannya ghibah (menggunjing) dan betapa buasnya ia menerkam kita. Betapa besarnya bahaya ghibah dan betapa sulitnya kita menghindari. Ia datang mengajak setiap orang, sehingga kita bisa mendengar orang melakukan ghibah saat pengajian, saat ngobrol santai, saat..., bahkan saat memberikan khotbah nikah.


Di keluarga, menggunjing sering terjadi saat acara-acara santai; saat melepas lelah di siang hari; saat minum kopi atau teh panas di malam hari; saat kawan lama datang bertamu; atau saat suami pulang dengan membawa sedikit “kekecewaan” karena terbentur dengan teman. Kadang acara santai tidak dihabiskan dengan menggunjing, tetapi digunakan untuk melotot di depan TV yang sebagian beritanya juga berisi gunjingan terhadap orang lain.

Hampir setiap kita tidak bisa melepaskan dari perbuatan ghibah (menggunjing), kecuali orang-orang yang betul-betul wara’ (sangat menjaga diri) saja. Ia menyerang semua lapisan, semua kelas sosial ekonomi, serta segala latar belakang. Kita sering mendapat kesempatan untuk ghibah di saat sedang “berdakwah”. Kita kadang melakukan ghibah dengan alasan amar makruf nahi munkar meskipun kita tidak pernah mengingatkan orang yang kita gunjing.
 
Saya teringat dengan ceramah Ustadz Dzikrullahu Akbar (semoga Allah memuliakan hidup dan matinya). Beliau pernah bercerita tentang masa’il qalbiyyah (masalah-masalah hati) sampai akhirnya sampai kepada pembahasan tentang menjaga komentar. Ustadz Dzikrullahu Akbar menceritakan seorang ulama yang sangat menjaga komentarnya sehingga tidak bisa dipancing-pancing, sampai-sampai seakan lebih baik disembelih daripada membicarakan keburukan orang lain. 

Ustadz Dzikrullahu Akbar sendiri konon adalah orang yang berhati-hati dalam masalah ghibah. Pernah seorang aktivis dakwah datang mengadu. Ia menceritakan kawannya begini dan begitu. Semua untuk pengertian yang negatif. Kali ini Ustadz Dzikrullah diam.
Di waktu yang lain, aktivis tersebut datang lagi. Ceritanya masih sama dengan sebelumnya; tindakan teman lain yang justru membawa dampak yang negatif, dan seterusnya. Semuanya menggambarkan negatifnya orang lain dan positifnya apa yang diperjuangkan, tanpa pernah membicarakan kekurangan-kekurangannya. Kali ini Ustadz Dzikrullahu masih tetap diam.
Aktivis itu kemudian datang lagi untuk ketiga kali. Ia menceritakan lagi tentang temannya di remaja masjid yang menjadi “pengganggu” dakwahnya. Ia bercerita panjang lebar.
Selesai bercerita, Ustadz Dzikrullahu Akbar berkata kepada aktivis tersebut, “Aku ini heran, Mas. Sampeyan sedari dulu hingga sekarang sudah tiga kali bicara kepada aku tentang masalah itu. Tapi seingatku, Sampeyan itu tidak pernah mengakui bahwa Sampeyan ya pernah berbuat salah kepada orang itu, entah sekali atau dua kali. Kok tidak pernah. Cerita Sampeyan itu, yang jelek semua teman Sampeyan. Teman Sampeyan itu jeleeek thok, tidak ada baiknya.” “Kesimpulanku begini akhirnya,” kata Ustadz Dzikrullahu Akbar, “Sampeyan itu malaikat atau Nabi. Teman Sampeyan itu setan. Bagaimana?” “Ah, ya tidak begitu,” kata aktivis dakwah itu menyergah.

“Lha cerita Sampeyan begitu-e. Tidak pernah menyebut kebaikannya, jeleek thok. Sementara sikap Sampeyan pada dia, baiiik thok,” kata Ustadz dari Jawa Timur ini. Cerita Ustadz Dzikrullahu Akbar kita cukupkan sampai di sini dulu. Selanjutnya, saya ingin menulis lebih jauh tentang menggunjing, bahayanya bagi kehidupan kita, serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan.
Saya tulis bab ini sebagai peringatan bagi diri saya sendiri, istri saya (perhatikan tulisan ini baik-baik), orangtua saya, saudara-saudara saya, sahabat-sahabat saya, orang-orang yang saya cintai, serta kaum muslimin seluruhnya. Semoga Allah menolong saya dalam menulis bab ini dan mengampuni dosa-dosa serta kezaliman saya. Semoga Allah memperbaiki mulut-mulut kita yang sering kita kotori ini dengan perkataan-perkataan yang membawa maslahat. Astaghfirullahal ‘adzim. Laa ilaaha illa Anta, subhanaKa inni kuntu minadzdzalimin.---
 
Banyak di antara kita
yang merasa tidak menggunjing
ketika mereka membicarakan orang lain,
meskipun telah jelas-jelas menggunjing.
---

Sudah Termasuk Menggunjing
Tak jarang kita sulit diingatkan. Kita tetap saja menggunjing karena yang kita bicarakan memang benar-benar terjadi. Kita merasa tidak menggunjing karena ada fakta yang membenarkan pembicaraan kita. Padahal larangan menggunjing bukan atas alasan faktual atau tidak, tetapi atas alasan menjaga kehormatan sesama muslim.

Setiap muslim dijaga kehormatannya. Tak seorang pun boleh membuka-buka kekhilafan orang lain yang disembunyikan, sekalipun yang membuka itu seorang kepala negara. Tak seorang pun boleh mengintip dan memasuki rumah orang lain jika tidak diizinkan, sekalipun itu rumah rakyat jelata yang miskin dan tak berdaya. Apalagi jika sampai merampas tanahnya, sekalipun untuk mendirikan bangunanbangunan yang membawa kemaslahatan bagi ummat manusia.
Barangkali kita sulit menemukan contoh yang lebih indah di zaman ini ketimbang yang pernah dicontohkan oleh Umar bin Khaththab. Suatu ketika Umar melakukan ronda malam bersama Abdullah bin Mas’ud. Pada tempat yang terpencil mereka melihat kerlipan cahaya. Dari arah yang sama, mereka mendengar sayupsayup suara orang bernyanyi. Keduanya mengikuti cahaya itu dan sampai di sebelah rumah. Diam-diam Umar menyelinap masuk. Ia melihat seorang tua sedang duduk santai. Di hadapannya ada cawan minuman dan seorang perempuan yang sedang
bernyanyi.

Umar menampakkan dirinya dan menghardik, “Belum pernah aku melihat pemandangan seburuk yang aku lihat malam ini. Seorang tua yang menanti ajalnya! Hai musuh Allah, apakah kamu mengira Allah akan menutup aibmu padahal kamu berbuat maksiat.”
Orang tua itu menjawab, “Janganlah tergesa-gesa, ya Amirul Mukminin. Saya hanya berbuat maksiat satu kali. Anda menentang Allah sampai tiga kali. Tuhan berfirman:

“Janganlah mengintip keburukan orang lain [tajassus].” (Al-Hujuraat 49: 12).
Anda telah mengintip. Tuhan berfirman:

“Masuklah ke rumah-rumah dari pintunya.” (Al-Baqarah 2: 189).
Anda menyelinap masuk. Dan Anda sudah masuk ke sini tanpa izin, padahal Allah berfirman:
“Janganlah kamu masuk ke rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin dan mengucapkan salam kepada orang yang ada di dalamnya.” (An-Nuur 24: 27).
Umar berkata, “Kamu benar!” Ia keluar, menggigit pakaiannya sambil menangis, “Celaka kamu, Umar, jika Allah tidak mengampunimu. Ada orang yang bersembunyi dari keluarganya.
Sekarang ia akan berkata: Umar mengetahuiku. Kemudian keluarganya menguntitnya.” Selama beberapa waktu, orang tua itu tidak pernah menghadiri majelis Umar. Pada suatu hari, ia datang dan duduk di barisan paling belakang; seakan-akan ia mau bersembunyi dari pandangan Umar. Akan tetapi, Umar melihatnya dan memanggilnya. Orang tua itu berdiri dengan penuh kekhawatiran khalifah akan mempermalukannya dengan apa yang pernah dilihatnya. Umar menyuruhnya
mendekat, “Dekatkan telingamu padaku.” Ia berbisik kepadanya, “Demi Yang telah mengutus Mu-hammad dengan haq sebagai Rasul! Seorang pun tak akan kuberitahukan apa yang telah kusaksikan pada dirimu. Begitu pula Ibnu Mas’ud yang ada bersamaku.” “Ya Amirul Mukminin, dekatkan juga telingamu”, kata orang tua itu. Sekarang dia berbisik, “Begitu pula saya. Demi Yang mengutus Muhammad dengan haq sebagai Rasul, saya tidak pernah kembali pada perbuatan itu sampai aku datang ke majelis ini.”
Mendengar itu, Umar mengucapkan takbir dengan suara keras. Orang-orang yang hadir tidak tahu karena apa ia bertakbir. Allahu Akbar. Betapa tingginya kehormatan kita dalam masyarakat Islam.
Kesalahan yang kita lakukan tidak menjadi alasan untuk menjerumuskan kita dalam aib yang memalukan, sehingga kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kesalahan kita tetap dijaga kerahasiaannya sehingga memungkinkan kita untuk memperbaiki diri, menata hati, dan memperbagus akhlak tanpa terbebani oleh bisik-bisik tetangga dan tatapan curiga orang-orang yang tak percaya bahwa kita bisa baik.
Sekali lagi, marilah kita simak kembali salah satu peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab. Pernah datang seorang laki-laki kepada Umar. Ia menceritakan seorang gadis yang pernah berbuat dosa, kemudian bertaubat.
Ketika ia dilamar, pamannya ragu-ragu apakah ia harus menceritakan masa lalunya yang buruk. Umar berkata, “Apakah kamu ingin membongkar apa yang telah Allah sembunyikan? Demi Allah, jika kamu memberitahukan keadaan dia kepada orang banyak, aku akan menghukum kamu sebagai pelajaran kepada semua penduduk kota. Nikahkanlah dia sebagai perempuan yang suci.” Allahu Akbar. Perempuan ini jelas telah melakukan perbuatan dosa. Tetapi Islam merangkulnya sebagai perempuan suci ketika ia telah bertaubat. Islam menjaga kehormatannya dan menutupi keburukan masa lalunya. Umar bahkan memberi ancaman kalau paman gadis itu sampai menceritakan masa lalunya yang kelam. 
Bandingkan dengan apa yang terjadi di zaman kita sekarang. Kehormatan manusia sering diabaikan. Koran-koran sering membuka aib orang tanpa ada jaminan bahwa orang-orang tersebut benar-benar melakukan keburukan, padahal andaikan ia benar-benar melakukan saja mestinya tetap dihormati martabatnya. Demi sebuah
kepentingan, kadang saya merasakan sebuah koran menjatuhkan kehormatan berdasarkan zhan dan kabar-kabar yang masih perlu ditabayyuni. Hanya karena wartawan tidak pernah melihat seorang ulama melakukan shalat, koran telah menebar fitnah dengan menyebutkan ulama ini tidak pernah shalat. Wartawan ini tidak melakukan tabayyun dengan bertanya kepada yang bersangkutan, orang-orang yang mengenal detail kehidupannya sehari-hari, maupun keluarganya. Wartawan dengan ringan menulis bahwa ulama ini diisukan tidak shalat. Padahal setelah orang lain melakukan tabayyun kepada orang-orang yang mengenal detail kehidupan sehariharinya, diperoleh bukti bahwa ulama ini mengerjakan shalat. Hanya tidak bisa melakukan sambil berdiri.

Saya pernah memiliki prasangka yang kurang baik (biar terkesan tidak terlalu negatif atas prasangka buruk saya) terhadap seorang ulama. Waktu itu koran-koran memberitakan tentang ulama ini, menggambarkannya sebagai ulama yang pengetahuannya dangkal dan kurang wawasan, menceritakannya sebagai orang yang emosional, menunjukkan sebagai figur yang banyak digerakkan oleh vested interest dengan kharisma yang diwarisi dari orangtua daripada kematangan ilmunya.
Pendeknya, ulama ini tidak tergolong sebagai orang yang betul-betul berilmu, emosional, tidak tulus, dan menyandang berbagai konotasi negatif. Koran memang berkepentingan menimbulkan citra negatif terhadap ulama ini, sampai-sampai saya hampir percaya. Saya lupa bahwa koran lebih berpihak kepada oplah daripada kejujuran dan kebenaran.

---
“Ghibah,” kata Nabi, “adalah membicarakan saudara kalian dengan cara yang tidak akan dia sukai.”
---
 
Ketika saya datang ke Jombang untuk mengikuti acara halaqah diniyyah, ulama
yang dikesankan negatif ini ikut memberikan presentasi. Ia datang tanpa membawa
makalah, tanpa membawa kitab untuk rujukan di meja pembicara, dan tanpa
membawa catatan kasar tentang apa yang akan dipresentasikannya.
Allahu Akbar wastaghfirullahal 'adzim. Saya harus tertegun dan menangis begitu
kiai ini mempresentasikan “maqalahnya”. Ia menguraikan pendapatnya dengan
argumentasi yang sangat kuat; terampil menyebutkan kitab rujukan sekaligus
mengutipkan paragraf-paragraf yang ada di dalamnya berikut menyebutkan jilid, bab,
dan halamannya tanpa membaca (yang bisa dicek oleh sebagian peserta halaqah
yang memegang kitab tersebut); sangat pandai menjabarkan yang sulit secara
sederhana dan rinci; teliti dalam memberikan keterangan dan peka terhadap
perbedaan di antara dua hal yang kelihatannya sama tetapi berbeda sekaligus
menjelaskan kepada para peserta halaqah dengan sangat tenang tanpa membuka
catatan sambil telapak tangan kanannya diletakkan di atas punggung telapak kirinya.
Ia mampu menepis cercaan dan serangan yang sangat emosional dengan wajah yang
tetap tersenyum teduh tanpa perubahan ekspresi, lalu menjelaskan dengan cermat
tentang persoalan yang diajukan untuk menyerangnya sehingga orang yang
menyerangnya dengan penuh emosi, tidak bisa berkutik. Ia menunjukkan melalui
kematangan bicaranya, bahwa ia senantiasa membaca kitab-kitab yang mutakhir dan
mengkaji dengan tekun, termasuk disertasi para cendekiawan muslim belakangan
yang ditulis dalam bahasa Arab.
 
Selama mendengar presentasinya, saya merasakannya sebagai orang yang tulus,
senantiasa mendo’akan kebaikan bagi orang lain, dan berhati-hati dalam menilai
pendapat yang kelihatan salah. Ia selalu mendasari jawaban-jawabannya atas
pertanyaan para peserta dengan mendasarkan pada kitab-kitab rujukan yang beragam
dan dalil yang banyak. Saya tidak melihatnya sebagai orang yang berpengetahuan
dangkal, berwawasan sempit, emosional dan tanpa kharisma. Saya tidak melihatnya
seperti itu.
 
Saya beruntung bisa berjumpa langsung dengan ulama tersebut setelah saya
menyimpan prasangka yang buruk (bahkan ketika menghadiri halaqah pun
prasangka buruk itu masih saya bawa). Saya bersyukur Allah membukakan bukti
kepada saya bahwa ulama itu sama sekali tidak seperti persangkaan saya, sehingga
saya bisa meminta maaf dan memohon do’a kepada ulama tersebut (semoga Allah
memuliakannya di dunia dan akhirat). Akan tetapi, masih banyak orang yang tidak
sempat melihat bukti bahwa ulama tersebut tidak sebagaimana yang mereka baca dan
mereka dengar. Lalu, dengan apakah mereka memperbaiki prasangkanya? Padahal
sebagian prasangka adalah dosa.
Wallahu A’lam bishawab.
 
Apa yang ingin saya ceritakan di sini? Ghibah. Menggunjing. Bahwa ghibah atau
menggunjing itu dapat membuat kita memiliki prasangka yang buruk terhadap orang
lain. Kita bisa menaruh kecurigaan kepada orang lain yang pernah dipergunjingkan
orang kepada kita. Kita bahkan bisa mencapai taraf yakin bahwa orang yang
digunjing benar-benar buruk, sehingga membuat kita bersikap yang sangat merugikan
atas dasar keyakinan yang salah bahwa Si Fulan buruk.
 
Cerita tentang keburukan menggunjing kita teruskan nanti saja. Sekarang mari
kita memasuki pembicaraan yang mendasar sebelum beranjak lebih jauh, yakni apa
sih yang dimaksud menggunjing itu? Apa saja yang termasuk perbuatan
menggunjing? Dan pertanyaan-pertanyaan lain.
Mengapa masalah ini perlu saya bahas? Banyak di antara kita yang merasa tidak
menggunjing ketika mereka membicarakan orang lain, meskipun mereka telah jelasjelas
menggunjing. Banyak di antara kita yang tidak tahu bahwa dirinya menggunjing,
bahkan di saat mereka mengungkap keburukan orang lain.
 
Tentang pengertian menggunjing ini, marilah kita dengarkan percakapan
Rasulullah Saw. dengan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum melalui hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim.
“Tahukah kalian apakah ghibah (menggunjing) itu?” tanya Nabi.
Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
“Ghibah,” kata Nabi, “adalah membicarakan saudara kalian dengan cara yang
tidak akan dia sukai.”
Salah seorang sahabat kemudian bertanya, “Bagaimana jika yang aku katakan
mengenai saudaraku itu hal yang sebenarnya?”
Rasulullah menjawab, “Jika yang engkau katakan itu benar, maka engkau telah
mencemarkan nama baiknya (dengan ghibah), dan jika dia tidak seperti yang engkau
katakan, maka engkau telah menuduhnya dengan kebohongan dan dusta (buhtan).”1
---
Allah benci kepada makhluk
yang merendahkan sesama ciptaan-Nya
yang telah Ia jaga kehormatannya.
Kepada mereka yang membuka aurat saudaranya,
Allah memberikan ancaman.
---

Jadi menurut penjelasan Rasulullah, yang dimaksud menggunjing bukanlah
perbuatan memburuk-burukkan seseorang tanpa didukung bukti. Akan tetapi,
menggunjing adalah membicarakan keburukan orang lain yang memang benar-benar
terjadi, bisa dibuktikan dan tidak mengada-ada. Kalau tidak ada buktinya, tidak benarbenar
terjadi dan mengada-ada, kita bukan lagi menggunjing. Kita sudah buhtan.
Kita sudah melakukan kebohongan. Alhasil, ada fakta atau tidak ada fakta, tetap dosa.
 
Begitu penjelasan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sederhana dan
jelas. Tak perlu dijelaskan lebih jauh lagi. Tetapi jika Anda masih ingin mendengar
penjelasan yang lain lagi, kita bisa menemui Imam Nawawi melalui kitabnya, Al-
Adzkaar. Kata Imam Nawawi (rahimahullah):
“Ghibah ialah menyebut perihal seseorang dengan sebutan yang tidak
disukainya, baik menyebutnya melalui lisan, tulisan, sindiran, atau dengan isyarat
mata, tangan, dan kepala.”
 
“Batasan pengertian ghibah yang diharamkan,” kata Imam Nawawi melanjutkan,
“ialah semua pengertian yang dilontarkan kepada orang lain untuk mengungkapkan
kekurangan seorang muslim, antara lain dengan cara meniru-niru, umpamanya
berjalan dengan langkah yang dipincangkan, atau mengangguk-anggukkan kepala,
atau gerakan lainnya. Dilakukan demikian dengan tujuan meniru-niru keadaan orang
yang diejek. Semua itu diharamkan tanpa ada yang memperselisihkan.”
Imam Nawawi kemudian menjelaskan panjang lebar mengenai ghibah, termasuk
siapa saja yang bisa melakukan ghibah beserta bentuk ghibah yang mereka lakukan.
 
Kalangan ahli fiqih dan ahli ibadah, kata Imam Nawawi, sesungguhnya mereka
melakukan ghibah dengan kata-kata sindiran yang memberikan pengertian sama
dengan perkataan yang jelas. Dikatakan kepada seseorang di antara mereka, “Bagaimana
keadaan Si Fulan?” Maka dijawab, “Semoga Allah memperbaiki kita, semoga
Allah mengampuni kita, semoga Allah memperbaikinya. Kami memohon
keselamatan kepada Allah, kami memuji kepada Allah yang tidak menguji kita
terjerumus dalam kegelapan, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan. Semoga
Allah membebaskan kita dari sedikit rasa malu, semoga Allah menerima taubat kita,”
dan kata-kata lain yang serupa dengan pengertian mencela orang yang dimaksud.
Semua itu merupakan ghibah yang diharamkan.
Penjelasan Imam Nawawi masih panjang, tetapi saya kira lebih baik Anda
membaca sendiri buku Al-Adzkaar. Begitu juga definisi dari para ulama lainnya, bisa
Anda cari di buku lain.
Sekarang, marilah kita memasuki bagian berikutnya.
 
Ada Yang Dibolehkan
 
Mari kita melihat sekilas saja tentang ghibah yang dibolehkan. Selebihnya
silakan Anda mencari sendiri pada buku-buku tentang ghibah.

Ada beberapa keadaan yang membolehkan kita untuk menceritakan keburukan
orang lain. Misalnya ketika memberi informasi kepada orang yang sedang meneliti
kepribadian orang yang akan dijadikan mitra usahanya, atau orang yang akan
dinikahinya (atau menikahinya).
 
Berkenaan dengan mengungkapkan informasi tentang kepribadian orang yang
akan menikahi, contoh dari Rasulullah Saw. agaknya patut kita renungkan. Suatu
ketika Fathimah binti Qais ra. dilamar oleh Mu’awiyah dan Abu Al-Jahim. Kemudian
datang bertanya kepada Nabi, maka Nabi mengatakan, “Mu'awiyah orang yang
lemah, sedangkan Abu Al-Jahim tidak pernah meletakkan tongkatnya di pundaknya.”
Perhatikan ucapan Rasulullah ini. Beliau mengungkapkan kekurangan masingmasing
pelamar. Tetapi sekalipun demikian, Rasulullah Saw. tidak sampai menilai
begitu jauh untuk mempengaruhi keputusan Fathimah binti Qais.
Lebih lanjut mengenai ini, kita perlu belajar. Mudah-mudahan Allah memberi
taufik dan hidayah-Nya.
 
Hal lain yang membolehkan untuk menggunjing adalah ketika Anda dizalimi
(dianiaya). Jika Anda mempunyai sepetak tanah yang dengannya Anda menghidupi
anak istri, kemudian tanah Anda dirampas oleh seseorang atau penguasa tanpa diberi
ganti rugi yang seimbang sedangkan Anda tidak diberi hak untuk menentukan bolehtidaknya
tanah Anda dibeli, maka Anda boleh menggunjing orang yang telah
menganiaya Anda itu.
 
Allah berfirman:
Allah tidak menyukai orang-orang yang mengungkapkan keburukan, kecuali
bagi orang yang dizalimi. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-
Nisaa’ 4: 148).
 
Penguasa yang melakukan kezaliman dan kekejaman secara terang-terangan,
menurut sebagian ulama boleh digunjing, kecuali Imam Al-Ghazali dan Ibnu Sirin
yang sangat ketat melarang menggunjing penguasa --yang sangat kejam sekalipun.
Berkenaan dengan ghibah yang dibolehkan, saya teringat dengan suatu peristiwa.
Saya pernah mengingatkan seseorang tentang menggunjing ini, kemudian orang
tersebut berhujjah (beralasan dengan mengemukakan dasar) bahwa Nabi menyuruh
kita untuk tidak sepenuhnya husnuzhan, tetapi menyediakan buruk sangka sebagai
kewaspadaan. Ia menyebutkan sebuah hadis:
 
Khath Arab
“Waspadalah kalian dari manusia dengan berlaku buruk sangka.” (HR Ath-
Thabrani dan Ibnu Adi).
 
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan, hadis itu dha’if sekali
karena di dalam sanadnya terdapat Buqyah bin Walid. Selanjutnya, Al-Albani
mengutip Al-Haitsami yang berkata, “Buqyah bin Walid adalah mudallas (tukang
campur aduk sanad maupun perawi), sedangkan selainnya adalah perawi-perawi yang
dapat dipercaya (tsiqah).”
Menurut Al-Albani, di samping dari segi sanadnya sangat lemah, hadis tersebut
bertentangan dengan hadis-hadis shahih yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan, juga
oleh Bukhari dan Muslim. Dalam hadis-hadis shahih tersebut, kata Al-Albani, dengan
tegas Rasulullah Saw. memerintahkan kaum muslimin untuk menjauhi dan
meninggalkan buruk sangka kepada saudaranya sesama muslim. Contohnya adalah
hadis beliau “Iyyakum wazhzhanni fainnazh zhanna akdzabul haditsi” (jauhilah
olehmu berburuk sangka, karena sesungguhnya berburuk sangka itu adalah sejelekjelek
ucapan).
Wallahu A’lam bishawab.
 
Tulisan dalam sub judul ini sama sekali belum mencukupi. Saya membicarakan
sekilas saja sekedar agar kita tidak sampai terbelenggu mengungkapkan kebenaran
hanya karena kita tidak tahu kebolehannya. Ilmu yang lebih banyak tentang ini, tentu
saja kita sendiri yang perlu mencari. Selebihnya, mudah-mudahan kita bisa bertanya
kepada hati nurani kita. Boleh jadi dalam situasi yang dibolehkan, hati kita
mengarahkan kita memanfaatkan kebolehan itu untuk iktikad yang buruk.
Astaghfirullahal ‘adzim.
 
Singkatnya, ada ghibah yang dibolehkan, tetapi lebih banyak yang diharamkan.
Jika ghibah yang haram kita kerjakan --dan ini mengasyikkan-- Allah telah
mempersiapkan ancaman-Nya untuk kita. Na’udzubillahi min dzalik.
Allah Mengancam
Allah memelihara kehormatan manusia. Allah menjaga kehormatan manusia.
Allah melindungi martabat ciptaan-ciptaan-Nya. Karena itu, jangan engkau rusak
kehormatan anak Adam yang telah dijaga oleh Allah.
 
Allah murka kepada hamba-hamba-Nya yang telah Ia jaga kehormatannya, Ia
rahasiakan aibnya, Ia pelihara martabatnya, Ia sembunyikan khilafnya, tetapi hamba
itu membongkar sendiri aib dan keburukannya kepada manusia lainnya. Allah Tuhan
kita juga benci kepada makhluk yang merendahkan sesama ciptaan-Nya yang telah Ia
jaga kehormatannya. Kepada mereka yang membuka aurat saudaranya, Allah
memberikan ancaman. Sesungguhnya Allah Maha Pedih Siksa-Nya. Ia sudah
menegaskan:
“Mereka ingkari ayat-ayat Allah, lalu Allah mengazab mereka karena dosadosanya.
Sungguh, Allah Maha Kuat, dan dahsyat hukuman-Nya.” (QS. al-Anfal 8:
52).
 
Allah sungguh memberi ancaman kepada kita yang masih membiarkan mulut
kita membongkar-bongkar aib saudara kita. Rasulullah Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita tentang ancaman bagi orang-orang
yang menggunjing.
 
Kita rasanya masih sering membuka aib saudara-saudara kita. Kita perlu
berlindung kepada Allah dari ancaman-Nya. Bukankah mulut kita masih sering kita
nodai dengan perkataan menggunjing?
Astaghfirullahal ‘adzim. Semoga Allah mengampuni keburukan-keburukan kita
dan memperbaiki akhlak kita hingga kita mencapai husnul-khatimah. Allahumma
amin.
 
Allah Akan Mempermalukan
 
Mereka yang menggunjing saudaranya sama seperti mengoyak-ngoyak
kehormatan, mempermalukan sesama, dan merendahkan derajat manusia. Mereka
yang membuka aib saudaranya berarti menghambat jalan saudaranya untuk mencapai
kebaikan puncak, untuk mencapai kebaikan yang sempurna. Mereka mempermalukan
saudaranya. Kepada mereka Allah akan mempermalukan, sehingga di dalam
rumahnya sendiri pun ia masih harus sibuk menutupi rasa malu yang sudah tidak bisa
ditutup-tutupi lagi karena Allah telah membuka aibnya.
 
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan, “Wahai
orang-orang yang menyatakan Islam dengan lidahnya, tetapi iman belum masuk ke
dalam kalbunya, janganlah kamu menyakiti kaum Muslim. Janganlah kamu
mempermalukan mereka. Janganlah kamu mengintip-intip (mencari-cari) aib mereka.
Barangsiapa yang membongkar-bongkar aib saudaranya orang Islam, Allah akan
membongkar aibnya. Barangsiapa yang dibongkar aib-nya oleh Allah, Allah akan
mempermalukannya, bahkan di tengah keluarganya.” Nabi menyampaikan
sabdanya dengan suara yang keras, seakan-akan beliau ingin agar orang-orang yang
tinggal di kemah-kemah pun mendengarnya. Waktu itu, Nabi baru saja selesai shalat
subuh.2
 
Apa yang dapat engkau lakukan untuk mempertahankan nama baikmu jika Allah
sendiri yang berkenan mempermalukan? Siapakah yang lebih kuasa untuk
menolongmu dari rasa malu jika Allah sudah mempermalukanmu sampai-sampai di
dalam rumah pun engkau merasa malu? Apakah yang engkau pertaruhkan untuk
keasyikan membicarakan keburukan orang lain yang kadang tidak buruk (karena
merupakan kehendak Allah) jika untuk itu engkau harus kehilangan semua
kehormatan dan kepercayaan, bukan hanya dari masyarakat melainkan juga dari anak
cucu dan sanak kerabat.
 
Dalam psikologi ada istilah image building (pembentukan citra). Bidang ini
berurusan dengan bagaimana membentuk citra tentang seseorang sehingga
masyarakat menganggapnya sebagai orang yang baik, berwawasan luas, dan
seterusnya sesuai dengan citra yang ingin dibentuk. Ini merupakan salah satu bentuk
rekayasa psikologis dengan memanfaatkan berbagai sarana publikasi. Jika medianya
tepat, image building dapat berhasil dengan baik. Meskipun begitu, segala rekayasa
manusia tak akan mampu menghadapi rekayasa Allah. Segala upaya sistematis untuk
menimbulkan citra yang positif, akan menghasilkan citra yang sebaliknya jika Allah
telah mempermalukannya, bahkan sampai di rumahnya sendiri.
 
Banyak jalan yang bisa menyebabkan seseorang merasa sangat malu jika Allah
sudah menetapkan untuk mempermalukannya. Ilmu Allah sungguh terlalu luas jika
hanya sekedar untuk mempermalukan orang yang sering membuat malu saudaranya.
Jika engkau sudah berhadapan dengan ilmu Allah, maka segala perbendaharaan ilmu
yang engkau miliki tak akan mempunyai kekuatan apa-apa jika Allah sudah
menetapkanmu untuk menanggung malu yang teramat besar.
 
Peristiwa atau keadaan yang mempermalukanmu bisa berasal dari siapa saja
yang ada di rumahmu; bisa anakmu, bisa istrimu, bisa kerabat yang menjadi
tanggunganmu, dan bahkan bisa juga dirimu sendiri. Engkau mungkin sudah
mendidik anakmu dengan baik, dengan sungguh-sungguh, dan dengan ilmu yang
lengkap. Tetapi jika Allah sudah menetapkan untuk mempermalukanmu melalui
anakmu, maka kesungguhan dan ilmumu tak bisa apa-apa. Engkau mungkin sudah
memperlakukan istri secara ma’ruf dan membimbingnya dengan berdasar ilmu. Akan
tetapi jika Allah sudah memutuskan bahwa engkau harus menanggung aib melalui
istrimu, ada saja kelengahan yang akan engkau lakukan. Ada saja yang bisa
menyebabkan ketentuan Allah berlaku sekalipun engkau merasa sudah menjalankan
apa yang semestinya dengan sebaik-baiknya (kecuali berhenti menggunjing). Tentu
saja, kita juga perlu berhati-hati dalam menilai perkara semacam ini manakala terjadi
pada lingkungan yang ada di dekat kita. Boleh jadi itu ujian dari Allah bagi hamba-
Nya yang beriman. Lain sekali nilainya.
Berkenaan dengan ini, mari kita dengarkan hadis lain yang membawa pesan
senada dengan hadis sebelumnya.
 
Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda,
“Barangsiapa menyimpan rahasia (aib) temannya, Allah menyimpan pula rahasianya
di hari kiamat. Dan barangsiapa membuka rahasia temannya sesama Muslim, Allah
membukakan pula rahasianya, hingga Allah mempermalukan dia dalam rumah
tangganya.”
 
Rasulullah juga bersabda:
Barangsiapa menyimpan rahasia (aib), seakan-akan dia menghidupkan kembali
anak yang dikubur hidup-hidup. (HR Abu Dawud dan Nasa’i).
 
Begitulah Allah menjaga kehormatan manusia. Allah meninggikan siapa yang
dikehendaki dari hamba-hamba-Nya. Dan Allah Maha Kuasa untuk merendahkan
siapa yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya, sekalipun mereka berasal dari
keturunan baik-baik dan golongan orang-orang yang mulia.
 
Dalam perjalanan hidup saya, terasa oleh saya bahwa adakalanya orang-orang
dari keturunan yang baik dan sangat menjaga agamanya, terpuruk jatuh karena
mereka berhenti hanya sekedar membanggakan keturunan, tetapi tidak berhenti
membicarakan aib orang lain. Sebaliknya, dari keturunan orang-orang yang biasabiasa
saja, ternyata lebih baik dari persangkaan orang yang memiliki prasangka
negatif. Wallahu A’lam bishawab.

 
Ketika menulis bab ini, saya sempat merasakan kesedihan. Teringat oleh saya
bagaimana di daerah saya, di wilayah bekas pesantren almarhum kakek saya, berdiri
pabrik bir yang sangat besar. Teringat oleh saya, orang-orang yang berlarian ke rumah
meminta perlindungan saat mereka mempertahankan tanahnya. Teringat oleh saya
bahwa mereka yang gigih di depan justru dari kalangan yang disebut orang-orang
awam yang bukan santri, sedangkan mereka yang mengaku ulama justru merestui dan
mengizinkan. Dan santri-santri pun bungkam. Bungkam!
 
Di saat itu, rasanya pedih sekali ketika harus melihat bahwa pesantren kakek
saya sudah tidak ada lagi. Bangunannya sudah tidak ada lagi. Pengajian-pengajian
kitabnya sudah tidak ada lagi. Bahkan bekas-bekas sikap kesantrian pun tak terlalu
mudah dilihat pada orang-orang di sekitar wilayah bekas pesantren itu, termasuk
keturunan para pengasuh pesantren yang di masa wibawanya terkenal sangat wara’
dan luas ilmunya.
 
Saya merasakan, ada perbedaan antara mulut para kiai yang ikhlas membimbing
umatnya dengan mulut anak cucu yang hanya sekedar membanggakan leluhurnya.
Dari mulut para kiai yang mukhlis, ucapan yang keluar adalah do’a ketika
menyaksikan keburukan atau menghadapi perilaku yang tidak baik dari orang lain.
 
Sedangkan orang-orang yang hanya sekedar membanggakan, lebih banyak menyebut
keutamaan-keutamaan leluhurnya tetapi lupa tidak melakukan perbuatan-perbuatan
yang utama. Sebaliknya, mereka kadang merendahkan orang lain (yang bisa jadi
lebih tinggi dari dirinya) hanya karena tak semulia leluhurnya.
Saya kadang mendengar (tentu saja secara wadag) betapa orang-orang
keturunan yang mulia dan berakhlak agung, jatuh ke dalam kerendahan martabat dan
rasa malu yang tak dapat disembunyikan karena tidak hati-hati menjaga lisan.
Sebaliknya, orang-orang dari keturunan yang tidak memiliki sejarah keluhuran (tentu
saja hanya Allah Yang Maha Tahu) ternyata justru menjadi pelopor berbagai
kebaikan.
 
Hanya Allah Yang Maha Menguasai perbendaharaan langit dan bumi. Hanya
Allah Yang Menggenggam kehormatan dan kemuliaan anak Adam. Dan Allah Maha
Kuasa untuk memberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah Maha
Kuasa untuk mencabut dari siapa saja yang dikehendaki-Nya.
 
Semoga Allah menyelamatkan kita dari keburukan disebabkan oleh busuknya
mulut kita sendiri. Semoga Allah berkenan mensucikan kita, mencuci kita, dan kita
menerima kita dengan ridha. Semoga Allah memperjalankan kita di atas ridha-Nya
sekalipun saat ini masih banyak kemungkaran dan kesesatan yang kita kerjakan.
Sekalipun masih banyak kesalahan yang kita kerjakan.
Mereka Memakan Bangkai Manusia
 
Di daerah Rumania, di sebuah negara bagian, pernah hidup seorang raja.
Namanya Vlad. Ia mempunyai kebiasaan yang sangat aneh. Diceritakan bahwa di
kerajaannya banyak sekali gelandangan, orang-orang miskin yang kelaparan. Oleh
raja, para gelandangan dan orang miskin itu diundang ke istananya. Kemudian ia
makan malam, dan menyembelih mereka, atau memasukkannya ke suatu tempat
untuk dibakar hidup-hidup. Hal itu ia lakukan sambil menikmati makan malamnya.
Katanya, itu salah satu cara untuk mengentas kemiskinan. Vlad mempunyai kebiasaan
menikmati kesenangan dalam menyiksa orang sambil makan. Salah satu siksaan yang
paling ia sukai adalah meletakkan korban itu di atas ujung logam yang sangat tajam.
Pantat korban itu diletakkan di atas ujung logam tersebut. Kalau orang itu bergerak,
maka tusukannya makin lama makin dalam, dan darahnya bercucuran. Vlad
mengambil darah itu, meminumnya sebagai dessert, cuci mulut.
Karena kelakuannya yang aneh itu, ia disebut dalam bahasa Rumania dengan
“Dracul”, Setan Vlad Dracul. Dari situlah kemudian muncul film tentang drakula
yang artinya orang yang senang menghisap darah. Kalau drakula hanya merupakan
film, maka Vlad Dracul adalah manusia yang pernah hidup dan menjadi penguasa.
---
Kita rasanya masih sering
membuka aib saudara-saudara kita.
Kita perlu berlindung kepada Allah dari ancaman-Nya.
---

Jalaluddin Rakhmat menceritakan kisah Vlad ini dalam tulisannya yang diberi
judul Lindungilah Kami Dari Penguasa yang Zalim. Kang Jalal menganggap Vlad
Dracul sebagai manusia yang zalim dan kejam.
 
Saya tidak tahu Anda setuju atau tidak dengan anggapan Kang Jalal. Jika Anda
setuju, maka sebutan apa lagi yang bisa dikenakan pada orang yang suka memakan
bangkai manusia dengan rakus? Kekejaman seperti apakah perilaku orang yang suka
mengunyah daging mayat saudaranya sendiri, sedangkan Vlad yang sekejam itu
hanya meminum darah manusia. Tidak sampai mengunyah mayatnya. Padahal Allah
berfirman:
 
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencaricari
kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang
lain.
 
Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-
Hujuraat 49: 12).
 
Allah menyamakan menggunjing dengan memakan mayat saudaranya. Ini
menggambarkan banyaknya keburukan dan kenistaan dalam menggunjing, serta apa
yang akan diperoleh dari orang yang menggunjing.
 
Sayangnya, kita sering tidak sadar ketika kita sedang memakan mayat saudara
kita. Kita asyik melahapnya, di saat menasehati, ngobrol santai maupun bercanda.
Kita tidak merasa jijik karena mata hati kita terlanjur demikian gelap, sehingga mulut
kita tetap saja mau mengunyah bangkai manusia. Padahal, makan daging sapi yang
sudah agak bau saja (belum sampai busuk) banyak dari kita yang tidak mau dan
bahkan sampai muntah-muntah.
 
Mari kita kenang kembali kisah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘alaa
alihi wasallam yang berkenaan dengan menggunjing ini.
 
Diriwayatkan dari Ubaid, pembantu Rasulullah Saw. bahwa ada dua wanita yang
sedang berpuasa sementara mereka hampir meninggal karena kehausan. Lalu dia
memberitahu beliau, tetapi beliau berpaling dan mendiamkannya. Dia berkata,
“Wahai Nabi Allah, kedua wanita itu sudah mati atau hampir mati.” Beliau berkata,
“Panggillah mereka berdua.” Lalu dia memanggil keduanya, kemudian Rasulullah
menemui mereka dengan membawa bejana atau mangkuk. Beliau berkata kepada
salah seorang dari mereka, “Muntahlah!” Maka wanita yang disuruh itu pun
memuntahkan makanan dan minuman, darah dan nanah hingga memenuhi setengah
mangkuk. Kemudian beliau berkata kepada yang satunya lagi, “Muntahlah!” Lalu dia
pun memuntahkan makanan dan minuman, darah, nanah, daging, darah segar, dan
lain-lain, sehingga memenuhi mangkuk.
 
Beliau kemudian berkata, “Sesungguhnya kedua wanita itu berpuasa dari apa
yang telah dihalalkan Allah bagi mereka dan berbuka dengan apa yang telah
diharamkan Allah bagi mereka. Salah seorang dari mereka mendatangi yang lainnya
dan duduk-duduk bersamanya kemudian memakan daging-daging manusia.” (HR
Al-Baihaqi. Juga Ahmad dari jalan yang lain).3
 
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Ma’iz pernah datang kepada
Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina.”
 
Lalu Rasulullah berpaling darinya sampai dia mengatakan empat kali. Ketika dia
mengucapkan yang kelima kalinya, beliau berkata, “Engkau telah berzina?”
 
Dia pun menjawab, “Ya.”
 
Beliau berkata, “Apakah engkau tahu zina itu?”
 
Dia menjawab, “Ya, aku melakukan sesuatu yang haram, yakni laki-laki
mendatangi perempuan dengan tidak halal.”
 
Beliau berkata, “Apa maksudnya engkau berkata begitu?”
 
Dia menjawab, “Aku ingin agar engkau membersihkanku.”
 
Rasulullah Saw. berkata, “Engkau telah memasukkan itu darimu ke dalam itu
darinya, seperti tenggelamnya cangkul di ladang dan tongkat di sumur?” Dia
menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah menyuruh untuk merajamnya, dan dia pun dirajam.
 
Kemudian Nabi Saw. mendengar seorang laki-laki berkata kepada temannya,
“Tidakkah engkau lihat orang yang ditutupi Allah, tetapi jiwanya dibiarkan sehingga
dia dirajam seperti anjing yang dirajam?”
 
Kemudian mereka mendatangi Nabi Saw. --dan karena ingin segera sampai--
mereka menunggangi keledai. Rasulullah berkata, “Turunlah kalian berdua (dari
tunggangan) dan makanlah mayat keledai ini.”
Mereka berkata, “Semoga Allah mengampunimu wahai Rasulullah, apakah yang
begini harus dimakan?”
 
Nabi Saw. berkata, “Apa yang telah kamu dapatkan dari saudaramu (yang
digunjingkan) tadi adalah makanan yang lebih buruk daripada ini. Demi Zat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya dia sekarang benar-benar telah berada
di sungai-sungai surga dan berenang di dalamnya.”4
 
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Ketika
aku naik (ke langit dalam peristiwa Isra’ Mi’raj), aku melewati suatu kaum yang
berkuku kuningan sedang mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Lalu aku bertanya,
“Siapakah mereka itu wahai Jibril?”
 
Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia
dan menjatuhkan kehormatan manusia.” (HR Abu Dawud).
 
Astaghfirullahal ‘adzim. Mulut kita ini, lidah kita ini, tubuh kita ini, betapa
seringnya merendahkan manusia lain. Allah tidak malu menciptakan mereka, tetapi
kita sering merasa malu berdekatan dengan mereka, bergaul dengan mereka,
bersahabat dengan mereka, atau sekedar bertemu dengan mereka hanya karena
derajatnya tidak sama. Betapa menyedihkan jika telinga ini mendengar orang
mengeluhkan dengan pandangan yang merendahkan atas orang-orang kampung yang
karena tidak berkesempatan kuliah, membuat mereka tidak bisa menangkap
pembicaraan Pak Mahasiswa yang bicaranya pakai istilah sulit-sulit (meskipun
sebenarnya bisa disederhanakan sampai sangat sederhana). Betapa menyedihkan
ketika saya harus membaca tukang-tukang becak dipersalahkan dan dinistakan
sebagai pembangkang hanya karena mereka tidak bisa beralih profesi menjadi sopir
angkot ketika pejabat melarang becak dan menyuruh mereka untuk menjadi sopir
angkot saja.

Bukankah untuk mencapai yang lebih baik seseorang membutuhkan
ilmu, keterampilan, dan modal, di samping kemauan? Aku tahu, tukang-tukang becak
itu bukannya tidak mau berjualan di kios-kios pasar atau menjadi sopir angkot. Tetapi
mereka itu tidak mampu. Karena itu, jangan sekali-kali engkau rendahkan saudarasaudaraku
itu di rumah-rumahmu ketika engkau membaca koran atau majalah hanya
karena engkau belum pernah merasakan bagaimana letihnya menarik becak. Jangan
engkau rendahkan orang yang kulitnya tidak seputih dirimu. Jangan engkau
rendahkan orang yang rambutnya tidak sebaik rambutmu. Jangan engkau rendahkan
mereka yang diciptakan Allah dengan wajah yang tidak tampan dan tidak pula manis.
Sebab Allah tidak pernah malu menciptakan mereka. Apakah engkau hendak
menghina Tuhan dengan penghinaanmu terhadap pekerjaan (af’al) Tuhan? Bukankah Tuhan yang menciptakan mereka hitam atau putih, hidungnya mancung atau pesek,
dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya?
 
Aku ingatkan engkau sekali lagi wahai awak yang zalim, wahai istriku yang
Allah tidak menjaminkan keselamatanmu di akhirat (sebab engkau bukan nabi atau
rasul), wahai saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku serta orang-orang yang kucintai,
jangan hina af’al Allah! Apakah engkau akan merusak kehormatan orang-orang yang
karena telah renta tak bisa merawat bantal dan selimutnya dengan baik sehingga
engkau jadikan ia sebagai bahan tertawaan, padahal mungkin Allah senantiasa
tersenyum ketika melihatnya? Apakah engkau sudah sedemikian terhormat dan
terjamin keselamatanmu di akhirat sehingga engkau bisa merendahkan orang
menyerahkan sisa hidupnya di tempat-tempat peribadatan untuk melayani Tuhan dan
ummat-Nya? Bukankah di antara kekasih-kekasih Allah terkadang tersembunyi
kemuliaannya, sehingga datangnya tidak dihiraukan dan perginya tidak ditangisi? Sesungguhnya, di antara orang-orang yang engkau rendahkan barangkali
memang tidak tergolong orang-orang yang memiliki kemuliaan tinggi di hadapan
Allah. Tetapi ketika engkau merendahkannya, merusak kehormatannya,
menggunjingnya, mentertawakannya, boleh jadi ia menjadi mulia karena pahalapahalamu
dan orang-orang lain yang ikut mentertawakan diberikan oleh Allah
kepadanya. Maka dengan perasaan hina dan penuh pengharapan, kepada siapa saja
yang merasa pernah kurendahkan atau pernah kugunjing (padahal engkau tidak
mengetahuinya), maafkanlah aku dan ikhlaskanlah kesalahan-kesalahanku. Mudahmudahan
Allah mempersaudarakan kita. Allahumma amin.
 
Sungguh, aku melihat hati yang masih lemah sulit untuk dilunakkan ketika ia
tahu saudaranya telah menggunjingnya. Saya pernah mendengar langsung orangorang
yang menggunjing saya dengan perkataan yang sangat tidak saya sukai, dan
saya dapati perasaan saya sangat berubah. Perasaan itu sulit diubah meskipun saya
insya-Allah sudah memaafkannya meskipun ia tidak meminta maaf.
 
Maka, betapa riskannya menggunjing. Maka, hanya orang-orang khusus saja
yang sanggup berterima kasih (karena telah dihilangkan dosanya atas sebab
digunjing) kepada orang-orang yang telah menggunjingnya. Saya teringat cerita
tentang seorang kiai. Ketika ada orang yang menggunjingnya dengan perkataanperkataan
yang buruk, ia ambilkan sejumlah barang beserta uang sebagai hadiah
kepada orang yang telah menggunjingnya.
 
Ya Allah, lunakkanlah hatiku dan tumbuhkanlah kepadaku rasa cinta pada
kebaikan dan kebenaran. Ya Allah, santunkanlah masing-masing dari kami kepada
saudaranya yang lain. Ya Allah, ampunilah kami dan sempatkanlah kami untuk
menebus penyesalan-penyesalan kami. Perjalankanlah kami karena tidak akan mampu
kami melewati jalan-Mu yang benar jika bukan karena kehendak-Mu.

 
Ia Merusak Kita
 
Setelah kita berbicara panjang tentang menggunjing; apa yang saja yang
termasuk menggunjing dan ancaman Allah terhadap orang-orang yang menggunjing
dan merusak kehormatan saudaranya; sekarang marilah kita berbicara tentang
bagaimana menggunjing sebenarnya merusak kita sendiri. Kalau kita menggunjing,
maka kita melukai diri sendiri. Kita merusak diri kita sendiri (sayangnya, sulit sekali
kita menyadari ini ketika sedang menggunjing). Kita menciderai diri kita sendiri, jiwa
kita sendiri, keluarga kita sendiri, dan bahkan anak-anak kita sendiri yang kita cintai
kita sayang-sayang setengah mati.
 
Saya tak hendak berpanjang-panjang dengan prolog semacam ini. Sudah gerah
rasanya. Karena itu, segera saja kita melihat kerusakan apa saja yang bisa ditimbulkan
oleh keasyikan kita menggunjing.
 
Hubungan dalam keluarga Cenderung Bersifat Permukaan
 
Keluarga kadang merasa telah menjalin kedekatan, tetapi hubungan mereka
renggang-renggang saja. Padahal mereka sering menghabiskan waktu bersama
dengan melihat TV sambil menikmati snack dari bungkus yang sama.
 
Orangtua juga demikian. Kadang mereka merasa tidak kurang-kurang
menyayangi dan menemani anak. Mereka merasa selalu dekat dengan anak.
Waktunya di rumah ba-nyak sekali --kalau bukan sebagian besar-- dihabiskan untuk
menonton TV bersama-sama; satu kursi, satu meja atau satu tikar bersama-sama.
Tetapi ia terkejut ketika anaknya yang mulai menginjak remaja berontak dan
memprotes orangtua karena kurang perhatian, kurang kasih-sayang, kurang
mendengar, serta kurang dekat dengan anak.
 
Muncul pertanyaan, apakah yang terjadi pada suamiku sehingga ia berkata
demikian? Apakah ia hanya mencari alasan saja untuk bisa menjauh dari rumah?
Apakah yang terjadi pada istriku sehingga ia mengatakan kurang diberi perhatian?
Apakah hanya untuk menyembunyikan kebosanannya saja? Apakah ia sedang
mencari-cari alasan untuk memperoleh perhatian “lebih” dari suami? Apakah yang
terjadi pada anak-anak yang manis-manis itu sehingga berubah menjadi hantu di siang
hari? Siapa yang berani-berani mempengaruhinya sehingga ia tampak begitu garang
mengatakan orangtua tidak dekat, padahal setiap hari selalu menghabiskan waktu di
depan TV bersama-sama selama berjam-jam? Dan seterusnya, dan seterusnya, dan
seterusnya.
 
Sebelum menginjak jauh ke menggunjing, mari kita pahami dulu mengapa
orang-orang yang sering menonton TV bersama kita bisa memprotes karena merasa
tidak dekat dengan kita. Pada saat kita menonton TV bersama-sama, sebenarnya yang
terjadi bukan kontak psikis yang erat dan akrab. Kedekatan kita lebih bersifat fisik
saja (physical closeness) karena tempat kegiatan yang sama. Tetapi secara psikis,
masing-masing memiliki kegiatan sendiri yang menyibukkan sekalipun yang
disaksikan sama. Tiap-tiap orang larut dalam keasyikannya sendiri-sendiri, sehingga kedekatan secara fisik tidak menyebabkan mereka dekat secara psikis. Karena itu,
lamanya waktu yang dihabiskan untuk duduk-duduk bersama tidak menjadikan
masing-masing semakin akrab. Bahkan ketika acara usai pun, tak jarang masingmasing
terbenam dalam keasyikannya memikirkan tokoh cerita yang baru saja
ditayangkan di TV atau berpikir, “Seandainya saya tadi cepat-cepat menelpon, tentu
hadiah kuis empat setengah juta itu menjadi milik saya....”
 
Singkat kata, kedekatan yang tampak pada mereka sebenarnya cuma kedekatan
semu (pseudo-attachment). Seolah-olah dekat, tetapi batin mereka saling berjauhan
dan tidak saling menyapa. Masing-masing memiliki kepentingan sendiri yang tak
seorang pun boleh mengganggu. Sekali waktu, cobalah mengalihkan acara yang
sedang asyik ditonton oleh orang yang Anda cintai; entah suami, anak, atau bahkan
cucu. Alihkan secara tiba-tiba. Dan nantikan kegusaran mereka kepada Anda. Cucu
Anda yang paling kecil pun mungkin akan segera memarahi Anda dengan cara khas
anak-anak; teriak-teriak, memukul-mukul kaki, menangis, atau bahkan mengatangatai
Anda.
 
Apa ini artinya? Kedekatan yang terlihat sungguh-sungguh hanya bersifat
permukaan, bukan benar-benar merupakan kedekatan. Karenanya jangan terlalu
banyak berharap dari kedekatan semacam ini. Sama seperti kedekatan orang yang
naik bus bersama-sama. Mereka duduk dalam satu kursi, tetapi sepanjang perjalanan
mereka tidak saling bicara, tidak saling menanyakan alamat, tidak saling menanyakan
tujuan, dan bahkan tidak saling menanyakan nama (ini yang sangat minimal). Jika
untuk hal-hal seperti itu saja tidak, apa-lagi untuk saling berbincang-bincang jauh
yang akrab untuk dijadikan bahan renungan di rumah.
 
Lebih jauh tentang pseudo-attachment (kedekatan semu) insya-Allah akan saya
bahas lebih lanjut pada buku “Akan Kau Apakan Anak-anakku?” yang rencananya
akan saya tulis dalam waktu dekat ini. Adapun pembahasan tentang pseudoattachment
pada bab ini, sekedar untuk memudahkan kita memahami bagaimana
menggunjing dapat menjadikan hubungan suami-istri cenderung bersifat permukaan.
 
Tetapi, bukankah menonton TV berbeda dengan menggunjing? Bukankah ketika
kita asyik menggunjing bersama istri, kita saling berbincang-bincang, saling
mendengarkan, saling menanggapi, dan bahkan saling mendukung? Bukankah ini
berarti ada komunikasi dua arah yang baik? Dan barangkali tidak ada komunikasi dua
arah yang lebih gayeng (asyik dan intens) melebihi acara menggunjing bersama.
Argumentasi ini kelihatannya benar. Untuk membuktikan benar tidaknya
argumentasi ini, marilah kita periksa secara teliti, sehingga kita mendapatkan bukti
yang kuat.
---
Dalam komunikasi yang bersifat permukaan,
suami-istri tidak memperoleh
kebutuhan psikis inter-personalnya.
Hal ini menyebabkan jiwa mereka
tidak merasakan keterpenuhan, sehingga...
---
Setiap saat kita menggunjing, maka perhatian utama kita tertuju pada kejelekankejelekan
orang yang kita gunjingkan. Pada saat seperti itu, kita sadari atau tidak kita
merasa unggul dan benar. Kalau kita tidak merasa lebih baik, lebih unggul dan lebih
benar, rasanya tidak ada ruang untuk membicarakan kejelekan orang.
Perasaan unggul (bukan kesadaran tentang keunggulan yang dikaruniakan Allah
kepada kita) menjadikan kita kurang peka terhadap kelemahan-kelemahan kita,
termasuk kelemahan dalam memberi perhatian dan memahami istri atau suami.
Perasaan unggul --yang bentuknya adalah memandang rendah orang yang digunjing
(meskipun tidak merasa merendahkan)-- menjadikan kita lebih siap untuk
memperoleh affirmasi (peng-iya-an) dan tidak siap kalau pernyataan kita dibantah
oleh suami. Kita cepat emosi. Kita akan dengan sigap membantah dengan
menunjukkan “bukti-bukti”. Ini menunjukkan bahwa yang kita butuhkan bukanlah
istri atau suami kita, tetapi dukungan terhadap penilaian kita tentang orang lain di saat
sedang ghibah.
 
Percakapan yang sering kelihatan gayeng (asyik dan intens) itu ditinjau dari
aspek komunikasi interpersonal juga kering. Tampaknya dua orang sedang berbicara
bersama-sama, tetapi mereka sebenarnya sedang berbicara sendiri-sendiri. Apa yang
mereka bicarakan merupakan sesuatu yang tidak berhubungan dengan pengenalan
terhadap orang yang diajak bicara, tidak saling memenuhi kebutuhan psikis, dan tidak
juga memasuki wilayah komitmen pribadi tentang berbagai persoalan. Pembicaraan
yang menyangkut nilai-nilai akhlak atau kegelisahan sosial yang lahir dari
penghayatan, sekalipun tidak menyangkut keadaan individu masing-masing, dapat
membuat jiwa semakin dekat sebab selaras dengan nurani dasar manusia (fithrah).
Akan tetapi dalam menggunjing hal ini tidak terjadi.
 
Jika setiap saat pikiran kita disibukkan oleh pembicaraan tentang orang lain7 dan
keburukan-keburukannya, akhirnya kita tidak merasa benar-benar akrab dengan istri
dan anak-anak kita --apalagi dengan tetangga kita. Kita sering ngobrol dengan
mereka, membicarakan berbagai keburukan orang lain, tetapi kita tidak pernah
berbicara dari hati ke hati. Ini menjadikan kita tidak bisa merasa dekat secara
emosional dengan orang-orang yang mestinya paling dekat dengan kita. Kalau sudah
seperti ini, kita tidak merasa gelisah dan mendo’akan dengan suara lirih ketika suami
tidak kunjung pulang, melainkan justru menyiapkan berbagai macam prasangka.
Begitu ia datang, sikap yang kita nampakkan bukan kerinduan yang menggelisah,
tetapi kejengkelan yang membawa rasa curiga. Apa akibat selanjutnya? Baca kembali
bagian awal bab sebelumnya Komunikasi Suami-istri, khususnya bagian cuplikan
tulisan Kang Jalal di buku Psikologi Komunikasi.
 
Dalam komunikasi yang cenderung bersifat permukaan, suami-istri tidak
memperoleh kebutuhan psikis interpersonalnya. Ini menyebabkan jiwa mereka tidak
merasakan keterpenuhan, sehingga bisa mencapai kualitas-kualitas yang lebih baik
dan lebih baik lagi. Seandainya saya boleh menggunakan istilahnya Maslow, mereka
mengalami “human diminution” (kemerosotan kemanusiaan manusia) dan semakin
jauh dari “full-humaness” (menjadi manusia yang sepenuhnya manusia).
Pada situasi komunikasi yang sudah terjatuh ke dalam bentuk yang sangat
permukaan (periferal), problem manusia tidak lagi bisa dihayati dan dicintai untuk
mendapat pemecahan yang paling mendatangkan kemaslahatan. Sebab, masingmasing
mereka terlanjur terbiasa mentertawakan problem dan memberikan
pemecahan yang periferal dan tidak tahan uji. Lihatlah ketika orang menggunjing,
dengan mudah ia mampu memberi penyelesaian masalah untuk semua hal. Padahal
jika mereka diminta untuk sungguh-sungguh memecahkan satu masalah yang “kecil”
saja, mereka akan kesulitan; kesulitan dengan diri mereka sendiri dan kesulitan
menemukan akar permasalahan.
 
Budaya pemecahan masalah yang cenderung periferal (permukaan) ini pada
gilirannya akan terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari di rumah. Masalah-masalah
yang datang disikapi secara dangkal saja (karena tidak terbiasa lagi melihat akar
masalah), diselesaikan dengan mengandalkan otoritas --terutama jika berkenaan
dengan anak-- se-hingga masalah tak benar-benar terselesaikan, kecuali
permukaannya saja. Ibarat seorang dokter, ia hanya menyembuhkan simptomnya saja.
Ia tidak melacak etiologi penyakitnya. Dari sinilah kemudian anak merasa tidak
memperoleh perhatian yang dibutuhkan,8 tidak menemukan kesejukan yang
diharapkan, dan tidak mendapatkan orangtua yang “mendengarkan dia”. Anak
akhirnya tidak betah di rumah. Dan ini bisa menjadi salah satu jalan yang membuka
aib orangtua, sehingga orangtua merasa malu sekalipun dalam rumahnya sendiri.9
Penjelasan di atas barangkali agak ekstrem: menggunjing saja bisa menyebabkan
anak lari dari rumah. Tetapi ada yang lebih ekstrem lagi. Budaya bicara dan
pemecahan masalah yang lebih banyak menyangkut keburukan orang lain, dan jarang
berbicara tentang apa yang dibutuhkan oleh jiwanya sendiri, menjadikannya merasa
asing dengan realitas psikis istri atau suaminya. Bahkan bisa terjadi, ia merasa asing
dengan dirinya sendiri. Inilah yang disebut dengan keterasingan diri.
 
Orang yang mengalami keterasingan diri, senantiasa merasa kesepian. Kegiatan
yang ia lakukan --seperti pulang ke rumah, menyiram bunga, atau mengantar anak ke
sekolah misalnya-- bersifat mekanis (seperti mesin). Bahasa umumnya: rutinitas.
Padahal letak persoalannya bukan pada kerutinan, melainkan pada kosongnya makna
dalam kegiatan-kegiatan itu.
 
Contoh di atas belum menunjuk pada keterasingan diri (self-alienation), tetapi
baru pada gejala yang memiliki muatan alienasi diri. Saya ingin mengajak Anda
memahami masalah ini secara bertahap. Ketika orang sudah merasa jenuh pada
rutinitas, giliran berikutnya ia mulai merasakan kekosongan makna pada apa yang ia
lakukan. Ia sudah semakin mekanis sampai akhirnya benar-benar mekanis; seperti robot yang sudah diprogram untuk melakukan kegiatan sehari-hari tanpa mengerti apa
yang harus dilakukan ketika semua terasa hampa, kering, dan kosong. Karena sudah
menjadi mekanis seperti robot, maka manusia yang sudah terkikis nilai
kemanusiaannya (human diminution) ini disebut sebagai robopath (pathologi robot).
 
Ada berbagai jenis robopath --saya lupa apa saja-- sesuai dengan bentuk perilaku
yang muncul dari gangguan robopath. Salah satunya adalah cheerful-robo yang
berusaha menghalau rasa sepinya dan kekosongan jiwanya dengan banyak melahap
hal-hal yang bersifat sensual serta makan berbagai jenis makanan yang lezat. Hal-hal
yang bersifat sensual ia dapatkan dari TV, film, video, majalah,nonton orang-orang
cantik di jalan-jalan, ngrumpi, dan seterusnya sampai yang berbentuk obat-obatan
terlarang sejenis ekstasi (agar bisa mengalami “ekstase”). Padahal keasyikan saat
menonton TV atau ngrumpi hanya bertahan selama nonton atau ngrumpi berlangsung.
Sesudah itu, rasa sepi hinggap lagi. Mereka yang tidak tahan, akhirnya lari dari
dirinya sendiri (salah satunya ya minum ekstasi tadi). Mereka rapuh secara emosional
dan mental, sehingga mudah mengalami keputusasaan.
 
Agar lebih bisa memahami, mari kita simak contoh kecil berikut. Orang yang
pertama ikut lomba --baca puisi misalnya-- akan merasa senang dan bahagia begitu
dirinya menjadi juara harapan I. Tetapi orang yang sering ikut lomba dan selalu juara
satu -- gelar juara tidak lagi menarik. Menjadi juara tidak lagi menyenangkan. Makna
piala dan gelar juara sudah hilang, kecuali jika ada misi tertentu yang menggerakkan
untuk tetap meraih gelar juara. Tetapi ini sekaligus berarti, bukan gelar juara itu yang
memberi kebahagiaan dan makna, melainkan misi yang ada di baliknya.
Pada orang yang setiap ikut lomba terpaksa menjadi juara, pujian orang-orang
yang kagum tidak memberikan kebahagiaan apa-apa. Bisa jadi, pujian itu malah
membuat dia semakin hampa karena ada perasaan, “Piala ini hanya membuat mereka
terkagum-kagum, tetapi tidak lagi memperhatikan saya.”
 
Saya teringat cerita tentang Cak Nun. Saya pernah membaca sebuah koran yang
memuat peristiwa ketika Cak Nun dicekal, sehingga Cak Nun harus bertemu dengan
kepala kantor yang berurusan dengan ini (saya tidak ingat kantor apa itu). Ketika Cak
Nun masuk, kepala kantor tersebut sudah memasang muka seram. Tetapi ketika Cak
Nun ternyata sangat tidak memasalahkan pencekalannya, dan justru bertanya hal-hal
yang menjadi kebutuhan psikisnya sebagai manusia; ketika ditanya bagaimana
keadaannya hari ini, bagaimana perasaannya, kabar anak istrinya, dan sejenisnya,
kepala kantor ini justru terharu dan mengundang Cak Nun untuk bicara di tempatnya.
Banyak pejabat yang kaget ketika melihat dirinya sendiri setelah tidak memiliki
jabatan. Pada saat memiliki kekuasaan, ia “mencacatkan” tangannya sendiri sehingga
karyawanlah yang membukakan dan menutupkan pintu mobilnya. Ia tidak menyetir
sendiri mobilnya. Sudah ada orang yang bertugas untuk mengantarkan ke mana pun ia
pergi, termasuk bepergian untuk acara-acara di luar kepentingan dinas. Ia menyangka
itu merupakan bentuk ketulusan hubungan manusia dengan manusia, bentuk cinta
kasih antar sesama, padahal itu hanya merupakan obligasi (kewajiban) kepegawaian
yang hanya bersifat permukaan. Begitu ia turun dari jabatan, ia kehilangan itu semua karena para bawahan tadi membukakan pintu atau membawakan tas bukan karena
cinta kasih kepadanya, tetapi karena memang pekerjaannya membukakan pintu kepala
kantornya. Ia terkejut. Dan akhirnya sakit. Orang pun menyebutnya dengan istilah
mewah: post power syndrome atau sindrom karena kehilangan kekuasaan.
Saya harap contoh-contoh di atas, termasuk contoh hubungan karyawan dengan
atasannya, dapat menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan hubungan yang
cenderung bersifat periferal atau dangkal.
 
“Sibuk” Menepis Penilaian Sosial
 
Jika Anda sering mengamati perkembangan anak, maka Anda akan peka sekali
terhadap gejala-gejala yang ada pada perkembangan anak. Sebaliknya, jika Anda
tekun mendalami perkayuan (yang sekarang semakin sedikit karena berjuta-juta meter
persegi hutan kita sudah terbakar)11, maka Anda cepat berpikir tentang kekuatan
maupun kegunaan kayu begitu melihat ada sebatang kayu di hadapan Anda. Begitu
juga jika Anda sering mencela, mencaci, memaki, merendahkan, menggunjing
sesama, atau melecehkan kehormatan orang lain, Anda akan sangat peka terhadap
gelagat orang yang bisa ditafsirkan sebagai penilaian. Anda akan cepat berpikir
tentang komentar orang kelak jika Anda akan melakukan sesuatu, katakanlah sesuatu
yang baru. Alhasil, gerak Anda dipengaruhi (sebagai pengganti kata dihambat) oleh
persepsi Anda tentang orang lain --yang ternyata boleh jadi keliru sama sekali.
Bahasa lugasnya, Anda mudah berprasangka buruk (su’uzhan) dan prasangka buruk
itulah yang mengontrol tindakan-tindakan Anda.
 
Membicarakan keburukan-keburukan orang membuat kita banyak dikendalikan
oleh prasangka-prasangka kita tentang penilaian orang lain terhadap kita. Kita sangat
mudah risau dengan “kata orang” (sekali pun baru mungkin) tentang kita, sehingga
langkah kita yang membawa maslahat ada kemungkinan tidak jadi kita kerjakan karena khawatir terhadap penilaian orang. Kita akhirnya sibuk memilih tindakan yang melahirkan penilaian positif dari orang lain. Alhasil, kita semakin jauh dari kebaikan.
 
Betapa seringnya orang tidak berani melakukan apa yang dapat mengantarkannya kepada cita-cita hanya karena takut dikomentari. Betapa lazimnya kita mendengar orang takut berbicara di muka umum untuk menyampaikan kebenaran hanya karena takut dinilai, takut tidak bisa berbicara secara menarik. Alhasil, ia tidak menyampaikan kebenaran karena takut mencemarkan nama baik Islam mengingat dia “tidak bisa mewakili” Islam dalam membawakan retorika yang bagus. Alhasil, kita
biarkan keadaan yang kritis hanya demi menjaga agar orang tidak memberi komentar yang buruk (meskipun orang lain belum tentu berkomentar demikian).
 
Kita sudah terlalu banyak belajar dari orangtua kita; baik orangtua di rumah,
masyarakat, maupun sekolah. Kita belajar dari mereka agar tidak punya keberanian
menyampaikan apa yang harus disampaikan jika suara kita tidak bisa menggelegar,
retorika kita tidak bagus, dan pakaian kita tidak seperti pakaian “penyampai
kebenaran”. Kita sering belajar --dari orangtua kita maupun masyarakat-- untuk
mentertawakan orang yang maju dengan sangat lugu, sehingga ketika tiba saatnya kita
harus tampil, kita mundur teratur karena khawatir ditertawakan orang sebagaimana
kita juga mentertawakan mereka (meskipun kita melihatnya sebagai perasaan grogi).12
 
Saya teringat dengan satu peristiwa di tahun 1993. Ketika itu ada sarasehan di
Salman, Bandung untuk membicarakan tentang metodologi pendidikan agama untuk
anak prasekolah. Banyak sekali yang hadir pada acara tersebut, salah satunya adalah
seorang guru TK. Guru kita ini kemudian mendapat kepercayaan untuk
mempresentasikan pikiran-pikirannya cemerlang, tak lama setelah Menteri Agama
membuka acara. Tak banyak yang mendapat kehormatan untuk berbicara di sesi
pertama.
 
Kesedihan dan kerisauan menyergap saya ketika ibu kita mulai
mempresentasikan makalahnya di hadapan para undangan, tidak sedikit di antaranya
pemikir-pemikir pendidikan dan praktisi berpengalaman. Ibu kita ini tidak termasuk
orang yang akrab dengan dunia seminar, apalagi mempresentasikan. Ia juga masih
heran melihat OHP --yang bagi mahasiswa seperti makanan kecil. Tetapi sekali
presentasi, pesertanya orang-orang yang sudah biasa tampil di depan. Tak terlalu
heran jika ibu kita ini gugup dan sekaligus gagap teknologi.
 
Yang membuat saya sedih, orang-orang yang intelek itu rupanya banyak yang
tidak betah mendengar. Ada kegelisahan atau mungkin rasa malu melihat presentasi
dari ibu kita, padahal apa yang dikemukakannya begitu bagus jika kita mau berendah
hati dalam memakai bahasa. Saya merasa aneh melihat sikap yang semacam itu.
Bukankah yang “lebih intelek” mestinya justru memahami yang “agak kurang
intelek”? Waktu itu yang saya lihat mendengar dengan serius dan sungguh adalah
saudara-saudara kita dari Al-Arqam. Yang lainnya pun insya-Allah ada, tetapi saya
tidak melihat.
Astaghfirullahal ‘adzim. Wallahu A’lam bishawab.
 
Apa yang bisa kita ambil dari cerita ini? Sikap kita dapat menjadi hijab
(penghalang) bagi datangnya ilmu yang baik. Tetapi, dari mana sikap yang semacam
itu lahir?
 
Dan Masyarakat Pun Hancur
 
Rusaknya masyarakat tidak hanya karena pemimpin yang tidak adil. Keasyikankeasyikan
kita menggunjing sesama, juga ikut berperan menghancurkan masyarakat.
Karena menggunjing, kesalahan seorang hamba Allah yang telah disembunyikan
Tuhannya kita sebarluaskan sehingga semua orang tahu, sehingga ia sibuk menutupi
wajahnya.
 
Saya teringat tulisan K.H. Jalaluddin Rakhmat. Katanya, “Perhatikan, betapa
banyak keburukan telah Anda lakukan dan Tuhan menyembunyikannya dari mata dan
telinga manusia. Sekiranya semua kejelekan Anda diketahui orang, Anda tidak akan
tahan hidup di tengah-tengah masyarakat.”
 
Ketika keburukan-keburukan kita disembunyikan oleh Allah dari penglihatan
orang, insya-Allah kita bisa lebih leluasa untuk memperbaiki diri. Kita bisa
melakukan perbaikan atas jiwa kita, mental kita, dan niat-niat kita tanpa terkungkung
oleh penilaian orang atas kita. Jika kita sebelumnya telah melakukan keburukan dan
tidak seorang pun mengetahui, kita memiliki kesempatan untuk menghapus
keburukan dengan banyak melakukan kebajikan tanpa takut ditolak oleh masyarakat,
atau setidaknya beberapa orang.
 
Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, jika seseorang dikenal kebaikannya oleh
masyarakat (meskipun sangat sedikit), ia akan cenderung berusaha untuk
meningkatkan kebaikan-kebaikannya. Seiring dengan usahanya untuk semakin
meningkatkan kebaikan dan keutamaannya, keburukan-keburukan yang melekat
padanya akan menyusut. Ia tidak memiliki hambatan psikis yang berarti karena
masyarakat menerima perkembangan-perkembangan baiknya.
Sebaliknya, jika keburukannya yang dikenal masyarakat (sekalipun sedikit
sekali), maka sulit baginya untuk melakukan kebajikan-kebajikan yang diterima.
Masyarakat cenderung tidak menerima perbaikan yang bertahap dan pelan.
Masyarakat cenderung menghendaki perubahan yang tiba-tiba, spontan, dan
menyeluruh. Padahal ini merupakan syarat yang sulit dipenuhi manusia secara umum
(kecuali orang-orang khusus). Alhasil, orang itu semakin berkembang dengan
keburukannya (yang semula hanya sedikit). Dan boleh jadi ia justru menjadi
penyebab tersebarnya keburukan di tengah-tengah masyarakat.

Artinya, ketika keburukan seseorang tersebar luas, maka akan menyebabkan
yang bersangkutan sulit melakukan perubahan ke arah yang baik dan masyarakat sulit
menerima perbaikan yang bertahap dan pelan. Padahal, manusia umumnya
melakukan perubahan secara bertahap. Perubahan baru bisa dilakukan secara
bertahap, progresif dan baik ketika sudah pindah ke masyarakat lain yang tidak dikenal
atau kulturnya sangat berbeda. Akhawat yang memiliki militansi tinggi, umumnya adalah mereka yang berasal dari daerah-daerah yang sangat jauh. Mereka
mengalami perubahan (metamorfosis spiritual) setelah pindah ke tempat yang tidak
dikenalnya.
 
Sekalipun bab ini bukan tentang kebaikan merantau, tetapi izinkanlah saya untuk
melengkapi pembicaraan kita ini dengan nasehat Imam Syafi’i. Katanya, “Sungguh
aku melihat air yang tergenang dan terhenti memercikkan bau yang tak sedap.
Andaikan saja ia mengalir, air itu akan terlihat bening dan sehat. Sebaliknya, jika
engkau biarkan air itu menggenang, ia akan membusuk.”
Imam Syafi’i juga pernah mengingatkan, “Emas bagaikan debu sebelum
ditambang menjadi emas. Dan pohon cendana yang masih tertancap di tempatnya tak
ubahnya pohon-pohon untuk kayu bakar.
 
Jika engkau tinggalkan tempat kelahiranmu, kau akan temui derajat mulia di
tempat yang baru, dan kau bagaikan emas yang sudah terangkat dari tempatnya.”
Jika memperhatikan nasehat Imam Syafi’i, merantau membuat “emas yang
terpendam” dalam diri kita dapat terangkat sehingga kelihatan kilau emasnya.
Merantau membuat emas jiwa kita terasah dan mencapai ketinggian dengan lebih
banyak belajar, menghadapi tantangan, dan lingkungan yang lebih siap menerima
kita. Kita tidak dikenal, karena itu kacamata yang dipakai orang untuk melihat kita
lebih jernih. Kadangkala masyarakat baru tempat kita merantau justru menempatkan
sekaligus mengharapkan kita sebagai orang baik, sehingga “do’a” mereka akhirnya
menjadi kenyataan.
 
