Penulis: Redaksi Asy-Syariah
Masalah kewanitaan dalam Islam menjadi
tema yang tak habis-habisnya disoroti oleh aktivis perempuan dan
kalangan feminis. Dari soal kepemimpinan, “diskriminasi” peran,
partisipasi yang “rendah” karena posisinya yang dianggap “subordinat”,
hingga poligami. Semuanya bermuara pada sebuah gugatan bahwa wanita
harus mempunyai hak yang sama alias sejajar dengan pria. Seolah-olah
dalam agama ini terjadi pembedaan (yang membabi buta) antara pria dan
wanita.
Adalah sebuah kenyataan, wanita
berbeda dengan pria dalam banyak hal. Dari perbedaan kondisi fisik, sisi
emosional yang menonjol, sifat-sifat bawaan, dan sebagainya.
Makanya syariat pun memayungi perbedaan ini dengan adanya fiqh yang
khusus diperuntukkan bagi laki-laki dan fiqh yang dikhususkan bagi
perempuan.
Secara fisiologis, misalnya, wanita
mengalami haid hingga berkonsekuensi berbeda pada hukum-hukum yang
dibebankan atasnya. Sementara dari kejiwaan, pria umumnya lebih
mengedepankan akalnya sehingga lebih bijak, sementara wanita cenderung
mengedepankan emosinya. Namun dengan emosi yang menonjol itu, wanita
patut menjadi ibu yang mana punya ikatan yang kuat dengan anak.
Sebaliknya, dengan kelebihannya, laki-laki pantas menjadi pemimpin
sekaligus menjadi tulang punggung dalam rumah tangganya.
Hal-hal di atas bersifat kodrati, bukan
label sosial yang dilekatkan (sebagaimana sering didalilkan kaum
feminis). Semuanya itu merupakan tatanan terbaik yang diatur Sang
Pencipta, Allah l. Kelebihan dan kekurangan masing-masing akan saling
melengkapi sehingga pria dan wanita bisa bersenyawa sebagai suami istri.
Namun tatanan ini nampaknya hendak dicabik-cabik oleh para penjaja
emansipasi yang mengemasnya sebagai “kesetaraan” jender, yang mana hal
itu telah diklaim sebagai simbol kemajuan di negara-negara Barat.
Para feminis dan aktivis perempuan itu
seolah demikian percaya bahwa kemajuan terletak pada segala hal yang
berbau Barat. “Akidah” ini, sekaligus merupakan potret dari sebagian
masyarakat Islam sekarang. Di mana busana, kultur, sistem politik
(demokrasi) hingga makanan ‘serba Barat’ telah demikian kokoh menjajah
‘gaya hidup’ sebagian kaum muslimin.
Demikian juga emansipasi. Propagandanya
telah memperkuat citra yang rendah terhadap ibu rumah tangga -yang jamak
ditekuni oleh sebagian besar muslimah-, bahwa berkutatnya wanita dalam
wilayah domestik dianggap keterbelakangan sebelum bisa menapaki karir.
Falsafah ini kian diperparah dengan
paham yang mendewakan kecantikan fisik. Alhasil, ada wanita yang tidak
mau menyusui, hanya mau melahirkan lewat jalan operasi, dan sebagainya,
(konon) demi semata menjaga “bentuk tubuh”. Sedemikian rusaknya
pandangan ini, hingga anak pun dianggap sebagai penghambat kemajuan
(karir).
Sejatinya, jika mau jujur, emansipasi
tak lebih dari “produk gagal” dari industri peradaban Barat. Hanya
karena kemasan alias silau terhadap kemajuan (fisik) Barat kemudian
lahirlah pemahaman bahwa kemunduran negara-negara Islam disebabkan tidak
mengikuti Barat, seakan menjadi harga mati.
Padahal kalau kita menilik sejarah,
bukan teknologi atau tatanan pergaulan ala Barat sekarang yang membuat
Islam jaya di masa silam. Apa arti teknologi jika tidak diimbangi
keimanan. Yang terjadi, teknologi justru kemudian digunakan untuk
membunuh, mengeksploitasi alam, menjajah negara lain apalagi hanya
dengan dalih menangkap gembong teroris, memainkan perannya sebagai
polisi dunia, serta menjerat negara berkembang dengan hutang plus
(intervensi politik).
Negara Barat seakan tutup mata dengan
keroposnya sendi-sendi masyarakat mereka karena tingginya angka
perceraian, meratanya seks bebas, meningkatnya homoseksualitas (karena
dilegalkan), kentalnya praktik rasial (terhadap warga non kulit putih),
dan sebagainya.
Makanya jika kita masih saja berkaca dengan Barat, sudah saatnya kita meninjau ulang emansipasi!
(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008, Kategori: Pengantar Redaksi & Sajian, Judul: Meninjau Ulang Emansipasi, hal. 2. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=610)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar