Dunia masih
mengenangnya. Airmata masih
ada yang mengalir ketika mengingat
kebesarannya. Ada rasa
malu kalau membandingkan dengan
keadaan kita sekarang. Ada rasa haru kalau melihat
kembali perjuangan-perjuangannya; bagaimana ia dengan penuh kasih-sayang
mengusap darah suaminya seusai perang dan merawatnya penuh perhatian; bagaimana
ia mengambil air sendiri dengan berjalan jauh sampai membekas di dadanya; dan
bagaimana ia menginap di rumah Rasulullah sementara ‘Ali menggantikan tempat tidur Nabi saat
orang kafir Quraisy mengepung. Malam itu, Rasulullah meninggalkan Makkah dan
bersembunyi di gua Tsaur. Sementara orang kafir mengancam nyawanya.
Fathimah sangat besar perjuangannya.
Dia adalah putri dari seorang yang suci. Dia sendiri suci. Dari rahimnya yang
suci, kita pernah mendengar nama Al-Hasan dan Al-Husain yang ikut bersama
kakeknya ketika akan melakukan mubahalah (perang
doa) dengan pendeta Bani Najran. Ia juga melahirkan Zainab yang kelak harus meninggalkan Mesir. Dari
keturunan Zainab inilah kelak Imam Syafi’I
mendapat tempat dan
perlindungan. Juga membuka pesantrennya.
Hari ini adalah hari Jum’at.
Bulannya Dzulhijjah. Tahun 1417 hijriyah. Bulan haji. Bulan ketika orang
memotong leher kambing dan sapi, tepat pada tanggal 10. Sama seperti tahun itu, ketika
orang-orang Kufah memintanya menjadi khalifah dan mereka siap berbai’at
kepadanya. Tanggal 10 Dzulhijjah tahun itu, kaum muslimin juga menyembelih
leher kambing kibasy.
Tetapi sebulan berikutnya, dunia
tidak akan pernah melupakan. Jika pada tanggal 10 Dzulhijjah orang-orang Islam
bergembira ketika memotong leher kambing dan onta, hari itu hati yang bersih
menjerit menangis ketika penguasa yang zalim memotong leher orang yang paling
dicintai Rasulullah Saw.. Jika dulu Fathimah Az-Zahra membukakan pintu kepada
Rasulullah ketika akan menemui Al-Husain, hari itu para wanita segera menutup
wajahnya dengan niqab untuk menyembunyikan keperihan hatinya ketika melihat
kepala AlHusain diarak. Jika dulu Rasulullah sering mendekap dan menciumnya,
hari itu wajah yang sering didoakan Rasulullah itu dihinakan. Bahkan ketika
sudah menjadi mayat, giginya masih diantuk-antuk dengan ujung pedang. Padahal,
jenazah orang kafir saja kita disuruh menghormati.
Akan tetapi Al-Husain justru harum dengan darahnya. Sama seperti
airmata Zainab yang
menyelamatkan ‘Ali Ausath, satu-satunya
putra AlHusain yang masih tersisa
dari pembantian. Airmata itu sampai sekarang tetap mengalir di dada kaum
muslimin yang tahu hak mereka, bercampur dengan darah Al-Husain yang harum.
Pelajaran kadang memang harus pahit.
Namun peristiwa di tanah duka (Karbala) itu rasanya terlalu pahit. Hanya
Al-Husain yang sanggup memikul kemuliaan itu. Kita yang mencintai leher kita,
apalagi kita masih mencintai sapu
tangan dan keramik
unik, tidak cukup
layak untuk mendapatkan kehormatan. Alangkah
tingginya Al-Husain dan
keturunannya. Alangkah jauhnya
kita darinya. Lantas, apakah masih ada alasan untuk bersombong di hadapan
kemuliannya?
Kita memang terlalu jauh dari
derajat Al-Husain. Bahkan untuk layak disebut sebagai golongan yang
mencintainya saja, entah layak entah tidak. Sekadar meniru An-Nasa’I saja, saya
belum yakin kita mempunyai cukup keberanian
dan ketegaran. Sekarang,
tangan kita lecet
sedikit saja sudah membuat wajah kita muram dan mulut
meringis. Padahal An-Nasa’i merelakan nyawanya demi kecintaannya. Sama seperti
Imam Ahmad ibn Hanbal yang bersedia dipukuli penguasa. Sama seperti Imam
Syafi’i yang konon adalah imam kaum
muslim Indonesia, sebab
mayoritas umat Islam
Indonesia bermadzab Syafi’iyah meskipun
kadang masih mencela
orang yang melaksanakan qaul (pendapat hasil ijtihad)
Imam Syafi’i.1 Dan kita tahu,
mereka
semua adalah ulama-ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah
Ah, sudahlah. Dengan rasa
malu atau tidak sama
sekali, kita harus mengakui betapa jauhnya kita dari
orang-orang terdahulu. Sangat jauh.
Meskipun demikian, masih ada yang
dapat kita ambil. Kita dapat melihat kembali
sebagian kecil teladan
Fathimatuz Zahra sehingga
mempunyai
keturunan yang
mulia sampai generasi-generasi yang
jauh sesudahnya, termasuk Syaih
‘Abdul Qadir Al-Jailani2 maupun Sayyid ‘Abdullah Haddad.
Keteladanan Fathimatuz
Zahra mencakup kedekatan
kepada Allah, kuatnya dalam
menegakkan shalat malam,
khusyuknya dalam berzikir, kesetiaannya yang sangat luar biasa
kepada suami, serta kuatnya kecintaan dan perhatian kepada
anak-anaknya. Hari ini,
insya-Allah kita akan
mencoba melihat bagaimana Fathimah Az-Zahra mendidik dan membesarkan
putraputrinya. Sedangkan keteladanan
lain, silakan periksa
sendiri. Tentu saja, membicarakan Fathimah Az-Zahra radhiyallahu ‘anha tidak bisa lepas dari pembicaraan
mengenai suaminya ‘Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhahu dan ayahnya Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
--
Kepada anak-anak perempuannya, Fathimah mengajarkan keberanian,
pengorbanan, keteguhan, dan tidak takut kepada orang lain.
--
Imam
Nawawi al-Bantani (Al-Jawi) pernah
menuliskan keagungan Fathimah
Az-Zahra ketika berbicara masalah hak dan kewajiban suami-istri. Berikut ini
saya kutip dari Uqudul Lujain karya Imam Nawawi Al-Bantani. 3
Suatu hari Rasulullah Saw. Menjenguk Az-Zahra. Ketika itu
ia sedang membuat tepung dengan alat penggiling sambil menangis.
“Kenapa menangis,
Fathimah?” Tanya Rasulullah, “Mudah-mudahan Allah tidak
membuatmu menangis lagi.”
“Ayah,” Fathimah
menjawab, “aku menangis hanya
karena batu penggiling ini, dan
lagi aku hanya menangisi kesibukanku yang silih berganti.”
Rasulullah kemudian
mengambil tempat duduk di sisinya,
kata Abu Hurairah. Fathimah
berkata, “Ayah, demi kemuliaanmu, mintakan kepada ‘Ali supaya membelikan
seorang budak untuk membantu pekerjaan-pekerjaanku membuat tepung dan
menyelesaikan pekerjaan rumah.”
Setelah mendengar perkataan
putrinya, Rasulullah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju
tempat penggilingan. Beliau
memungut segenggam biji-bijian gandum dimasukkan ke penggilingan. Dengan
membaca bismillahir rahmanir rahim maka berputarlah alat penggiling itu atas ijin Allah.
Beliau terus memasukkan biji-bijian itu sementara alat penggiling terus
berputar sendiri, sambil memuji Allah dengan bahasa yang tidak dipahami
manusia. Ini terus berjalan sampai biji-bijian itu habis.
Rasulullah Saw. berkata kepada alat
penggiling itu, “Berhentilah atas ijin Allah. Seketika alat pengiling pun
berhenti. Beliau berkata sambil
mengutip ayat Al-Qur’an, Hai
orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya, dan mereka selalu mengerjakan segala yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).
Merasa takut jika menjadi batu yang
kelak masuk neraka, tiba-tiba batu itu bisa berbicara atas ijin Allah. Ia
berbicara dengan bahasa Arab yang fasih. Batu itu berkata, “Ya, Rasulallah.
Demi Dzat yang Mengutusmu dengan hak menjadi Nabi dan Rasul, seandainya engkau
perintahkan aku untuk menggiling biji-bijian yang ada di seluruh jagat Timur
dan Barat, pastilah akan kugiling semuanya.”
Dan aku mendengar pula, kata Abu
Hurairah yang meriwayatkan kisah ini,
nahwa Nabi Saw.
bersabda, “Hai Batu, bergembiralah
kamu. sesungguhnya kamu termasuk
batu yang kelak
dipergunakan untuk membangun gedung
Fathimah di surga.”
Seketika itu, batu penggiling itu
bergembira dan berhenti. Nabi Saw. bersabda kepada putrinya, Fathimah Az-Zahra,
“Kalau Allah
berkehendak, hai
Fathimah, pasti batu penggiling itu akan berputar sendiri untukmu. Tetapi Allah
berkehendak mencatat kebaikan-kebaikan untuk dirimu dan menghapus
keburukan-keburukanmu, serta mengangkat derajatmu.
Hai Fathimah, setiap istri yang membuatkan tepung untuk suami dan
anak-anaknya, maka Allah mencatat baginya memperoleh kebajikan dari setiap butir biji
yang tergiling, dan
menghapus keburukannya,
serta mengangkat derajatnya.
Hai Fathimah, setiap istri yang berkeringat di sisi alat
penggilingnya karena membuatkan bahan makanan untuk suaminya, maka Allah
menjauhkan antara dirinya dan neraka sejauh tujuh hasta.
Hai Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut anak-anaknya dan
menyisirkan rambut dan mencucikan baju mereka, maka Allah mencatatkan untuknya
memperoleh pahala seperti pahala orang yang memberi makan seribu orang yang
sedang kelaparan dan seperti orang yang memberi pakaian seribu orang yang
telanjang.
Hai Fathimah, setiap istri yang mencegah kebutuhan tetangganya,
maka Allah kelak akan mencegahnya (tidak memberi kesempatan baginya) untuk
minum dari telaga Kautsar pada hari kiamat.
Hai Fathimah, tetapi yang lebih utama dari semua itu adalah
keridhaan suami terhadap istrinya. Sekiranya suamimu tidak meridhaimu, tentu
aku tidak akan mendoakan dirimu.
Bukankah engkau mengerti, Hai Fathimah,
bahwa ridha suami itu bagian dari ridha Allah, dan kebencian suami merupakan
bagian dari kebencian Allah.
Hai Fathimah, manakala seorang istri mengandung, maka para
malaikat memohon ampun untuknya, setiap hari dirinya dicatat memperoleh seribu
kebajikan, dan seribu keburukannya dihapus. Apabila telah mencapai rasa sakit
(menjelang melahirkan) maka
Allah mencatatkan untuknya
memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang berjihad di jalan
Allah. Apabila telah melahirkan, dirinya terbebas dari dosa seperti keadaannya
setelah dilahirkan ibunya.
Hai Fathimah, setiap istri yang
melayani suaminya dengan niat yang benar,
maka dirinya terbebas dari dosa-dosanya
seperti pada hari
dirinya dilahirkan ibunya. Ia
tidak keluar dari
dunia (yakni mati) kecuali
tanpa membawa dosa. Ia menjumpai kuburnya sebagai pertamanan surga.
Allah memberinya pahala seperti seribu orang yang berhaji dan berumrah, dan
seribu malaikat memohonkan ampunan untuknya hingga hari kiamat.
Setiap istri yang melayani suaminya sepanjang hari dan malam
hari disertai hati yang
baik, ikhlas, dan
niat yang benar,
maka Allah akan mengampuni dosanya.
Pada hari kiamat
kelak dirinya diberi
pakaian berwarna hijau, dan dicatatkan untuknya pada setiap rambut yang
ada di tubuhnya dengan seribu kebajikan, dan Allah memberi pahala kepadanya
sebanyak seratus pahala orang yang berhaji dan berumrah.
Hai Fathimah, setiap istri yang tersenyum manis di muka suaminya,
maka Allah memperhatikannya dengan penuh rahmat.
Hai Fathimah, setiap istri yang menyediakan diri tidur bersama
suaminya dengan sepenuh hati, maka ada seruan yang ditujukan kepadanya dari
langit. ‘Hai wanita, menghadaplah dengan membawa amalmu. Sesungguhnya Allah
telah mengampuni dosa-dosamu yang berlalu dan yang akan datang.
Hai Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut suaminya,
demikian pula jenggotnya, memangkas kumis dan memotong kuku-kukunya, maka kelak
Allah akan memberi minum kepadanya dari rahiqim makhtum (tuak
jernih yang tersegel) dan dari sungai yang ada di surga. Bahkan kelak Allah
akan meringankan beban sakaratul maut.
Kelak ia akan menjumpai kuburnya bagaikan taman surga. Allah mencatatnya
terbebas dari neraka dan mudah melewati sirath (titian). 4
Mihrab Agung
Orang-orangTercinta
Lima orang anak yang dikaruniakan Allah Swt. Kepada Az-Zahra,
yaitu Hasan, Husain, Zainab,
Ummu Kultsum, dan
Muhsin --yang meninggal keguguran
ketika masih berupa janin dalam rahim sucinya. Ummu Kultsum kelak dinikahi oleh
Umar bin Khaththab karena keinginan Umar yang kuat untuk bersambung ikatan
darah dengan Rasulullah.
Fathimah Az-Zahra
mendidik sendiri dua
putra dan dua
putri yang diamanahkan Allah Swt.
kepadanya. Ia susui anak-anaknya dengan air susunya sendiri. Ia rawat
anak-anaknya dengan tangannya sendiri.
Ia
memilih untuk mendekap
anaknya sendiri, meskipun
kepayahan bekerja dan ada orang
yang mau menggantikan, karena ibulah yang bisa menyayangi anaknya,
bukan orang lain --termasuk baby-sitter. Padahal sekarang ibu-ibu
muda kadang memilih untuk bisa makan dengan tenang dan enak, sedangkan
menggendong anak biar dikerjakan oleh baby-sitter.
Mari kita dengarkan cerita dari Bilal, muadzin Rasulullah:
“Saya melewati Fathimah
yang sedang menggiling,”
kata Bilal,
“sementara
anaknya menangis.”
“Saya berkata kepadanya,” kata Bilal
melanjutkan. “Jika engkau mau, biar aku yang memegang gilingan dan engkau
memegang anak itu. Atau, aku yang memegang anak itu dan engkau memegang
gilingan.”
Ia berkata, “Aku lebih dapat
mengasihi anakku daripada engkau.” Sebagaimana istrinya, Sayyidina Ali juga
menolak orang membawakan makanan yang akan diberikan kepada anaknya (masyaAllah, betapa hati-hatinya beliau
menjaga kebarakahan). Shalih,
seorang pedagang pakaian pernah mendapat
cerita dari neneknya, “Saya melihat
Ali karamallahu wajhahu membeli kurma dengan harga satu dirham,
lalu beliau membawanya dibungkus selimut. Saya berkata kepadanya atau seseorang
berkata kepadanya, ‘Saya yang akan membawanya, wahai Amirul Mukminin.’ Beliau
berkata, ‘Jangan! Kepala keluarga lebih berhak membawanya.’”
Kisah ini disampaikan oleh Imam
Bukhari. Jabatan Imam Ali saat itu adalah khalifah, Amirul Mukminin. Pada masa
sekarang, jabatan itu lebih tinggi daripada presiden atau raja sebuah negara,
sebab kekuasaannya meliputi negeri-negeri
lain. Tetapi untuk
membawakan makanan anak,
Amirul Mukminin tidak mau menyerahkan kepada orang lain.
Jabir Al-Anshari
menceritakan bahwa Nabi melihat
Fathimah sedang menggiling dengan kedua
tangannya sambil menyusui
anaknya. Maka mengalirlah airmata
Rasulullah.
“Anakku,”
katanya, “engkau menyegerakan kepahitan dunia untuk kemanisan akhirat.”
Fathimah mengatakan, “Ya Rasulallah, segala
puji bagi Allah
atas nikmat-Nya, dan pernyataan syukur hanyalah untuk Allah atas
karunia-Nya.”
Lalu
Allah menurunkan ayat, “Dan
kelak Tuhanmu pasti
akan memberimu karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.”
Kepada anak-anak perempuannya, Fathimah
mengajarkan keberanian, pengorbanan, keteguhan, dan tidak takut kepada orang
lain sejauh ia berdiri di atas kebenaran. Sehingga kita mendapati, dalam
situasi yang penuh ketakutan dan leher sewaktu-waktu bisa terputus, Zainab
masih bisa menghadap Ibnu Ziyad dengan penuh ketegaran. Kesedihan yang teramat sangat
ketika hampir semua saudara, kemenakan,
sanak-kerabat, dan sahabat
menjadi mayat berserakan, tidak
membuatnya kehilangan keberanian dan ketegaran untuk mengatakan apa yang
seharusnya dikatakan. Mengatakan kebernaran.
Ketika Ibnu Ziyad menghina Zainab
dengan perkataan, “Puji Tuhan yang telah mem-permalukan dan menyingkap dusta
kalian. Puji Tuhan yang telah mengobati
rasa dendam dan
kesumatku kepada saudaramu.”;
Zainab menjawab dengan tegar,
tanpa rasa takut. “Puji
Tuhan yang telah menganugerahi kami keutamaan syahadah.
Puji Tuhan yang telah menetapkan kenabian pada keluarga kami. Kekalahan dan
kenistaan adalah milik kalian wahai orang-orang zalim dan fasik. Syahadah
adalah kebanggaan, bukan kenistaan. Orang-orang zalimlah yang
suka berbohong, bukan kami. Kami ahli hakikat. Semoga Tuhan mencabut nyawamu,
wahai anak marjanah!”
Ibnu
Ziyad dan orang-orang
yang hadir kaget
mendengar kata “marjanah”, wanita
lacur. Ibnu Ziyad
sangat tertampar dengan
kata itu, sehingga ia berkata,
“sudah begini kalian masih berani angkat suara.”
Ibnu Ziyad mengambil kesempatan
bicara dengan ‘Ali Ausath, kelak dikenal
dengan gelar ‘Ali Zainal ’Abidin. Dia pun memberi jawaban yang tak kalah
pedasnya dengan Zainab, padahal dia masih sangat kecil (bandingkan dengan anak TPG/TPA sekarang). Kemudian Ibnu Ziyad memanggil algojo,
tukang jagal manusia, untuk memotong kepala ‘Ali Zainal ’Abidin. Tiba-tiba
Zainab bangkit dan memeluk
‘Ali Zainal ’Abidin dengan
erat sambil mengatakan, “Demi Allah, lehernya tidak akan terpenggal
sebelum kalian penggal leherku terlebih dulu.”
Ibnu Ziyad memandang Zainab dengan
heran dan berkata, “Alangkah kuatnya
rahim mempererat mereka.”
Inilah Zainab, hasil didikan
madrasah suci bernama Fathimatuz Zahra. Semenjak kecil mereka dididik oleh ibu
yang sangat kuat kasih sayangnya. Dari Az-Zahra juga, mereka belajar
pengorbanan.
Mereka belajar banyak tentang
pengorbanan dari ibu mereka, Fathimah Az-Zahra,
dan ayah mereka, ‘Ali karamallahu wajhahu. Ada kisah pengorbanan mereka yang kemudian
menjadi sebab turunnya surat Al-Insaan (76) ayat 8-9.
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin,
anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu
hanyalah untuk mendapat ridha Allah. Kami tidak mengharapkan balasan dari kamu
dan tidak pula ucapan terima kasih.” (QS. Al-Insaan:8-9).
Ketika itu Hasan dan Husain sedang dalam
keadaan sakit. Rasulullah ditemani
oleh beberapa sahabat,
datang menjenguk mereka.
Rasulullah menyarankan kepada ‘Ali untuk mengucapkan janji (bernazar)
kepada mereka itu. Semua anggota keluarga, termasuk Fathimah, ‘Ali dan Fazzah,
pembantu mereka, mengucapkan janji kepada Allah untuk menjalankan puasa selama
tiga hari bila putra-putra ‘Ali sembuh dari sakit.
Ketika mereka sembuh, puasa pun
dimulai. Tetapi mereka tidak memiliki apa-apa untuk berbuka puasa. ‘Ali
kemudian meminjam tiga sha’ gandum dari seorang Yahudi di Khaibar bernama
Syam’un.
Fathimah memegang lima keping roti
dengan sepertiga bagian gandum itu dan meletakkan di atas meja makan saat
berbuka puasa. Pada saat hendak berbuka puasa, seorang pengemis mengetuk pintu
dan meminta makanan sambil berkata,
“Tolonglah aku, semoga Allah memberimu makan dengan makanan surga.”
Keluarga itu pun memberikan makanan mereka dan berbuka hanya dengan air.
Hari berikutnya mereka masih
berpuasa. Sekali lagi lima keping roti dipersiapkan. Kini,
seorang anak yatim
mengetuk pintu untuk
meminta makanan. Keluarga itu sekali lagi memberikan makanan mereka
kepada anak yatim itu. Pada hari ketiga datang tawanan menjelang saat berbuka.
Mereka melakukan hal yang sama.
Pada hari ketiga, ‘Ali membawa anak-anaknya ke rumah Rasulullah.
Melihat keadaan cucu-cucunya, beliau menjadi sedih dan berkata, “betapa susah bagiku melihat kalian dalam
keadaan yang sulit ini.”
Lalu beliau mengajak mereka kembali
ke rumah Fathimah. Ketika tiba di sana, Fathimah sedang berdo’a, sementara
kondisi tubuhnya sedang dalam keadaan lemah dan matanya begitu sayu.
Melihat ini, Rasulullah Saw. menjadi
bertambah sedih. Pada waktu itu, malaikat Jibril datang kepada beliau dan
mengatakan, “Terimalah hadiah dari Allah
ini. Allah mengirimkan
ucapan selamat bagimu
karena memiliki keluarga yang begitu
mulia.”
Lalu Jibril membacakan kepada
Rasulullah surat Al-Insaan (Hal Ata). Inilah Fathimah, ibu yang mendidik
anak-anaknya dengan kesabaran dan kelembutan luar biasa itu. Ia menanamkan ke
dada anak tauhid dan kesediaan untuk berdarah-darah.
Fathimah, kata
Soraya Maknun, mendidik
seorang anak perempuan seperti Zainab seorang wanita yang
terpelajar, bijaksana dan terhormat, yang kata-katanya dapat menenangkan
saudaranya yang tak berdosa pada saat-saat kritis di senja bulan Asyura’
(Muharram). Inilah wanita yang emosinya sangat matang.
Kisah Fathimah Az-Zahra akan lebih panjang lagi kalau
diteruskan. Dan makalah ini tidak cukup untuk menuliskan. Oleh karena itu, kita
sudahi dulu.
Sebagai penutup, saya sampaikan
kisah singkat. Hasan dan Husain, kata Abu Hurairah, bergulat. Lalu Rasulullah
Saw. berkata, “Ayo Hasan!”
Maka Fathimah mengatakan, “Wahai Rasulullah, engkau mengatakan ‘ayo
Hasan’, padahal dia lebih besar.”
Maka Rasulullah menjawab, “Aku
mengatakan ‘Ayo Hasan’ dan malaikat Jibril mengatakan ‘Ayo Husain.”
Sambil bermain-main
dengan Hasan, Fathimah
mengajarkan kepada anaknya dengan
mengatakan :
Jadilah seperti
ayahmu, wahai Hasan
Lepaskan tali
kendali yang membelenggu kebenaran Sembahlah Tuhan yang memiliki anugerah
Janganlah kau bantu orang yang memiliki dendam
Saya tidak tahu apakah kita bisa meneladani Fathimatuz Zahra,
sedangkan tingkatan kita masih seperti ini. Jauh sekali.
Tetapi saya
berharap pembicaraan ini
ada manfaatnya. Setidaknya mengajari kita rasa malu, untuk
tahu diri. Kalau kita sudah merasa berkorban dan berjasa, sebandingkah dengan
pengorbanan Az-Zahra dan keluarganya? Satu hal, tulisan ini adalah do’a.
Mudah-mudahan Allah mengaruniakan kepada kita keturunan yang penuh barakah dan Allah mengaruniakan kepada mereka barakah, sampai yaumil-qiyamah.
Semoga Allah mengaruniakan pada kita keluarga yang penuh barakah dan Allah melimpahkan barakah kepada
kita.
Mudah-mudahan kita
yang hadir saat
ini dikumpulkan bersama Rasulullah Muhammad Saw. di Al-Haudh.
Allahumma amin.
Allahu A’lam bishawab.*
Catatan Kaki:
1. Menurut pendapat Imam
Syafi’i, wanita wajib
mengenakan cadar. Sekarang
jangankan bercadar, ada yang berjubah panjang dan berjilbab menjulur saja
sering sudah dianggap berlebihan dan sok
alim. Saya sering sedih jika mendengar komentar bernada cemooh dari mereka yang
mengerti betul qaul-qaul fiqih dan
menganggap mereka eksklusif.
Sungguh, mereka adalah
saudara-saudara kita yang
belajar menjadi muslimah yang
baik.
2. Syaikh
‘Abdul Qadir Jailani
termasuk ulama sufi
yang terpercaya.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah
menulis, “Adapun para imam kaum Sufi serta
para syaikh terdahulu
yang terkenal seperti
Al-Junaid bin Muhammad beserta
pengikut-pengikutnya, juga seperti Abdul Qadir AlJailani dan orang-orang
semisalnya, maka mereka adalah termasuk orang yang paling memperhatikan
perintah dan larangan, termasuk orang yang paling sering mewasiatkan (kepada
murud-muridnya) untuk mengikuti yang demikian itu, dan paling sering
mengingatkan agar mereka jangan berjalan
bersama (memikir-mikirkan)
takdir, sebagaimana pengikut pengikut berikutnya berjalan
mengikuti mereka.”
Lebih lanjut
silakan periksa Qadha’ dan Qadar (Mantiq, Solo, 1996), bagian dari Majmu’atur Rasail Liibni Taimiyyah.
3. Imam Nawawi
Al-Bantani adalah syaikh Muhammad Ibnu Umar An
Nawawi, ulama asal Banten Jawa Barat yang
hidup di Arab pada masanya dan
banyak menulis kitab.
Bukan Imam
Nawawi penulis kitab Al-Adzkaar dan Syarah Shahih Muslim.
4
|
Saya tidak
menemukan catatan mengenai kedudukan hadis ini. Wallahu
|
‘Alam Bishawab.
|
5. Tulisan ini semula
merupakan makalah yang saya sampaikan pada acara Diskusi Psikologi
Anak di Pondok
Pesantren (putri) Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, 11 April 1997.
Kemudian diperbaiki untuk diskusi KMIS Fakultas Sastra UGM, 26 April 1997 dan
acara Studium General Training
Kemuslimahan yang diselenggarakan
oleh KSAI, 10 April
1998.
6. Persoalan yang
paling sulit yang
sering tidak bisa
dielakkan oleh orangtua adalah perasaan berjasa
terhadap keberhasilan anak, di samping rasa
bangga. Halimah, ibu yang melahirkan
Emha Ainun Najib, menasehatkan agar orangtua tidak
berani memiliki rasa
bangga jika anaknya mulai berhasil. Sebaliknya, perlu belajar
terus-menerus, terusmenerus. tingkat ini
saja --belum tingkatan
Fathimah Az-Zahra-- sudah penuh tanda tanya, bisakah kita meniru,
meskipun cuma sedikit?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar