Diwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah saw. bersabda, “Tinggalkanlah
sesuatu yang tidak aku anjurkan kepada kamu. Karena sesungguhnya
kebinasaan umat terdahulu ialah karena mereka banyak bertanya dan
selalu menyelisihi Nabi mereka. Jadi, apabila aku perintahkan sesuatu
kepada kamu, maka lakukanlah semampu kamu. Dan apabila aku melarang
kamu dari sesuatu, maka ditinggalkanlah!” (HR Bukhari [7288] dan Muslim [1337]).
Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu’bah r.a., dari Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya, Allah telah mengharamkan atas kalian durhaka terhadap ibu bapak, [1] mengubur hidup-hidup (membunuh) anak perempuan, [2] menahan harta sendiri dan terus meminta kepada orang lain.[3] Dan Allah membenci atas kamu tiga perkara; Qiila wa qaala[4], banyak bertanya [5], dan membuang-buang harta,[6] ” (HR Bukhari [1477] dan Muslim [1715]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, ‘Sesungguhnya,
Allah meridhai tiga perkara atas kalian dan membenci tiga perkara.
Allah ridha kalian hanya menyembah-Nya semata dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain, berpegang dengan tali Allah
dan tidak bercerai-berai.[7] Dan ia membenci qiila wa qaala, banyak
bertanya dan membuang-buang harta’.” (HR Muslim [1715]).
Kandungan Bab:
Al-Hafizh Ibnu Rajah al-Hanbali berkata dalam kitab Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (Halaman 138-140 al-Muntaqa),
“Hadits-hadits ini berisi larangan bertanya masalah-masalah yang tidak
diperlukan dan jawabannya dapat merugikan si penanya sendiri. Misalnya
pertanyaan, Apakah ia berada dalam Neraka ataukah dalam Surga? Apakah
yang dinisbatkan kepadanya itu benar ayahnya ataukah orang lain? Dan
juga larangan bertanya untuk menentang, bercanda atau memperolok-olok,
seperti yang sering dilakukan oleh kaum munafikin dan lainnya. Mirip
dengannya adalah mempertanyakan ayat-ayat Al-Qur’an dan memprotesnya
untuk menentangnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum musyrikin dan
Ahli Kitab. ‘Ikrimah dan ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa ayat di
atas turun berkenaan dengan masalah ini. Dan hampir mirip dengannya
adalah bertanya tentang perkara-perkara yang Allah sembunyikan atas
makhluk-Nya dan tidak memperlihatkannya kepada mereka. Seperti bertanya
tentang bila terjadi hari Kiamat dan tentang ruh.”
Hadits tersebut juga berisi larangan banyak bertanya tentang
sejumlah besar masalah halal dan haram yang dikhawatirkan pertanyaan
tersebut menjadi sebab turunnya perkara yang lebih berat lagi. Misalnya
bertanya tentang sejumlah besar perkara halal dan haram yang bisa
menjadi turunnya perkara yang lebih berat dari sebelumnya. Misalnya
bertanya tentang kewajiban haji, apakah wajib dikerjakan setiap tahun
ataukah tidak?
Dalam kitab ash-Shahiih diriwayatkan dari Sa’ad r.a., dari Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya,
kejahatan yang paling besar yang dilakukan oleh seorang Muslim terhadap
kaum Muslimin adalah yang bertanya tentang suatu perkara yang belum
diharamkan, lalu menjadi haram karena pertanyaannya itu,” (HR Bukhari [7289] dan Muslim [2358]).
Rasulullah saw. tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan kecuali yang
berasal dari kaum Arab Badui dan para utusan yang datang menemui
beliau. Beliau ingin mengambil hati mereka. Adapun kaum Muhajirin dan
Anshar yang bermukim di Madinah yang telah kokoh keimanannya dalam
hati, mereka dilarang banyak bertanya. Sebagaimana disebutkan dalam Shahiih Muslim
dari an-Nawaas bin Sam’an, ia berkata: “Aku tinggal bersama Rasulullah
saw. di Madinah, tidaklah ada yang menghalangiku hijrah ke Madinah
kecuali karena takut akan banyak bertanya. Karena itu ketika kami telah
berhijrah, maka kami tidak banyak bertanya kepada beliau.” (HR Muslim
[2553]).
Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Kami
dilarang bertanya tentang sesuatu kepada Rasulullah saw. Sungguh kami
amat suka bila ada seorang lelaki yang cerdas dari kalangan Arab Badui
datang dan bertanya kepada beliau lalu kami mendengarnya.” (HR Muslim
[12]).
Para Sahabat Nabi kadang kala bertanya kepada Nabi tentang
hukum beberapa masalah yang belum terjadi. Namun untuk diamalkan
nantinya apabila benar-benar terjadi. Sebagaimana halnya mereka pernah
bertanya, “Kami akan menghadapi musuh esok hari, kami tidak membawa
pisau, lalu bolehkah kamu menggunakan ruas kayu yang tajam?” (HR
Bukhari [2488] dan Muslim [1968]).
Mereka juga bertanya tentang umaraa’yang telah beliau sebutkan
akan muncul sepeninggal beliau, tentang mentaati mereka dan hukum
memerangi mereka. Hudzaifah r.a. bertanya kepada beliau tentang
fitnah-fitnah akhir zaman dan apa yang harus ia lakukan.
Semua itu menunjukan makruh dan tercelanya banyak bertanya.
Namun sebagian orang beranggapan bahwa larangan itu khusus bagi
orang-orang yang hidup zaman Nabi saw. karena dikhawatirkan akan
diharamkan perkara yang belum diharamkan atau diwajibkan perkara yang
sulit dikerjakan. Namun setelah Rasulullah saw wafat kekhawatiran itu
telah sirna. Namun perlu diketahui bahwa bukan itu saja sebab larangan
banyak bertanya. Ada sebab lainnya, yaitu menunggu turunnya ayat-ayat
Al-Qur’an, karena tidak satupun perkara yang ditanyakan melainkan telah
didapati penjelasannya dalam Al-Qur'an.
Maknanya, seluruh perkara yang dibutuhkan kaum Muslimin yang
berkaitan dengan agama mereka pasti telah dijelaskan oleh Allah dalam
Kitab-Nya dan pasti telah disampaikan oleh Rasulullah saw. Oleh karena
itu tidak ada keperluan bagi seseorang untuk menanyakannya lagi. Sebab
Allah Mahatahu apa yang menjadi kemaslahatan bagi hamba-Nya, Mahatahu
apa yang menjadi hidayah dan manfaat bagi mereka. Allah pasti telah
menjelasakannya kepada mereka sebelum mereka menanyakannya. Sebagaimana
yang Allah swt katakan dalam firman-Nya, “Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat,” (An-Nisaa’: 176).
Maka dari itu, tidak perlu lagi menanyakan, apalagi menanyakannya
sebelum terjadi dan sebelum dibutuhkan. Namun kebutuhan yang penting
sekarang ini adalah memahami apa yang telah dikabarkan oleh Allah dan
Rasul-Nya kemudian mengikuti dan mengamalkannya.
--------------------------------------
[1] Durhaka terhadap orang tua haram hukumnya, bahkan termasuk
salah satu dosa besar menurut kesepakatan para ulama. Rasulullah saw
hanya menyebutkan ibu di sini karena hak dan kehormatannya lebih besar
daripada bapak. Menyambung tali silaturrahim dengannya tentu lebih
utama.
[2] Yakni, mengubur mereka hidup-hidup, ini merupakan adat tradisi kaum Jahiliyyah.
[3] Man’un wa haatun artinya, tidak menunaikan kewajiban dan terus meminta apa yang bukan haknya.
[4] Yakni, menceritakan seluruh perkara yang didengarnya yang
tidak ia ketahui kebenarannya dan juga tidak menurut dugaan kuatnya.
Cukuplah seorang disebut berdosa dan berdusta apabila ia menyampaikan
seluruh perkatan yang didengarnya.
[5] Yakni, banyak bertanya dan menanyakan perkara-perkara yang belum terjadi dan tidak ada keperluannya.
[6] Yakni, bersikap mubazir dan membelanjakan harta untuk
hal-hal yang tidak disyari’atkan yang dapat membawa keuntungan
(manfaat) dunia dan akhirat.
[7] Yaitu, berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya saw. Serta tetap bersama jama’ah kaum Muslimin dan saling
bersatu padu satu sama lainnya. Ini merupakan salah satu inti dan
tujuan syari’at.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/215 - 219.
Oleh: Fani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar