Senin, 27 Februari 2012

BAB 21 Tuhan, Dimanakah Fathimatuz Zahra Sekarang?


Dunia  masih  mengenangnya.  Airmata  masih  ada  yang  mengalir ketika   mengingat   kebesarannya. Ada   rasa   malu   kalau membandingkan dengan keadaan kita sekarang. Ada rasa haru kalau melihat kembali perjuangan-perjuangannya; bagaimana ia dengan penuh kasih-sayang mengusap darah suaminya seusai perang dan merawatnya penuh perhatian; bagaimana ia mengambil air sendiri dengan berjalan jauh sampai membekas di dadanya; dan bagaimana ia menginap di rumah Rasulullah sementara  ‘Ali menggantikan tempat tidur Nabi saat orang kafir Quraisy mengepung. Malam itu, Rasulullah meninggalkan Makkah dan bersembunyi di gua Tsaur. Sementara orang kafir mengancam nyawanya.

            Fathimah sangat besar perjuangannya. Dia adalah putri dari seorang yang suci. Dia sendiri suci. Dari rahimnya yang suci, kita pernah mendengar nama Al-Hasan dan Al-Husain yang ikut bersama kakeknya ketika akan melakukan mubahalah (perang doa) dengan pendeta Bani Najran. Ia juga melahirkan Zainab   yang kelak harus meninggalkan Mesir. Dari keturunan Zainab inilah kelak  Imam  Syafi’I  mendapat  tempat  dan  perlindungan.  Juga  membuka pesantrennya.

            Hari ini adalah hari Jum’at. Bulannya Dzulhijjah. Tahun 1417 hijriyah. Bulan haji. Bulan ketika orang memotong leher kambing dan sapi, tepat pada tanggal  10. Sama seperti tahun itu, ketika orang-orang Kufah memintanya menjadi khalifah dan mereka siap berbai’at kepadanya. Tanggal 10 Dzulhijjah tahun itu, kaum muslimin juga menyembelih leher kambing kibasy.

            Tetapi sebulan berikutnya, dunia tidak akan pernah melupakan. Jika pada tanggal 10 Dzulhijjah orang-orang Islam bergembira ketika memotong leher kambing dan onta, hari itu hati yang bersih menjerit menangis ketika penguasa yang zalim memotong leher orang yang paling dicintai Rasulullah Saw.. Jika dulu Fathimah Az-Zahra membukakan pintu kepada Rasulullah ketika akan menemui Al-Husain, hari itu para wanita segera menutup wajahnya dengan niqab untuk menyembunyikan keperihan hatinya ketika melihat kepala AlHusain diarak. Jika dulu Rasulullah sering mendekap dan menciumnya, hari itu wajah yang sering didoakan Rasulullah itu dihinakan. Bahkan ketika sudah menjadi mayat, giginya masih diantuk-antuk dengan ujung pedang. Padahal, jenazah orang kafir saja kita disuruh menghormati.

            Akan tetapi Al-Husain justru  harum dengan darahnya. Sama seperti airmata  Zainab  yang  menyelamatkan ‘Ali  Ausath,  satu-satunya  putra  AlHusain yang masih tersisa dari pembantian. Airmata itu sampai sekarang tetap mengalir di dada kaum muslimin yang tahu hak mereka, bercampur dengan darah Al-Husain yang harum.

            Pelajaran kadang memang harus pahit. Namun peristiwa di tanah duka (Karbala) itu rasanya terlalu pahit. Hanya Al-Husain yang sanggup memikul kemuliaan itu. Kita yang mencintai leher kita, apalagi kita masih mencintai sapu  tangan  dan  keramik  unik,  tidak  cukup  layak  untuk  mendapatkan kehormatan.  Alangkah  tingginya  Al-Husain  dan  keturunannya.  Alangkah jauhnya kita darinya. Lantas, apakah masih ada alasan untuk bersombong di hadapan kemuliannya?

            Kita memang terlalu jauh dari derajat Al-Husain. Bahkan untuk layak disebut sebagai golongan yang mencintainya saja, entah layak entah tidak. Sekadar meniru An-Nasa’I saja, saya belum yakin kita mempunyai cukup keberanian  dan  ketegaran.  Sekarang,  tangan  kita  lecet  sedikit  saja  sudah membuat wajah kita muram dan mulut meringis. Padahal An-Nasa’i merelakan nyawanya demi kecintaannya. Sama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal yang bersedia dipukuli penguasa. Sama seperti Imam Syafi’i yang konon adalah imam kaum  muslim  Indonesia,  sebab  mayoritas  umat  Islam  Indonesia bermadzab  Syafi’iyah  meskipun  kadang  masih  mencela  orang  yang melaksanakan qaul  (pendapat hasil ijtihad) Imam Syafi’i.1 Dan kita tahu,
mereka semua adalah ulama-ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah

            Ah, sudahlah.  Dengan rasa  malu atau  tidak  sama  sekali,  kita  harus mengakui betapa jauhnya kita dari orang-orang terdahulu. Sangat jauh.

            Meskipun demikian, masih ada yang dapat kita ambil. Kita dapat melihat kembali  sebagian  kecil  teladan  Fathimatuz  Zahra  sehingga  mempunyai


keturunan  yang  mulia  sampai  generasi-generasi  yang  jauh  sesudahnya, termasuk Syaih ‘Abdul Qadir Al-Jailani2 maupun Sayyid ‘Abdullah Haddad.

            Keteladanan  Fathimatuz  Zahra  mencakup  kedekatan  kepada  Allah, kuatnya  dalam  menegakkan  shalat  malam,  khusyuknya  dalam  berzikir, kesetiaannya yang sangat luar biasa kepada suami, serta kuatnya kecintaan dan perhatian  kepada  anak-anaknya.  Hari  ini,  insya-Allah  kita  akan  mencoba melihat bagaimana Fathimah Az-Zahra mendidik dan membesarkan putraputrinya.  Sedangkan keteladanan lain,  silakan  periksa  sendiri.  Tentu  saja, membicarakan Fathimah Az-Zahra radhiyallahu ‘anha tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai suaminya ‘Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhahu dan ayahnya Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
--
Kepada anak-anak perempuannya, Fathimah mengajarkan keberanian, pengorbanan, keteguhan, dan tidak takut kepada orang lain.
--

            Imam  Nawawi  al-Bantani (Al-Jawi)  pernah  menuliskan  keagungan Fathimah Az-Zahra ketika berbicara masalah hak dan kewajiban suami-istri. Berikut ini saya kutip dari Uqudul Lujain karya Imam Nawawi Al-Bantani. 3

                Suatu hari Rasulullah Saw. Menjenguk Az-Zahra. Ketika itu ia sedang membuat tepung dengan alat penggiling sambil menangis.
            “Kenapa  menangis,  Fathimah?”  Tanya  Rasulullah, “Mudah-mudahan Allah tidak membuatmu menangis lagi.”

            “Ayah,”  Fathimah  menjawab, “aku  menangis  hanya  karena  batu penggiling ini, dan lagi aku hanya menangisi kesibukanku yang silih berganti.”

            Rasulullah  kemudian  mengambil tempat duduk di sisinya,  kata  Abu Hurairah. Fathimah berkata, “Ayah, demi kemuliaanmu, mintakan kepada ‘Ali supaya membelikan seorang budak untuk membantu pekerjaan-pekerjaanku membuat tepung dan menyelesaikan pekerjaan rumah.”

            Setelah mendengar perkataan putrinya, Rasulullah bangkit dari tempat duduknya  dan  berjalan  menuju  tempat  penggilingan.  Beliau  memungut segenggam biji-bijian gandum dimasukkan ke penggilingan. Dengan membaca bismillahir  rahmanir rahim maka berputarlah alat penggiling itu atas ijin Allah. Beliau terus memasukkan biji-bijian itu sementara alat penggiling terus berputar sendiri, sambil memuji Allah dengan bahasa yang tidak dipahami manusia. Ini terus berjalan sampai biji-bijian itu habis.

                Rasulullah Saw. berkata kepada alat penggiling itu, “Berhentilah atas ijin Allah. Seketika alat pengiling pun berhenti.   Beliau berkata sambil mengutip ayat  Al-Qur’an,  Hai  orang-orang  yang  beriman,  peliharalah  dirimu  dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya, dan mereka selalu mengerjakan segala yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).

            Merasa takut jika menjadi batu yang kelak masuk neraka, tiba-tiba batu itu bisa berbicara atas ijin Allah. Ia berbicara dengan bahasa Arab yang fasih. Batu itu berkata, “Ya, Rasulallah. Demi Dzat yang Mengutusmu dengan hak menjadi Nabi dan Rasul, seandainya engkau perintahkan aku untuk menggiling biji-bijian yang ada di seluruh jagat Timur dan Barat, pastilah akan kugiling semuanya.”

            Dan aku mendengar pula, kata Abu Hurairah yang meriwayatkan kisah ini,   nahwa   Nabi   Saw.  bersabda, “Hai  Batu,  bergembiralah  kamu. sesungguhnya  kamu  termasuk  batu  yang  kelak  dipergunakan  untuk membangun gedung Fathimah di surga.”

            Seketika itu, batu penggiling itu bergembira dan berhenti. Nabi Saw. bersabda kepada putrinya, Fathimah Az-Zahra, “Kalau Allah
berkehendak, hai Fathimah, pasti batu penggiling itu akan berputar sendiri untukmu. Tetapi Allah berkehendak mencatat kebaikan-kebaikan untuk dirimu dan menghapus keburukan-keburukanmu, serta mengangkat derajatmu.

            Hai Fathimah, setiap istri yang membuatkan tepung untuk suami dan anak-anaknya, maka Allah mencatat baginya memperoleh kebajikan dari setiap butir  biji  yang  tergiling,  dan  menghapus  keburukannya, serta  mengangkat derajatnya.

            Hai Fathimah, setiap istri yang berkeringat di sisi alat penggilingnya karena membuatkan bahan makanan untuk suaminya, maka Allah menjauhkan antara dirinya dan neraka sejauh tujuh hasta.

            Hai Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisirkan rambut dan mencucikan baju mereka, maka Allah mencatatkan untuknya memperoleh pahala seperti pahala orang yang memberi makan seribu orang yang sedang kelaparan dan seperti orang yang memberi pakaian seribu orang yang telanjang.

            Hai Fathimah, setiap istri yang mencegah kebutuhan tetangganya, maka Allah kelak akan mencegahnya (tidak memberi kesempatan baginya) untuk minum dari telaga Kautsar pada hari kiamat.

            Hai Fathimah, tetapi yang lebih utama dari semua itu adalah keridhaan suami terhadap istrinya. Sekiranya suamimu tidak meridhaimu, tentu aku tidak akan mendoakan dirimu.

                Bukankah engkau mengerti, Hai Fathimah, bahwa ridha suami itu bagian dari ridha Allah, dan kebencian suami merupakan bagian dari kebencian Allah.

            Hai Fathimah, manakala seorang istri mengandung, maka para malaikat memohon ampun untuknya, setiap hari dirinya dicatat memperoleh seribu kebajikan, dan seribu keburukannya dihapus. Apabila telah mencapai rasa sakit (menjelang  melahirkan)  maka  Allah  mencatatkan  untuknya  memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Apabila telah melahirkan, dirinya terbebas dari dosa seperti keadaannya setelah dilahirkan ibunya.

            Hai Fathimah, setiap istri yang melayani suaminya dengan niat yang benar,  maka dirinya terbebas  dari  dosa-dosanya  seperti  pada  hari  dirinya dilahirkan  ibunya.  Ia  tidak  keluar  dari  dunia (yakni  mati)  kecuali  tanpa membawa dosa. Ia menjumpai kuburnya sebagai pertamanan surga. Allah memberinya pahala seperti seribu orang yang berhaji dan berumrah, dan seribu malaikat memohonkan ampunan untuknya hingga hari kiamat.

            Setiap istri  yang  melayani suaminya sepanjang hari dan malam hari disertai  hati  yang  baik,  ikhlas,  dan  niat  yang  benar,  maka  Allah  akan mengampuni  dosanya.  Pada  hari  kiamat  kelak  dirinya  diberi  pakaian berwarna hijau, dan dicatatkan untuknya pada setiap rambut yang ada di tubuhnya dengan seribu kebajikan, dan Allah memberi pahala kepadanya sebanyak seratus pahala orang yang berhaji dan berumrah.

            Hai Fathimah, setiap istri yang tersenyum manis di muka suaminya, maka Allah memperhatikannya dengan penuh rahmat.

            Hai Fathimah, setiap istri yang menyediakan diri tidur bersama suaminya dengan sepenuh hati, maka ada seruan yang ditujukan kepadanya dari langit. ‘Hai wanita, menghadaplah dengan membawa amalmu. Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang berlalu dan yang akan datang.

            Hai Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut suaminya, demikian pula jenggotnya, memangkas kumis dan memotong kuku-kukunya, maka kelak Allah akan memberi minum kepadanya dari rahiqim makhtum (tuak jernih yang tersegel) dan dari sungai yang ada di surga. Bahkan kelak Allah akan meringankan    beban sakaratul maut. Kelak ia akan menjumpai kuburnya bagaikan taman surga. Allah mencatatnya terbebas dari neraka dan mudah melewati sirath (titian). 4


Mihrab Agung Orang-orangTercinta

            Lima orang anak yang dikaruniakan Allah Swt. Kepada Az-Zahra, yaitu Hasan,  Husain,  Zainab,  Ummu  Kultsum,  dan  Muhsin --yang  meninggal keguguran ketika masih berupa janin dalam rahim sucinya. Ummu Kultsum kelak dinikahi oleh Umar bin Khaththab karena keinginan Umar yang kuat untuk bersambung ikatan darah dengan Rasulullah.

            Fathimah  Az-Zahra  mendidik  sendiri  dua  putra  dan  dua  putri  yang diamanahkan Allah Swt. kepadanya. Ia susui anak-anaknya dengan air susunya sendiri. Ia rawat anak-anaknya dengan tangannya sendiri.

            Ia  memilih  untuk  mendekap  anaknya  sendiri,  meskipun  kepayahan bekerja  dan ada orang yang mau menggantikan, karena ibulah yang bisa menyayangi  anaknya,  bukan  orang  lain --termasuk  baby-sitter.  Padahal sekarang ibu-ibu muda kadang memilih untuk bisa makan dengan tenang dan enak, sedangkan menggendong anak biar dikerjakan oleh baby-sitter.

            Mari kita dengarkan cerita dari Bilal, muadzin Rasulullah: “Saya  melewati  Fathimah  yang  sedang  menggiling,”  kata  Bilal,
“sementara anaknya menangis.”

            “Saya berkata kepadanya,” kata Bilal melanjutkan. “Jika engkau mau, biar aku yang memegang gilingan dan engkau memegang anak itu. Atau, aku yang memegang anak itu dan engkau memegang gilingan.”

            Ia berkata, “Aku lebih dapat mengasihi anakku daripada engkau.” Sebagaimana istrinya, Sayyidina Ali juga menolak orang membawakan makanan yang akan diberikan kepada anaknya  (masyaAllah, betapa hati-hatinya  beliau  menjaga  kebarakahan).  Shalih,  seorang  pedagang  pakaian pernah  mendapat  cerita  dari  neneknya, “Saya  melihat  Ali  karamallahu wajhahu membeli kurma dengan harga satu dirham, lalu beliau membawanya dibungkus selimut. Saya berkata kepadanya atau seseorang berkata kepadanya, ‘Saya yang akan membawanya, wahai Amirul Mukminin.’ Beliau berkata, ‘Jangan! Kepala keluarga lebih berhak membawanya.’”

            Kisah ini disampaikan oleh Imam Bukhari. Jabatan Imam Ali saat itu adalah khalifah, Amirul Mukminin. Pada masa sekarang, jabatan itu lebih tinggi daripada presiden atau raja sebuah negara, sebab kekuasaannya meliputi negeri-negeri  lain.  Tetapi  untuk  membawakan  makanan  anak,  Amirul Mukminin tidak mau menyerahkan kepada orang lain.

            Jabir  Al-Anshari  menceritakan  bahwa Nabi melihat Fathimah sedang menggiling  dengan  kedua  tangannya  sambil  menyusui  anaknya.  Maka mengalirlah airmata Rasulullah.

“Anakku,” katanya, “engkau menyegerakan kepahitan dunia untuk kemanisan akhirat.”

            Fathimah  mengatakan, “Ya Rasulallah,  segala  puji  bagi  Allah  atas nikmat-Nya, dan pernyataan syukur hanyalah untuk Allah atas karunia-Nya.”
            Lalu  Allah  menurunkan  ayat, “Dan  kelak  Tuhanmu  pasti  akan memberimu karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.”

                Kepada anak-anak perempuannya, Fathimah mengajarkan keberanian, pengorbanan, keteguhan, dan tidak takut kepada orang lain sejauh ia berdiri di atas kebenaran. Sehingga kita mendapati, dalam situasi yang penuh ketakutan dan leher sewaktu-waktu bisa terputus, Zainab masih bisa menghadap Ibnu Ziyad dengan penuh ketegaran. Kesedihan yang teramat sangat ketika hampir semua  saudara,  kemenakan,  sanak-kerabat,  dan  sahabat  menjadi  mayat berserakan, tidak membuatnya kehilangan keberanian dan ketegaran untuk mengatakan apa yang seharusnya dikatakan. Mengatakan kebernaran.

            Ketika Ibnu Ziyad menghina Zainab dengan perkataan, “Puji Tuhan yang telah mem-permalukan dan menyingkap dusta kalian. Puji Tuhan yang telah mengobati  rasa  dendam  dan  kesumatku  kepada  saudaramu.”;  Zainab menjawab  dengan  tegar,  tanpa  rasa  takut. “Puji  Tuhan  yang  telah menganugerahi kami keutamaan syahadah. Puji Tuhan yang telah menetapkan kenabian pada keluarga kami. Kekalahan dan kenistaan adalah milik kalian wahai orang-orang zalim dan fasik.  Syahadah  adalah  kebanggaan,  bukan kenistaan. Orang-orang zalimlah yang suka berbohong, bukan kami. Kami ahli hakikat. Semoga Tuhan mencabut nyawamu, wahai anak marjanah!”

            Ibnu  Ziyad  dan  orang-orang  yang  hadir  kaget  mendengar  kata “marjanah”,  wanita  lacur.  Ibnu  Ziyad  sangat  tertampar  dengan  kata  itu, sehingga ia berkata, “sudah begini kalian masih berani angkat suara.”

            Ibnu Ziyad mengambil kesempatan bicara dengan  ‘Ali Ausath, kelak dikenal dengan gelar ‘Ali Zainal ’Abidin. Dia pun memberi jawaban yang tak kalah pedasnya dengan Zainab, padahal dia masih sangat kecil (bandingkan dengan anak TPG/TPA sekarang). Kemudian Ibnu Ziyad memanggil algojo, tukang jagal manusia, untuk memotong kepala ‘Ali Zainal ’Abidin. Tiba-tiba Zainab  bangkit  dan  memeluk ‘Ali  Zainal ’Abidin  dengan  erat  sambil mengatakan,  “Demi Allah, lehernya tidak akan terpenggal sebelum kalian penggal leherku terlebih dulu.”

            Ibnu Ziyad memandang Zainab dengan heran dan berkata,  “Alangkah kuatnya rahim mempererat mereka.”

            Inilah Zainab, hasil didikan madrasah suci bernama Fathimatuz Zahra. Semenjak kecil mereka dididik oleh ibu yang sangat kuat kasih sayangnya. Dari Az-Zahra juga, mereka belajar pengorbanan.

            Mereka belajar banyak tentang pengorbanan dari ibu mereka, Fathimah Az-Zahra,  dan  ayah  mereka, ‘Ali  karamallahu  wajhahu.  Ada  kisah pengorbanan mereka yang kemudian menjadi sebab turunnya surat Al-Insaan (76) ayat 8-9.

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mendapat ridha Allah. Kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.” (QS. Al-Insaan:8-9).


                Ketika itu Hasan dan Husain sedang dalam keadaan sakit. Rasulullah ditemani  oleh  beberapa  sahabat,  datang  menjenguk  mereka.  Rasulullah menyarankan kepada ‘Ali untuk mengucapkan janji (bernazar) kepada mereka itu. Semua anggota keluarga, termasuk Fathimah, ‘Ali dan Fazzah, pembantu mereka, mengucapkan janji kepada Allah untuk menjalankan puasa selama tiga hari bila putra-putra ‘Ali sembuh dari sakit.

            Ketika mereka sembuh, puasa pun dimulai. Tetapi mereka tidak memiliki apa-apa untuk berbuka puasa. ‘Ali kemudian meminjam tiga sha’ gandum dari seorang Yahudi di Khaibar bernama Syam’un.

            Fathimah memegang lima keping roti dengan sepertiga bagian gandum itu dan meletakkan di atas meja makan saat berbuka puasa. Pada saat hendak berbuka puasa, seorang pengemis mengetuk pintu dan meminta makanan sambil berkata,  “Tolonglah aku, semoga Allah memberimu makan dengan makanan surga.” Keluarga itu pun memberikan makanan mereka dan berbuka hanya dengan air.

            Hari berikutnya mereka masih berpuasa. Sekali lagi lima keping roti dipersiapkan.  Kini,  seorang  anak  yatim  mengetuk  pintu  untuk  meminta makanan. Keluarga itu sekali lagi memberikan makanan mereka kepada anak yatim itu. Pada hari ketiga datang tawanan menjelang saat berbuka. Mereka melakukan hal yang sama.

            Pada hari ketiga, ‘Ali  membawa anak-anaknya ke rumah Rasulullah. Melihat keadaan cucu-cucunya, beliau menjadi sedih dan berkata,  “betapa susah bagiku melihat kalian dalam keadaan yang sulit ini.”

            Lalu beliau mengajak mereka kembali ke rumah Fathimah. Ketika tiba di sana, Fathimah sedang berdo’a, sementara kondisi tubuhnya sedang dalam keadaan lemah dan matanya begitu sayu.

            Melihat ini, Rasulullah Saw. menjadi bertambah sedih. Pada waktu itu, malaikat Jibril datang kepada beliau dan mengatakan, “Terimalah hadiah dari Allah  ini.  Allah  mengirimkan  ucapan  selamat  bagimu  karena  memiliki keluarga yang begitu mulia.”

            Lalu Jibril membacakan kepada Rasulullah surat Al-Insaan (Hal Ata). Inilah Fathimah, ibu yang mendidik anak-anaknya dengan kesabaran dan kelembutan luar biasa itu. Ia menanamkan ke dada anak tauhid dan kesediaan untuk berdarah-darah.

            Fathimah,  kata  Soraya  Maknun,  mendidik  seorang  anak  perempuan seperti Zainab seorang wanita yang terpelajar, bijaksana dan terhormat, yang kata-katanya dapat menenangkan saudaranya yang tak berdosa pada saat-saat kritis di senja bulan Asyura’ (Muharram). Inilah wanita yang emosinya sangat matang.


Kisah Fathimah Az-Zahra akan lebih panjang lagi kalau diteruskan. Dan makalah ini tidak cukup untuk menuliskan. Oleh karena itu, kita sudahi dulu.

Sebagai penutup, saya sampaikan kisah singkat. Hasan dan Husain, kata Abu Hurairah, bergulat. Lalu Rasulullah Saw. berkata, “Ayo Hasan!”

Maka Fathimah mengatakan,  “Wahai Rasulullah, engkau mengatakan ‘ayo Hasan’, padahal dia lebih besar.”

Maka Rasulullah menjawab, “Aku mengatakan ‘Ayo Hasan’ dan malaikat Jibril mengatakan ‘Ayo Husain.”

Sambil  bermain-main  dengan  Hasan,  Fathimah  mengajarkan  kepada anaknya dengan mengatakan :

Jadilah seperti ayahmu, wahai Hasan

Lepaskan tali kendali yang membelenggu kebenaran Sembahlah Tuhan yang memiliki anugerah Janganlah kau bantu orang yang memiliki dendam

Saya tidak tahu apakah kita bisa meneladani Fathimatuz Zahra, sedangkan tingkatan kita masih seperti ini. Jauh sekali.

Tetapi  saya  berharap  pembicaraan  ini  ada  manfaatnya.  Setidaknya mengajari kita rasa malu, untuk tahu diri. Kalau kita sudah merasa berkorban dan berjasa, sebandingkah dengan pengorbanan Az-Zahra dan keluarganya? Satu hal, tulisan ini adalah do’a. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan kepada kita keturunan yang penuh barakah dan Allah mengaruniakan kepada mereka barakah, sampai yaumil-qiyamah. Semoga Allah mengaruniakan pada kita keluarga yang penuh barakah dan Allah melimpahkan barakah kepada
kita.

Mudah-mudahan  kita  yang  hadir  saat  ini  dikumpulkan  bersama Rasulullah Muhammad Saw. di Al-Haudh. Allahumma amin.
Allahu A’lam bishawab.*

Catatan Kaki:

1. Menurut  pendapat  Imam  Syafi’i,  wanita  wajib  mengenakan  cadar. Sekarang jangankan bercadar, ada yang berjubah panjang dan berjilbab menjulur saja sering  sudah dianggap berlebihan dan sok alim. Saya sering sedih jika mendengar komentar bernada cemooh dari mereka yang mengerti  betul  qaul-qaul  fiqih  dan  menganggap  mereka  eksklusif.
Sungguh,  mereka adalah  saudara-saudara  kita  yang  belajar  menjadi muslimah yang baik.

2. Syaikh ‘Abdul  Qadir  Jailani  termasuk  ulama  sufi  yang  terpercaya.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah menulis, “Adapun para imam kaum Sufi serta  para  syaikh  terdahulu  yang  terkenal  seperti  Al-Junaid  bin Muhammad beserta pengikut-pengikutnya, juga seperti Abdul Qadir AlJailani dan orang-orang semisalnya, maka mereka adalah termasuk orang yang paling memperhatikan perintah dan larangan, termasuk orang yang paling sering mewasiatkan (kepada murud-muridnya) untuk mengikuti yang demikian itu, dan paling sering mengingatkan agar mereka jangan berjalan  bersama (memikir-mikirkan)  takdir,  sebagaimana  pengikut pengikut berikutnya berjalan mengikuti mereka.”

Lebih lanjut silakan periksa Qadha’ dan Qadar (Mantiq, Solo, 1996), bagian dari Majmu’atur Rasail Liibni Taimiyyah.

3. Imam Nawawi Al-Bantani adalah syaikh Muhammad Ibnu Umar An
Nawawi, ulama asal  Banten Jawa Barat  yang  hidup di Arab  pada masanya dan banyak menulis kitab.
Bukan Imam Nawawi penulis kitab Al-Adzkaar dan Syarah Shahih Muslim.

4
Saya tidak menemukan catatan mengenai kedudukan hadis ini. Wallahu
‘Alam Bishawab.



5. Tulisan ini semula merupakan makalah yang saya sampaikan pada acara Diskusi  Psikologi  Anak  di  Pondok  Pesantren (putri)  Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, 11 April 1997. Kemudian diperbaiki untuk diskusi KMIS Fakultas Sastra UGM, 26 April 1997 dan acara Studium General Training  Kemuslimahan yang diselenggarakan  oleh  KSAI, 10 April
            1998.

6. Persoalan  yang  paling  sulit  yang  sering  tidak  bisa  dielakkan  oleh orangtua adalah perasaan berjasa terhadap keberhasilan anak, di samping rasa  bangga.  Halimah,  ibu  yang  melahirkan  Emha  Ainun  Najib, menasehatkan agar orangtua tidak berani  memiliki  rasa  bangga jika anaknya mulai berhasil. Sebaliknya, perlu belajar terus-menerus, terusmenerus. tingkat  ini  saja --belum tingkatan  Fathimah  Az-Zahra--  sudah penuh tanda tanya, bisakah kita meniru, meskipun cuma sedikit?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar