::: Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Peribahasa ini sangat tepat untuk menggambarkan keadaan kaum wanita di era kini. Allahul Musta’an.
“Menjadi
ibu rumah tangga atau bergelutnya wanita dalam lingkup domestik/rumah
merupakan kemunduran(?)”, adalah sekelumit citra yang kuat tertanam
sebagai buah dari propaganda emansipasi.
Dengan ini, para wanita pun terpacu untuk mengejar karir meski hanya
untuk meraih simbol status. Padahal tanpa disadari, banyak hal yang
mereka pertaruhkan di sini.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Peribahasa ini sangat tepat untuk menggambarkan keadaan kaum wanita di
era kini. Ini terkait perjuangan emansipasi yang menghendaki kebebasan
kaum wanita manggung di ruang publik. Betapa tidak. Kala gerakan
emansipasi ini menggerus feodalisme yang mengungkung kaum wanita, dan
menyuarakan kebebasan untuk berkarir, pada saat itu kaum wanita
terpelanting pada arus budaya kapitalisme. Wanita menjadi komoditas,
barang dagangan utama. Wanita dieksploitasi para pemilik
modal/kapitalis.(1) Suara kebebasan yag didengungkan
hanya mengantarkan kaum wanita menjadi mesin-mesin ekonomi. Harkat,
martabat, dan kemuliaan yang dicitakan cuma sebatas angan. Malang nian
nasib kaum wanita. Lepas dari mulut buaya, masuk mulut harimau.
Emansipasi tak mampu mengangkatnya dari titik nadir keterpurukan.
Masih berkutat di ruang publik. Angin
kebebasan bagi kaum wanita berembus pula ke kubangan politik. Wanita
berpacu memperebutkan kursi. Entah kursi eksekutif atau legislatif. Kaum
wanita pun sudah tak sungkan dan malu lagi untuk turun ke jalan. Mereka
demonstrasi mengikuti arus kebebasan. Walau untuk itu, mereka harus
menggendong anaknya, berbaur dengan lawan jenis, mendedahkan aurat
berteriak di jalanan dan keluar rumah dengan keperluan yang tak
dilandasi syar’i.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani rahimahullahu pernah ditanya terkait aktivitas kaum Hawa di
luar rumah. Beliau rahimahullahu menuturkan bahwa pokok masalah
(hukum asal) pembicaraan tentang wanita ini berdasar firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala terkait individu para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Lantas beliau rahimahullahu mengutip pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu: “Sesungguhnya,
hukum asal bagi laki-laki (adalah) pergi dan keluar (dari rumah).
Sedangkan bagi wanita (adalah) tetap tinggal di rumah, tidak keluar,
kecuali jika ada keperluan yang mengharuskan dia keluar rumah.”
Lebih lanjut, beliau rahimahullahu menuturkan bahwa dalam Shahih Al-Bukhari, tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan hijab kepada kaum wanita, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Allah telah mengizinkan bagi kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) tatkala kalian memiliki keperluan (darurat).” (2)
Maka, bila seorang wanita keluar dari
rumahnya dengan memakai jilbabnya, tidak memakai parfum (wewangian),
lantaran ada keperluan, maka yang demikian diperbolehkan. Apabila dia
keluar rumah diiringi pelanggaran terhadap hal-hal yang kami isyaratkan
tadi (seperti tidak menutup aurat atau mengenakan wewangian, pen.) atau
mengganggu sebagian kewajiban di rumahnya, maka berlakulah ayat
Al-Qur`an: “Dan hendaklah kamu tetap di rumah-rumahmu.”
Tidak boleh bagi seorang wanita keluar (rumah) dan meninggalkan anak-anaknya bersama pembantu. Karena, seorang ibu lebih mengetahui apa saja kebutuhan yang diminta anak-anaknya. Dia pun mengetahui kebaikan apa saja bagi anak-anaknya berkenaan dengan arahan dan pendidikan. (Masa`il Nisa`iyyah Mukhtarah min Fiqhi Al-’Allamah Al-Albani rahimahullahu, Ummu Ayyub Nurah bintu Ahsan Ghawi, hal. 79)
Demikian Islam membimbing kaum wanita.
Namun bagi kalangan pegiat emansipasi, bimbingan semacam ini dianggap
sebagai tindak mengekang kebebasan wanita. Mereka, dengan gelap mata,
menuduh bahwa kaum wanita cuma diposisikan untuk urusan domestik: kasur,
pupur, dapur. Atau istilah lain: macak, masak, manak.
Dengan segala latar belakang sejarah dan
pemikiran gerakan emansipasi yang bertolak belakang dengan Islam, maka
bagi kalangan pegiat emansipasi melihat Islam dari sudut negatif. Karena
benak mereka telah dirasuki sejarah dan pemikiran emansipasi tersebut,
mereka mendekati Islam dengan dasar curiga. Sehingga, mereka melihat apa
yang telah diatur dalam Islam sebagai bentuk penistaan terhadap kaum
wanita. Mereka melihat kemajuan dan kemuliaan wanita adalah manakala
telah mampu melampaui atau sama dengan yang dicapai kaum pria. Kemajuan
dan kemuliaan wanita identik dengan jabatan, gelar, atau status sosial
yang dicapai. Hal-hal yang bersifat keakhiratan, keshalihan, ketaatan
dan keimanan dianggap sebagai angin lalu.
Dengan corak pemikiran semacam itu, yang
tidak bertumpu pada nilai-nilai Islam yang benar, maka keberadaan kaum
wanita yang memainkan peran domestiknya dianggap sebagai kemunduran. Tak
terbetik dalam diri mereka nilai keutamaan seorang wanita yang sabar
dalam menghadapi kesulitan mengurusi rumah tangga. Tak terbetik pula
dalam diri mereka, keutamaan seseorang yang tetap mengingat Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan dzikir kala sulit melilit rumah tangganya.
Dikisahkan dari hadits Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Fathimah radhiyallahu ‘anha
mengeluhkan tangannya akibat penggilingan (yang digerakkan tangannya).
Sedangkan pada saat itu terbetik berita bahwa didatangkan tawanan perang
(budak) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, bertolaklah
Fathimah untuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan maksud
bisa meminta budak untuk dijadikan pembantu di rumahnya). Namun,
ternyata dia tak bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia bertemu
Aisyah radhiyallahu ‘anha. Diungkapkanlah apa yang menjadi keinginan
hatinya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha. Maka, ketika Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tiba, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan tentang
hal itu kepada beliau. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendatangi mereka berdua. Saat ditemui, mereka berdua tengah berbaring
di tempat tidur. “Tetaplah kalian di tempat,” kata Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lantas beliau duduk di antara keduanya (Ali dan
Fathimah radhiyallahu ‘anhuma). Kata Ali, “Hingga aku rasakan dinginnya
kedua kaki beliau di perutku.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Maukah aku ajari kalian berdua tentang
sesuatu yang lebih baik dari (pembantu) yang kalian berdua minta?
Apabila kalian berdua telah mendapati tempat pembaringan (menjelang
tidur), hendaknya bertakbir (mengagungkan-Nya) 34 kali, bertasbih
(menyucikan-Nya) 33 kali, dan bertahmid (memuji-Nya) 33 kali. Maka, itu
(semua) lebih baik daripada seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari, Bab
‘Amalil Mar`ah fi Baiti Zaujiha, no. 5361, dan Bab Khadimul Mar`ah, no.
5362; Muslim, Bab At-Tasbih Awwalan Nahar wa ‘indan Naum, no. 2727)
Berkenaan hadits di atas, Al-Imam Ibnu
Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menjelaskan, bahwa dengan membiasakan
berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya akan diberikan
kekuatan yang lebih besar dibanding kekuatan yang mampu dikerjakan oleh
seorang pembantu. Atau (dengan membiasakan berdzikir kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala) akan mempermudah urusan. Sekiranya terjadi
seseorang diberi beragam urusan, dengan (dzikir) itu akan lebih
memudahkan dibanding diberi seorang pembantu kepadanya. Yang jelas,
kandungan hadits di atas memiliki maksud betapa manfaat tasbih
(menyucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala) dikhususkan terhadap kampung
akhirat, sedangkan manfaat adanya pembantu khusus menggapai (apa yang
ada) di dunia saja. Padahal akhirat itu lebih baik dan lebih kekal
adanya. (Fathul Bari, Bab ‘Amalil Mar`ah fi Baiti Zaujiha, penjelasan
hadits no. 5361, 9/484)
Begitulah solusi yang dibangun melalui pendekatan keimanan dan keshalihan.
Kisah Fathimah radhiyallahu ‘anha semoga
bisa memberi secercah cahaya bagi mata hati nan gulita. Sepenggal kisah
tersebut semoga pula bisa meneduhkan kalbu yang galau menatap kilau
dunia. Beragam kesulitan yang silih berganti tiada henti, yang menerpa
para wanita di kala mengurusi rumah tangganya, ternyata memendam untaian
pahala tiada ternilai. Ketika tugas-tugas domestik itu bisa ditunaikan
dengan penuh kesabaran, ikhlas semata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala,
maka urusan-urusan rumah yang digelutinya menjadi ladang kebaikan. Ia
akan senantiasa mereguk pahala kebaikan yang tercurah padanya. Maka,
keutamaan mana lagi yang harus dia kejar?
Tentu, bagi kalangan feminis –aktivis
perempuan yang getol menyuarakan kebebasan– hal-hal keshalihan,
ketaatan, keimanan, dan kesabaran dalam menggarap ladang kebaikan di
rumah tak akan menggiurkannya. Jangankan tergiur, untuk menoleh sesaat
saja dada terasa menyempit. Sesak terasa. Rumah baginya adalah penjara
yang membelenggu kebebasannya untuk berkiprah di luar rumah. Ingatlah,
bahwa akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS.Al-A’la: 17)
“Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu dari permulaan (dunia).” (QS.Adh-Dhuha: 4)
Menurut Ibnu Katsir rahimahullahu,
maksud ayat ini, bahwa kehidupan akhirat lebih baik bagimu dari
(kehidupan) di dunia ini. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 7/395)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan perumpamaan tentang kehidupan dunia. Berdasar hadits Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidur di atas selembar tikar. Tatkala beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bangun, nampak bekas tikar di bagian rusuknya. Lantas
kami katakan kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana) seandainya
(tempat tidurmu) kami lapisi lembaran yang lebih baik?’ Maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apa urusanku dengan dunia?! Tiadalah aku dalam (menyikapi dunia) kecuali seperti seorang pengelana yang berteduh di bawah pohon, kemudian beristirahat dan meninggalkan pohon tersebut.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2377. Hadits ini dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu)
Bila dicermati, semakin laju zaman,
keengganan –bahkan penolakan– terhadap peran domestik ini makin menguat.
Berpokok pada kejahilan umat terhadap Islam, diperparah dengan gempuran
budaya materialistik kapitalistik sehingga membentuk cara berpikir yang
pragmatis, simpel, praktis, dengan meninggalkan idealisme beragama.
Bahkan kondisi demikian menggejala nyaris di semua lini kehidupan.
Tak terkecuali dengan nilai-nilai Islam.
Beberapa kalangan dari kaum muslimin, khususnya mereka yang fokus
terhadap emansipasi wanita, mulai bersuara sumbang. Mereka katakan,
tafsir terkait masalah wanita dihasilkan dari dominasi penafsir
laki-laki sehingga cenderung membela laki-laki.
Terlontar pula dari
mereka bahwa tafsir terkait masalah wanita dihasilkan pada abad-abad
pertengahan yang merupakan abad kemunduran. Ungkapan-ungkapan yang
mereka lansir adalah upaya untuk mengecoh umat dari nilai-nilai Islam.
Sengaja mereka tebarkan ungkapan sejenis itu guna menjatuhkan
kredibilitas para ulama. Jika umat sudah tidak lagi memercayai ulamanya,
kepada siapa lagi mereka menyandarkan diri dalam masalah agama? Dari
sinilah kita memahami bahwa ada rencana besar di balik ini semua, yaitu
menghancurkan kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dari semua ini.
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk
taqlid buta. Namun, Islam pun mengajarkan kepada umatnya untuk
menghormati para ulama. Tidak melecehkan mereka, apalagi menghilangkan
kepercayaan terhadapnya. Para ulama adalah orang-orang yang takut kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Al-Imam Al-Ajurri rahimahullahu dalam
Akhlaqul ‘Ulama` (hal. 47), menjelaskan tentang sifat-sifat para ulama
atau seorang yang alim. Beberapa pernyataan salafush shalih yang beliau
nukil, seperti apa yang dinyatakan Al-Imam Al-Auza’i rahimahullahu yang
berkata: “Aku telah mendengar Yahya bin Abi Katsir menyatakan, seorang
alim adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan
(yang) takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang yang wara’
(yang menjauhi maksiat dan syubuhat).”
Kata Masruq rahimahullahu, “Cukuplah
seorang termasuk berilmu, manakala dia takut kepada Allah. Dan
cukuplah seseorang termasuk dalam kebodohan (jahil) manakala dia merasa
ujub (bangga) dengan ilmunya.”
Atas dasar sikap takut kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan akhlak terpuji lainnya, para ulama menyampaikan
bimbingannya. Apa yang disampaikan para ulama benar-benar didasari rasa
tanggung jawab yang besar. Tak cuma di hadapan umat, lebih dari itu
semuanya bakal dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Karenanya, sungguh tidak memiliki dasar ilmiah sama sekali,
mereka yang melansir ucapan bahwa tafsir masalah wanita cenderung
membela laki-laki, atau yang semakna dengan itu. Selain itu, dalam
khazanah Islam telah terbentuk tradisi metodologi keilmuan yang ketat.
Ini bisa dikaji secara ilmiah. Sehingga apa yang disampaikan para ulama
bukan sesuatu yang asal ucap tanpa dasar pijakan yang kokoh.
Kebenaran itu datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti firman-Nya:
“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS.Al-Baqarah: 147)
Jalan untuk menggapai kebenaran itu pun
hanya satu. Tidak ada jalan selain jalan yang telah ditetapkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karenanya, segenap manusia diseru untuk menempuh jalan yang satu
tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan bahwa inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS.Al-An’am: 153)
Ibnu Katsir rahimahullahu dalam
tafsirnya menyebutkan hadits yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullahu dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaris satu guratan garis
dengan tangannya, kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allah yang lurus.’
Lantas mengguratkan di sebelah kanan dan kiri garis tadi, kemudian
bersabda, ‘Ini jalan-jalan, tak ada dari salah satu jalan tersebut
kecuali setan menyeru kepadanya.’ Kemudian beliau membaca ayat di atas
(QS.Al-An’am: 153).”
Menempuh jalan –dalam memahami, meyakini
dan mengamalkan agama– dengan jalan yang bukan dituntunkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya
tertolak.
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS.Ali ‘Imran: 85)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Barangsiapa mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang tidak ada padanya, maka dia tertolak.” (HR. Al-Bukhari, no. 2697, Muslim, no. 1718)
Untuk memalingkan muslimah dari jalan
Islam, kalangan feminis (baca: para aktivis emansipasi) terus
mempropagandakan ide-idenya. Bisa dilihat selembar potret kusam yang
menggambarkan rekayasa penghancuran kaum muslimah di Timur Tengah. Meski
apa yang terjadi di Indonesia tak kalah dahsyat tentunya. Sebut misal,
Markus Fahmi, seorang Qibthi Mesir, penulis buku Wanita di Timur. Dengan
lantang tanpa ragu dia menuntut lima hal:
(1) Singkirkan hijab (jilbab syar’i, ed.),
(2) Membolehkan ikhtilath (membaurkan kaum wanita dengan laki-laki),
(3) Nikahkan muslimah dengan laki-laki Kristen,
(4) Menolak poligami,
(5) Talak harus di depan hakim (bukan
menjadi hak suami, pen.). (Mu’amaratul Mar`ah Al-Kubra, Asy-Syaikh
Muhammad Al-Imam, 1/70-71)
Maka, adakah dari kelima hal di atas,
yang kini merebak di Indonesia? Bandingkan dengan suara wanita Indonesia
–meski tak semuanya– pada acara Kongres Perempuan Pertama di
Yogyakarta: “Menoeroet hoekoem agama Islam, orang lelaki itoe boleh
mempoenjai isteri lebih dari seorang, ja hingga empat orangpoen boleh
djoega. Hal inilah jang menjakitkan hati kita kaoem perempoean, dan
djoega merendahkan deradjatnja orang perempoean….” (Kongres Perempuan
Pertama, Tinjauan Ulang, Susan Blackburn, 1/98)
Seruan yang nyaris sepadan disuarakan
pula oleh Ana Maria Ilyas, feminis asal Suriah, penulis Kepemimpinan
atas Wanita Islam. Dia menggagas acara festival yang menjiplak
mentah-mentah Festival Paris di Perancis. Festival ini menjadi ajang
berbaur bebas antara pria dan wanita. Dari berbagai orang Eropa, Mesir,
dan orang-orang Barat yang bermukim di Mesir, khususnya dari kalangan
Kristiani, mereka berkumpul. Latar belakang mereka, selain orang-orang
Eropa, juga memiliki pikiran sekularis dan Yahudi. Maka, kata Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdullah Al-Imam hafizhahullah, inilah hakikat seruan
kepada (kebebasan) hak-hak wanita. Mungkinkah bisa terjadi seruan
terhadap (kebebasan) hak-hak wanita tersebut tanpa menerima kelompok
orang-orang berdosa dan menyimpang itu? (Tentunya, tidak mungkin).
Bahkan, mereka adalah sumber dan tempat merujuk. Perhatikanlah,
bagaimana (lantaran menyuarakan hak-hak wanita) mereka bergelimang pada
perkara-perkara kekufuran, dan saling mengasihi serta melindungi! La
haula wala quwwata illa billah. (Mu’amarah Al-Kubra, 1/71)
Tersebut juga nama Duriyah Syafiq.
Sekembali dari studi di Perancis dengan menggondol gelar doktor, ia
mendirikan partai politik. Dengan lantang dia menyuarakan kebebasan kaum
wanita untuk dipilih dan masuk parlemen, menghapuskan poligami, serta
memasukkan sistem perundangan Eropa dalam masalah talak ke dalam
undang-undang Mesir. (Mu’amarah Al-Kubra, 1/72)
Bandingkan dengan fenomena yang terjadi
di Indonesia. Perjuangan kaum wanita untuk mendapatkan kuota dalam
pemilihan anggota legislatif semakin menganga. Kini, syarat sebuah
partai politik berdiri, harus menyertakan keterwakilan perempuan paling
rendah 30%.
Mestikah kemajuan materi yang digapai
kini hanya akan mengeraskan hati manusia? Sehingga, dengan itu manusia
tak mau tunduk patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mestikah laju pengetahuan yang demikian canggih, menjadikan manusia angkuh, merasa diri mampu atas segalanya?
Sudah tiba saatnya, kaum muslimah
berkaca diri. Menatap tentang keadaan dirinya. Sudahkah bersolek dengan
hiasan keimanan, ketaatan, dan keshalihan? Lalu menggubah rumah menjadi
madrasah bagi masa depan anak-anaknya.
“Dan seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suami dan anaknya.” (HR. Al-Bukhari, no. 5200, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Wallahu a’lam.
*Footnote :
(1) Dijadikan pemikat guna melariskan dan memuluskan usaha. Baik di perkantoran, di dunia periklanan, atau lainnya, nyaris selalu mengedepankan kaum wanita.
(1) Dijadikan pemikat guna melariskan dan memuluskan usaha. Baik di perkantoran, di dunia periklanan, atau lainnya, nyaris selalu mengedepankan kaum wanita.
(2) Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitabun Nikah, Bab Khurujun Nisa` li Hawa`ijihinna, hadits no. 5237. (pen)
(http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=612)
Sumber: http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1277
Tidak ada komentar:
Posting Komentar