Saya beberapa kali mendengar kabar baik tentang teman-teman dari Jombang
setelah mereka kuliah di tempat lain. Sebagian di antara teman-teman itu konon tidak
biasa mengenakan sarung sebagai pakaian sehari-hari,13 tetapi di tempatnya yang baru
mereka mengalami perubahan positif. Mereka dianggap sebagai wakil sah dari santri
Jombang yang ‘alim. Mereka dianggap sekaligus diperlakukan sebagai orang yang
tahu bagaimana membawakan agama dan kesan tidak santri dalam penampilan
mereka dianggap hanya sebagai penyamaran (bukankah wali-wali Allah itu kadang
ada yang nampak sebagai orang yang tidak banyak faham agama?). Ini menyebabkan
mereka mengalami perubahan perilaku. Mereka juga mulai “malu” dengan anggapan
orang sehingga mereka berusaha untuk benar-benar menjadi orang baik, faham
agama, dan menjaga perilaku. Di sinilah kemudian terasa barakah do’a para kiai
terdahulu, sehingga sepeninggal mereka pun masih membawa kebaikan.
---
“Perhatikan,
betapa banyak keburukan telah Anda lakukan
dan Tuhan menyembunyikannya dari mata dan telinga manusia.
Sekiranya semua kejelekan Anda diketahui orang,
Anda tidak akan tahan hidup di tengah-tengah masyarakat.”
---
Mengapa tanah rantau memberi kesempatan yang lebih besar kepada seseorang
untuk menjadi orang baik dibanding tanah asal? Jawabnya, tidak ada gunjingan buruk
yang sampai kepada mereka sehingga mereka tidak memiliki prophecy (arti
harfiahnya sih nubuwwah)14 tentang kita. Karena tidak memiliki prophecy, mereka
menilai sesuai dengan yang mereka lihat dari kita selama bersama mereka. Tetapi jika
sudah ada prophecy, orang sudah memasang prasangka (sekaligus menyiapkan sikap)
kepada kita, “O..., orang ini begini dan begitu.”
 
Pada masyarakat tempat asal kita, perubahan ini relatif lebih sulit terjadi. Apalagi
jika kebiasaan menggunjing sudah merata. Mengapa? Mari kita simak secara lebih
rinci pada sub judul Zhan Yang Terpenuhi, Terbentuknya Persistensi Tentang Orang
Lain, dan Masyarakat Tak Lagi Ikut Mendidik Anak Kita.
Sekarang, mari kita lihat satu per satu.
 
Zhan Yang Terpenuhi
 
Kebiasaan menggunjing membuat kita tidak peka terhadap kebaikan orang. Kita
merasa nyaman dengan sikap-sikap kita mengungkap keburukan orang, sehingga kita
akhirnya tidak cermat dalam memeriksa penilaian kita kepada orang lain, apakah
tepat atau tidak. Pada gilirannya, kita mudah sekali berprasangka. Kita sudah tak bisa
membedakan mana zhan (prasangka) mana keburukan yang benar-benar dilakukan.
Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, setiap kita mendengar sesuatu, kita segera
menghubungkan kabar tersebut dengan sesuatu yang “seharusnya ada”. Maksud saya
sederhana saja, jika Anda mendengar ada seorang yang sangat ‘alim, maka Anda
segera membayangkan bahwa orang itu memiliki perilaku-perilaku yang lazim
dimiliki oleh orang ‘alim (menurut persepsi Anda) atau yang seharusnya ada pada
orang ‘alim menurut angan-angan Anda. Selanjutnya, Anda berperilaku kepada orang
tersebut sesuai dengan anggapan Anda. Anda menjadi lebih sopan (apalagi jika Anda
sebelumnya mengira dia sebagai orang biasa-biasa saja), lebih hormat, dan lebih
merendahkan suara Anda. Padahal jika Anda mendengarnya sebagai orang yang
terusir karena menyalahi adat, Anda akan menyikapinya dengan sinis, meskipun
sesungguhnya dia orang yang ‘alim.
 
Zhan (prasangka) inilah yang membuat kita sulit objektif terhadap orang. Kita
sulit untuk bersikap adil (padahal kita diperintahkan untuk adil, sekalipun pada
musuh, sekalipun kita sedang marah). Zhan menjadi penghambat psikis
(psychological barriers) untuk menerima kenyataan bahwa orang yang paling buruk
pun bisa berubah menjadi orang yang sepenuhnya baik. Ia juga menjadi psychological
barriers (hambatan psikis) bagi orang yang terlanjur dinilai jelek untuk mengubah
dirinya menjadi orang baik.
 
Orang-orang yang bekerja di rumah sakit jiwa ataupun lembaga pemasyarakatan,
sangat akrab dengan fenomena terhambatnya kemajuan kepribadian seseorang
“hanya” gara-gara prasangka orang. Mereka yang telah dinyatakan sembuh dari
rumah sakit jiwa seringkali harus kembali lagi menjadi pasien karena masyarakat
tetap menyimpan prasangka yang buruk sehingga mereka tidak mau menerima alumni RSJ sebagai anggota masyarakat yang normal. Mereka menolak alumni RSJ itu dalam
pergaulan sehari-hari, misalnya dengan bahasa isyarat yang menunjukkan
“keengganan” saat berkumpul bersama. Demikian juga alumni lembaga
pemasyarakatan, “terpaksa” menjadi penjahat lagi karena selalu dicurigai.
Satu lagi. Saya ingin mengajak Anda sekali lagi untuk melihat akibat dari zhan
yang tersebar dalam masyarakat ini terhadap seseorang. Jika seseorang dikenal
keburukannya (meskipun sedikit) dalam masyarakat, maka keburukan yang sedikit ini
lama-lama akan semakin berkembang, kecuali jika ia termasuk orang khusus yang
memiliki telinga cukup tebal untuk tidak menghiraukan ucapan orang, sehingga ia
tetap mampu menjadi orang baik.
 
Kita mendengar, kadang-kadang seorang remaja menjadi nakal karena ia
terlanjur dicap nakal. Ia menjadi nakal karena, “Daripada cuma dicap nakal padahal
saya tidak nakal, mending sekalian nakal. Ngapain? Toh sama saja, orang tetap
menganggap saya nakal.”
Begitu.
 
Terbentuknya Persistensi Tentang Orang Lain
 
Jika Anda mempunyai prasangka buruk terhadap orang lain dan Anda sering
menggunjingnya, atau minimal mendengar orang membicarakan “keburukannya”
(yang belum tentu benar), lama-lama Anda akan yakin bahwa orang tersebut memang
buruk. Anda sangat yakin tentang hal itu, sedemikian yakinnya sampai Anda tidak
bisa percaya ketika mendengar bahwa orang tersebut tidak sebagaimana yang Anda
yakini. Anda tetap tidak bisa percaya sekalipun ditunjukkan bukti-bukti yang kuat.
Anda mengajukan berbagai kemungkinan motif (yang ini berarti Anda berprasangka
buruk lagi), sehingga Anda berkata, “Ah, tidak mungkin. Itu mungkin hanya sekedar
biar orang menganggapnya sebagai orang baik saja.”
 
Anggapan yang sudah menetap dan sulit diubah-ubah sekalipun dengan bukti
kuat itulah yang dinamakan dengan persistensi. Anda mengalami persistensi
anggapan tentang orang lain. Artinya, anggapan Anda tentang orang lain telah bersifat
menetap kuat-kuat dan tidak bisa berubah sekalipun orang itu benar-benar lain sama
sekali dari yang Anda duga. Anda tetap tidak bisa menerima. Anda lebih percaya
pada anggapan Anda daripada fakta-fakta yang sepenuhnya bisa
dipertanggungjawabkan.
 
Persistensi terbentuk melalui proses penguatan yang terus menerus.
Sederhananya begini, prasangka tentang seseorang akan menjadi persistensi jika
setiap hari kita mendengarkan pembicaraan yang mendukung prasangka kita, jika
setiap hari kita membicarakan prasangka kita, dan seterusnya. Lama-lama prasangka
itu kita yakini. Dan terbentuklah persistensi.
 
Persistensi ini jika kita kuatkan terus akan membuat kita tidak mau lagi
menerima bahwa orang itu tidak seperti prasangka kita, sekalipun kita sudah
membuktikan sendiri bahwa prasangka kita salah. Akhirnya kita berkata, “Pokoknya saya tetap tidak mau menerima dia. Saya tahu dia tidak begitu. Tapi kalau saya tidak
mau, mau apa?”
Dan ini berarti hati kita telah tertutup. Na’udzubillahi min dzalik.
Jika persistensi menyebar luas di masyarakat, apa yang akan terjadi pada
masyarakat itu? Apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang terlanjur terkena
persistensi orang banyak?
 
Saya tiba-tiba teringat kepada Rasulullah. Ah, semua contoh dari Rasulullah
sangat menakjubkan. Sayangnya saya tidak bisa mencontoh perilaku-perilakunya (ya
Allah, sempurnakanlah kecintaanku padanya dan perjalankanlah aku dan orang-orang
yang mencintainya untuk bisa mencontoh Rasul-Mu sepenuhnya).
Sebelum menceritakan salah satu contoh dari Rasulullah, saya ingin mengajak
Anda bershalawat bersama-sama. Ucapkanlah dengan suara lirih dan hati yang
menghadap, memohon kepada Allah:
 
“Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ali Muhammad. Allahumma
shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ali Muhammad. Ya Allah, bangkitkanlah kami kelak
sebagai golongan orang-orang yang mencintai Rasul-Mu. Amin.”
Dan inilah contoh dari Rasul yang mulia itu:
 
Rasulullah Saw. mempunyai paman yang sebaya usianya. Namanya Hamzah
(baginya ridha Allah). Sejak kecil hingga tumbuh dewasa, Rasulullah sangat dekat.
Dialah paman yang sangat dicintai Rasulullah. Dialah yang menyertai Rasulullah
dalam berbagai keadaan. Jika Abi Thalib adalah pembela Rasulullah yang utama,
maka Hamzah adalah sahabat Rasulullah yang paling dekat dari kalangan pamannya.
Dalam sebuah peperangan, Hamzah radhiyallahu ‘anhu ikut serta. Hamzah
membela Rasulullah mati-matian, sementara musuh-musuh mengincarnya terusmenerus.
Mereka tahu, Hamzah adalah orang yang paling dekat di hati Nabi. Kalau
Hamzah mati, Rasulullah akan sangat kehilangan.
 
Dan inilah Wahsyi, penombak ulung yang mengintainya. Ia mempunyai tugas
khusus dari Hindun untuk mengintai Hamzah. Ia tak membiarkan dirinya kehilangan
jejak Hamzah. Dipantaunya terus kemana Hamzah bergerak. Diincarnya terus. Dan
diarahkan mata tombaknya setepat-tepatnya. Sampai ketika ia merasa yakin
bidikannya tak akan meleset, ia lepaskan tombak itu dengan dendam yang membakar.
Ujung tombak itu tak meleset lagi. Ujung tombak yang runcing itu menusuk dada
Hamzah. Tombak yang tajam itu merobek jantung Hamzah. Hindun berlari. Ia ambil
jantungnya. Ia makan jantung kekasih Rasulullah itu. Ia kunyah-kunyah jantung orang
suci itu dengan meninggalkan kepedihan yang mendalam di hati Rasulullah. Tak ada
pemandangan yang lebih menyedihkan hati saat itu kecuali melihat Hindun
mengunyah jantung pahlawan semua orang yang masih memiki nurani.
 
Apa yang Anda rasakan jika itu terjadi pada Anda? Kesedihan semacam apa
yang Anda rasakan jika kekasih Anda yang sudah meninggal diinjak-injak dan dimakan jantungnya oleh orang yang Anda kenal? Apa yang akan Anda katakan kalau
suatu saat orang itu datang meminta maaf kepada Anda?
 
Saya sungguh tidak bisa membayangkan bagaimana Anda menjawab pertanyaanpertanyaan
saya. Tetapi lebih sulit lagi membayangkan bagaimana Rasulullah
memaafkan mereka, menerima mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka,
dan bersikap ramah terhadap mereka ketika mereka datang kepada Rasulullah untuk
menyatakan masuk Islam. Mereka diterima oleh Rasulullah. Dan mereka menjadi
orang-orang yang dikenang Islam dengan dua sejarah; sejarah pedih ketika mereka
membunuh Hamzah, dan sejarah trenyuh ketika mereka bertaubat. Lihatlah Wahsyi
yang setiap saat menangis. Tak tahan hatinya jika mengenang mata tombaknya yang
menusuk dada Hamzah. Tak tahan hatinya merasakan keagungan Rasulullah yang
memaafkannya tanpa persyaratan apa-apa.
 
Begitulah Muhammad. Ia menyaksikan sendiri kekejian orang yang mengunyah
jantung Hamzah. Ia tidak mendengar desas-desus. Ia tidak mendengar gunjingan.
Tetapi itu tidak menjadikan hatinya keras sehingga tak mau memaafkan mereka,
meskipun kita akan sangat maklum seandainya Rasulullah tak mau memaafkan. Tidak
ada persistensi di hati Rasulullah bahwa mereka --Wahsyi dan Hindun-- tak mungkin
bisa berubah. Tidak ada itu.
 
Andaikan Wahsyi dan Hindun hidup di zaman kita ini, mungkin mereka tak
berkesempatan menjadi orang-orang yang bisa dikenang kebaikannya. Tetapi tidak.
Mereka hidup di zaman Rasulullah yang agung, sehingga mereka bisa mencapai
keagungan di hadapan Allah. Mereka bisa termasuk sebagai sahabat Nabi.
Sekedar penyimpul, dalam masyarakat yang percaya bahwa setiap manusia
selalu mempunyai kemungkinan untuk mencapai kebaikan, di detik-detik terakhir
kehidupannya sekalipun, akan memberi kesempatan yang seluas-luas-nya pada setiap
orang untuk lebih baik daripada sebelumnya. Tetapi dalam masyarakat yang telah
dipenuhi zhan --apalagi jika sampai bersifat persisten (menetap)-- perbaikan itu sulit
dilakukan. Bahkan seseorang yang memiliki banyak kebaikan pun, bisa menjadi
orang yang penuh keburukan ketika keburukannya yang sedikit diketahui orang dan
terus dibicarakan di setiap sudut rumah.
 
Masyarakat Tak Lagi Ikut Mendidik Anak Kita
 
Maka, masih adakah kegelisahan jika anak-anak tetangga mulai nakal dan
akhlaknya tidak baik? Masih adakah rasa tenteram untuk melepas anak berbaur
dengan anak-anak orang se-RT, se-RW, sekampung, atau (apalagi) sekota? Masih
tetap adakah orang-orang tua yang akan memanggil anak-anak “nakal” lalu
menasehati mereka dengan lemah lembut tentang hak Allah dan hak anak Adam,
kemudian memberikan kepada mereka mangga yang lebih banyak daripada yang
mereka curi demi menghalalkan makanan yang masuk ke perut anak orang? Masih
adakah sikap seperti itu, atau minimal kepercayaan bahwa orang lain tidak merusak
akan anak-anak kita, jika kita setiap hari menggunjing? Jika setiap hari kita
mendengar orang menggunjing?
 
Hari ini, saya merasakan pertanyaan-pertanyaan saya itu sebagai romantisme,
meskipun di masa kecil seingat saya hal-hal semacam itu masih ada pada masyarakat
saya. Hari ini, saya merasakan masyarakat kita tidak seperti dulu kepeduliannya
kepada kebaikan anak-anak tetangga.
 
Bergesernya kepedulian masyarakat ini saya rasa merupakan konsekuensi logis
dari hidupnya semangat menggunjing di tengah-tengah kita. Ketika keburukan orang
menjadi keasyikan kita di rumah saat menggunjing bersama istri, maka memperbaiki
masyarakat sama halnya dengan menghapus keasyikan. Dan itu sangat berat.
Ketika hati ini sudah terlalu keras, sulit merasakan kepedihan orang lain; sulit
merasakan kegelisahan orangtua yang memikirkan anaknya; sulit menangisi
masyarakat yang sedang sakit. Bagaimana bisa menangisi hal-hal yang seharusnya
ditangisi, sedangkan menangisi keburukan diri sendiri saja sulitnya masya-Allah.
Sebaliknya, kita justru lebih peka terhadap hal-hal yang semestinya tidak mendapat
prioritas untuk ditangisi. Kita mudah risau kalau nasi kita tidak enak, tetapi tidak risau
kalau umat Muhammad dilanda kebingungan.
 
Saya akhirnya harus mohon maaf kepada Anda. Saya tidak bisa melanjutkan
pembicaraan di sub judul ini. Maafkan saya, semoga Allah memuliakan Anda.
Ya Allah, bersihkan hati kami sebagaimana Engkau telah membersihkan bumi
dengan hujan.
Ya Allah, ampuni kami.
Anak-anak Pun Menjadi Korban
 
Dan akhirnya, keasyikan menggunjing saat berkumpul bersama sambil
menikmati kopi itu, menerkam anak-anak kita sendiri sebagai korbannya. Ada banyak
madharat yang disebabkan kebiasaan menggunjing.
 
Setidaknya ada 13 madharat menggunjing bagi anak yang sempat saya catat.
Catatan ini tidak termasuk madharat dalam aqidah dan keimanan mereka.
Selengkapnya, kerugian dan kerusakan yang bisa terjadi pada anak akibat keasyikan kita menggunjing setiap hari, dapat Anda baca pada daftar berikut:
􀂃 Merusak Harga Diri Anak
􀂃 Merusak ‘iffah anak atau kemampuan kendali diri anak. Hal ini erat terkait
dengan harga diri dan rasa percaya diri anak.
􀂃 Melemahkan kepercayaan terhadap orangtua
􀂃 Menumbuhkan rasa takut bereksplorasi
􀂃 Mematikan rasa percaya diri anak
􀂃 Membunuh kreativitas anak
􀂃 Terlalu berorientasi pada penilaian orang lain
􀂃 Menciptakan ketergantungan pada otoritas orang lain
􀂃 Merangsang anak membuat apologi
􀂃 Lebih mengaktifkan quwwatusy-syahwiyah danghadhabiyyah daripada
quwwatul-’aqliyyah. Arti-nya, kekuatan syahwat dan agresi anak lebih
berkembang dibanding kekuatan akal budi anak.
􀂃 Mematikan hati
􀂃 Membuat anak sulit dinasehati
􀂃 Menghabiskan waktu produktif anak

Sayang, kita tidak bisa mengupasnya sekarang mengingat keterbatasan halaman pada buku ini. Semula saya merencanakan untuk membahas secara tuntas pada buku ini, tetapi ternyata belum bisa. Insya-Allah dalam kesempatan lain kita akan membahas dengan lebih leluasa, jika itu memang membawa kebaikan bagi kita semua. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita dan keturunan kita untuk mencapai puncak kebajikan yang diterima Allah Ta’ala. Allahumma amin.

Ya, Allah demikianlah yang kutulis. Kumohonkan barakah-Mu atas tulisan ini bagi kami dan anak cucu kami. Jauhkanlah kami dari perbuatan menggunjing dengan kekuatan dan ilmu-Mu. Selanjutnya, saya serahkan kepada sidang pembaca untuk memeriksa benar salahnya. Mudah-mudahan Allah memberi taufik dan hidayah-Nya.

Kepada istriku, keluargaku, saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku dan orangorang yang kucintai, kumohon engkau semua berkenan saling mengingatkan --dan bukan saling menyalahkan. Kehidupan kita setelah ini tak ada yang menjamin, kecuali jika Allah meridhai hidup kita sekarang dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkenan memberi syafa’at bagi kita semua.
 
Ya Rasul, salam bagimu.
Ya Rasul, shalawat bagimu dan anak cucumu.
Astaghfirullahal ‘adzim.
 

Catatan Kaki:
1. Mohammad Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, Mizan, Bandung, 1996 dari Muslim, Mukhtashar Shahih Muslim, hadis No. 1806 dengan memberi catatan: Hadis tersebut merupakan bukti tentang perbedaan ghibah dan buhtan.

2. Tafsir bil Ma’tsur, Remadja Rosdakarya, Bandung, 1994 dari Al-Durr Al- Mantsur.

3. Ibrahim M. Al-Jamal, Penyakit-penyakit Hati, Pustaka Hidayah, Bandung, 1995.

4. Ibrahim M. Al-Jamal, ibid, dengan catatan kaki: Dikeluarkan oleh Abu Ya’la. Ibnu Katsir juga mengatakan dalam tafsirnya, dan isnadnya shahih, IV/215, terbitan Al-Halabi.
 
5. Martin van Bruinessen melaporkan kejadian-kejadian semacam ini dari penelitian lapangan yang ia lakukan di negeri kita yang semata wayang ini. Kumpulan laporan ini kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Bentang, Yogyakarta, 1998.
 
6. Mari kita ingat kembali penjelasan Nabi Saw. tentang wali ‘abdal. Abu Nu’aim meriwayatkan sabda Nabi Saw., “Karena merekalah Allah menghidupkan dan menolak bencana.” Sabda Nabi ini terdengar begitu berat sehingga Ibnu Mas’ud bertanya, “Apakah maksud ‘karena merekalah Allah menghidupkan dan mematikan?’” Rasulullah Saw. bersabda, “Karena mereka berdo’a supaya umat diperbanyak, maka Allah memperbanyak mereka. Mereka memohon agar para tiran dibinasakan, maka Allah binasakan mereka. Mereka berdo’a agar turun hujan, maka Allah turunkan hujan. Karena permohonan mereka, maka Allah menumbuhkan tanaman di bumi. Karena do’a mereka, Allah menolakkan berbagai bencana.” Allah sebarkan mereka di muka bumi. Pada setiap bagian bumi, ada mereka. Kebanyakan orang tidak mengenal mereka. Jarang manusia menyampaikan terima kasih khusus kepada mereka. Kata Rasulullah Saw., “Mereka tidak mencapai kedudukan mulia itu karena banyak shalat atau puasa.” Karena apa mereka mencapai derajat itu? Bis-sakhai wan-nashihati lil muslimin, kata Rasulullah Saw.. Dengan kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada kaum muslimin.

7. Tidak berarti istri, suami, dan anak bukan termasuk orang lain. Kadang ketika orang asyik menggunjing, tanpa sadar (?) mereka menggunjing istri atau suaminya sendiri.

8. Kadangkala tidak hanya anak, melainkan istri atau suami juga.

9. Tetapi jalan Allah untuk mempermalukan orang yang suka membuka aib saudaranya, tidak sesempit penjelasan saya ini. Ada banyak jalan yang tidak selalu bisa dijelaskan secara betul-betul memadai menurut disiplin ilmiah, sehingga kita hanya mengatakan, “Tiba-tiba dia berubah demikian setelah bertemu dengan Si Fulan. Dia terpengaruh Si Fulan. Padahal anak saya itu baik. Dia itu sangat cerdas sebenarnya. Sangat mengerti. Ya, karena terpengaruh saja dia menjadi begitu.” Masih ada pertanyaan yang tersisa jika ada orang yang berkata seperti itu: Mengapa anak yang manis itu bisa tiba-tiba mudah dipengaruhi?
 
10. Bab ini ada pada jendela pertama buku ini.

11. Suara Merdeka, 19 April 1998 melaporkan hutan yang terbakar sejak Januari sampai 17 April 1998 seluas 393.850 hektar atau 3.938.500.000 meter persegi. Ini jika satu hektar masih tetap 10 ribu meter persegi. Dan ini hanya di Kalimantan Timur. Belum termasuk tempat-tempat lain di Sumatera dan Kalimantan (selain Kalimantan Timur).

12. Dalam hal ini perlu dibedakan antara grogi dan malu. Kebanyakan kita belum punya malu (termasuk yang menulis buku ini), tetapi memiliki perasaan takut dinilai orang. Rasa malu tidak menghalangi orang menyatakan apa yang harus dinyatakan, tetapi perasaan takut dinilai menyebabkan orang tidak berani menyampaikan apa yang seharusnya ia sampaikan. Syaikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani menyebut kedua sikap itu dengan istilah yang sama: malu. Tetapi ia membedakan antara sikap malu yang syar’i dan malu yang mewatak. Syaikh Asy-Sya’rani mengingatkan, “Malu yang mewatak ialah jika seseorang malu untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala dengan suara keras di hadapan orang banyak, yaitu orang yang mempunyai nafsu (terhormat), seperti para qadhi (hakim negara), para penguasa pemerintah, para guru dan sebagainya. Maka apabila di antara mereka dianjurkan untuk berzikir kepada Allah Ta’ala di muka banyak orang, yang hasil dari mereka adalah rasa malu, seakan-akan mereka disuruh melakukan maksiat.”
 
13. Di Jombang dan beberapa tempat lain, kebiasaan memakai sarung mencirikan orang yang santri, yaitu orang yang banyak belajar di pesantren dan (mestinya) menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang “bukan” santri cenderung untuk memakai pakaian sehari-hari yang bukan sarung. Tentu saja ini tidak bisa digeneralisasi. Karena pakaian sarung sudah membawa citra kesantrian, maka perubahan dari kebiasaan memakai celana panjang biasa ke pemakaian sarung beserta kopyah menimbulkan tuntutan pada diri sendiri untuk menyesuaikan diri dengan citra santri.
 
14. Dalam psikologi dikenal istilah self-fulfilling prophecy atau nubuwwah yang dipenuhi sendiri. Jika kita menganggap diri kita sebagai orang yang bodoh dan memiliki hafalan rendah, maka kita berperilaku yang sesuai dengan anggapan kita sehingga akhirnya kita memang benar-benar bodoh. Jika masyarakat menganggap seseorang jelek, maka mereka memperlakukan orang tersebut sebagai orang yang jelek, sehingga orang tersebut akhirnya benar-benar menjadi orang jelek. Wallahu A’lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar