Penulis: Al Ustadz Abu Muqbil Ahmad Yuswaji
Saudariku muslimah..
Istri shalihah percaya bahwa tempat terbaik untuk menjaga diri dari keterjerumusan ke dalam jurang kebinasaan adalah tinggal di rumahnya, karena itu ia tidak menjadi orang yang suka keluar dan pergi dari rumah.
Istri shalihah beriman terhadap firman Allah Ta’ala, yaitu perintah untuk tinggal di dalam rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan tinggallah kalian (para wanita) di rumah-rumah kalian”. (Qs. Al Ahzaab: 33).
Saudariku muslimah…
Istri shalihah percaya bahwa tempat terbaik untuk menjaga diri dari
keterjerumusan ke dalam jurang kebinasaan adalah tinggal di rumahnya,
karena itu ia tidak menjadi orang yang suka keluar dan pergi dari rumah.
Istri shalihah beriman terhadap firman Allah Ta’ala, yaitu perintah untuk tinggal di dalam rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan tinggallah kalian (para wanita) di rumah-rumah kalian”. (Qs. Al Ahzaab: 33).
Makna ayat ini adalah perintah agar para wanita tetap tinggal di dalam
rumah, meskipun asalnya ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam namun wanita selain mereka termasuk ke
dalam ayat ini dari sisi maknanya.
Hal ini kalau tidak ada dalil khusus
yang mencakup seluruh wanita, bagaimana??!. Sedangkan syariat telah
menerangkan agar supaya wanita tinggal di rumah mereka dan menahan diri
untuk keluar dari rumah kecuali untuk suatu yang darurat. Allah Ta’ala
memerintahkan kepada para istri Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam untuk
tetap tinggal di rumah-rumah mereka dan mereka menjadi orang yang
dituju oleh ayat tadi secara langsung sebagai bentuk penghormatan bagi
mereka.
Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya (3/482), “Tetaplah
kalian di rumah kalian, janganlah keluar tanpa ada kebutuhan, di antara
kebutuhan yang syar’i adalah shalat di masjid dengan berbagai
syaratnya”
Muhammad bin Siirin berkata, “Saya
diberitahu bahwa Saudah (istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam)
pernah ditanya, “Kenapa kamu tidak haji dan juga tidak umrah seperti
yang dilakukan oleh saudari-saudarimu?”.
Ia menjawab, “Saya sudah pernah haji dan juga pernah umrah, Allah Ta’ala
memerintahkan untuk tetap tinggal di rumahku. Demi Allah, saya tidak
akan keluar dari rumahku sampai mati”.
Muhammad berkata, “Demi Allah, ia tidak pernah keluar dari pintu kamarnya hingga ia keluar dalam keadaan sudah menjadi jenazah”.
Muhammad berkata, “Demi Allah, ia tidak pernah keluar dari pintu kamarnya hingga ia keluar dalam keadaan sudah menjadi jenazah”.
Ibnul Arabi -semoga Allah merahmatinya- berkata,
“Sungguh saya telah memasuki beribu-ribu kampung, saya belum pernah melihat para wanita yang lebih menjaga keluarganya dan menjaga harga dirinya dari pada wanita negeri Nablus, suatu negeri yang Nabi Ibrahim pernah dilemparkan ke dalam api. Saya pernah tinggal di negeri tersebut dan saya tidak pernah melihat seorang perempuan pun di jalanan pada siang hari kecuali pada hari Jum’at, mereka keluar ke masjid pada hari Jum’at hingga masjid-masjid pun penuh sesak dengan mereka. Bila telah selesai shalat maka mereka segera kembali ke rumah mereka dan saya tidak melihat seorang perempuan pun sampai hari Jum’at berikutnya.
“Sungguh saya telah memasuki beribu-ribu kampung, saya belum pernah melihat para wanita yang lebih menjaga keluarganya dan menjaga harga dirinya dari pada wanita negeri Nablus, suatu negeri yang Nabi Ibrahim pernah dilemparkan ke dalam api. Saya pernah tinggal di negeri tersebut dan saya tidak pernah melihat seorang perempuan pun di jalanan pada siang hari kecuali pada hari Jum’at, mereka keluar ke masjid pada hari Jum’at hingga masjid-masjid pun penuh sesak dengan mereka. Bila telah selesai shalat maka mereka segera kembali ke rumah mereka dan saya tidak melihat seorang perempuan pun sampai hari Jum’at berikutnya.
Al ‘Allamah Kamaluddin Al Adhami -semoga Allah merahmatinya- berkata, “Tetap
tinggal di rumah bagi seorang perempuan adalah gerbang kebaikan, yang
memasukinya akan aman kehormatannya, jiwanya, hartanya, agamanya dan
kemuliaannya”.
Rumah
adalah tempat yang paling mulia untuk menjaga harga diri dan kehormatan
bagi wanita, karena ia dapat menunaikan kewajiban rumah tangganya,
dapat memenuhi hak suami dan anak-anaknya serta menjalankan ajaran
agamanya tanpa disibukkan dengan berbagai kesibukan di luar rumah.
Bahkan ia punya waktu luang untuk tetap beribadah, membaca buku-buku
agama dan mempelajari akhlak yang sejati.
Saat itulah ia bisa menikmati lezatnya
hidup, ia juga akan bisa menyadari bahwa kebahagiaan telah
menyelimutinya. Bagaimana tidak demikian, Rabbnya telah ridha kepadanya,
suaminya puas dengannya karena ia menjalankan semua yang menjadi
kewajibannya.
Kebahagiaan mana lagi yang lebih besar bagi seorang perempuan dari pada keridhaan Rabbnya dan kepuasan suaminya.
Hal ini sangat berbeda dengan perempuan yang suka keluar dan pergi dari
rumahnya, perempuan yang tidak betah tinggal di rumahnya walau sesaat.
Bahkan sukanya pergi kesana kemari baik malam maupun siang hari.
Berkumpul dan berbaur dengan semua orang tanpa melihat apakah itu mahram
atau bukan, halal atau haram. Bila pulang ke rumahnya maka kepalanya
sudah penuh berbagai macam tuntutan dan permintaan karena pengaruh apa
yang dilihat dan disaksikannya. Lalu ia meminta uang kepada suaminya dan
kadang keadaan suaminya tidak mampu memenuhi permintaannya maka
mulailah menyala api perselisihan di antara keduanya. Lantas ia pun
tidak peduli dengan urusan rumahnya, pendidikan anak-anaknya, tidak
menjalankan kewajiban terhadap Rabbnya juga terhadap suaminya. Ia pun
melecehkan buku-buku agama dan adab jika ia bisa membaca dan menulis,
bahkan ia konsentrasi untuk membaca buku murahan dan buku-buku vulgar,
bila dinasihati oleh suaminya maka ia berbangga dengan dosa yang
dilakukannya malah ia akan menyerang balik dengan mencaci dan
mencelanya.
Pada setiap saat kamu mendapatinya sesak
dadanya, picik pemikirannya dan inilah balasannya dengan sebab apa yang
diperbuatnya. Allah Ta’ala telah berfirman,
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (Qs. Thaha: 124)
Itu semua adalah akibat keluar dari rumah dan tidak adanya keterikatan dengan hukum syar’i. Dampak
negatif keluar dari rumah dan tidak menetap di dalamnya yang pertama
kali nampak adalah melecehkan dan meremehkan kenikmatan yang ada
padanya, menganggap suaminya dengan sebelah mata karena ia telah melihat
kehidupan yang lebih enak dari pada yang dialaminya dan mulailah ia
mencela suaminya, apalagi kalau suaminya lebih tua atau terlambat
memberikan nafkahnya.
Lalu akan merangkaklah bibit
pertengkaran dan percekcokan yang kadang bisa mengantarkan kepada
perceraian dan perpisahan, dan pada saat itulah rumah tangganya menjadi
berantakan dan hidupnya menjadi hancur.
Perempuan yang tetap tinggal
di rumahnya, akan kamu lihat ia berada dalam puncak kenikmatan dan
berdampingan dengan suaminya yang terbaik. Matanya tidak jelalatan
kepada selain suaminya, ia tidak mengingkari kenikmatan yang diberikan
oleh suaminya walau pun sedikit. Tidak ada celah bagi setan untuk
menciptakan perselisihan di antara keduanya. Keduanya hidup bersama
dengan penuh kebahagiaan dan kecerahan hidupnya diridhai, semua itu
adalah berkah dari tetap tinggalnya seorang perempuan di rumahnya.
Saudariku muslimah…
Islam menghendaki seorang istri shalihah berada dalam keadaan yang sangat baik, jauh dari keragu-raguan dan syubhat-syubhat.
Karena itu bila memang ada
kebutuhan yang mendesak untuk keluar maka hendaknya ia keluar dengan
memakai hijab (pakaian penutup aurat), berjalan dengan sopan,
menundukkan mata dan menghindari jalan bagian tengah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Tidak boleh bagi wanita berjalan di jalan bagian tengah”. Hadits Hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (7/447), Ad-Daulabi (1/45), Al Baihaqi (7821, 7823) dalam kitab Syu’abul Iman dan ada beberapa penguatnya
Wanita shalihah berjalan di bagian pinggir jalan bukan di
tengahnya, karena berjalan di tengah jalan merupakan sebab dirinya
menjadi sasaran pandang kaum lelaki, lalu berjalannya tersebut
menghilangkan kewibawaan dirinya dan penghormatan kepadanya.
Adapun wanita yang berjalan di pinggir
jalan jauh dari bagian tengahnya, maka ia telah mengurangi sorotan
pandangan lelaki dan menjauhkan penilaian negatif terhadap dirinya. Ia
keluar dari rumahnya dengan memakai hijabnya, berjalan dengan penuh
penghormatan, jauh dari segala hal yang bisa mendatangkan syubhat.
Saudariku muslimah…
Maksud dari hadits ini bukan seperti yang banyak disangka oleh sebagian besar muslimah bahwa maksud dari hadits ini adalah membatasi ruang gerak seorang perempuan atau mengurangi peranannya, sesungguhnya maksudnya adalah untuk mengatur bagaimana seorang perempuan keluar dari rumahnya.
Maksud dari hadits ini bukan seperti yang banyak disangka oleh sebagian besar muslimah bahwa maksud dari hadits ini adalah membatasi ruang gerak seorang perempuan atau mengurangi peranannya, sesungguhnya maksudnya adalah untuk mengatur bagaimana seorang perempuan keluar dari rumahnya.
Hukum
asalnya seorang perempuan adalah tinggal di rumahnya, memikirkan urusan
rumahnya dan tidak keluar kecuali dalam keadaan darurat saja dengan
memperhatikan ketentuan yang disyari’atkan bagi wanita yang hendak
keluar rumah, seperti halnya kewajiban berhijab sempurna, tidak berhias,
jauh dari campur-baur dgn laki2 non mahram dll. Dan kalaulah seorang
perempuan ingin bekerja maka harus pada hal-hal yang dibolehkan oleh
syariat yang lurus ini berupa pekerjaan-pekerjaan yang memang khusus
bagi kaum hawa.
Adapun seorang perempuan keluar dari
rumahnya dengan berpenampilan tabarruj (berdandan dan tidak menutup
aurat), berkeliaran di jalan-jalan, bercampur-baur dengan lelaki dengan
anggapan bahwa ia sedang bekerja dan berusaha maka perkara ini
memerlukan pemikiran yang panjang. Seorang perempuan mestinya intropeksi
diri dan menimbang-nimbang pekerjaannya. Kemanakah perginya agama dia
karena sebab ngobrol dengan lelaki dalam perkara yang tidak ada
hubungannya dengan pekerjaanya??.
Bahkan kemanakah perginya pekerjaannya yang semestinya seorang perempuan
berlomba-lomba untuk bisa memberikan manfaat kepada anak-anak generasi
kaum muslimin atau untuk kaum hawa sejenisnya?.
Sesungguhnya seorang istri pada saat ini
menganggap bahwa pekerjaan merupakan sarana untuk mencukupi dirinya dan
dunianya, menurut kadar pemahaman agamanya yang lemah.
Lalu bagaimana keadaanmu wahai para istri dan saudariku muslimah.
Lalu bagaimana keadaanmu wahai para istri dan saudariku muslimah.
Andai Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam melihat keadaan wanita
saat ini dan melihat perbuatan mereka yang sia-sia di jalanan juga
melihat pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh wanita saat ini, apakah
yang akan dikatakan oleh Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam?!!.
Ibu kita, Aisyah Radhiyallahu ‘anha
berkata, “Andai Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam melihat apa
yang dilakukan oleh para wanita saat ini, tentulah beliau tidak akan
mengizinkan mereka untuk keluar, yakni keluar ke masjid untuk shalat”.
Perkataan beliau ini diucapkan tak
selang lama setelah wafat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam,
lantas bagaimana keadaan para wanita pada zaman kita ini yang sangat
jauh dari zaman Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dan telah lewat lima
belas abad dari masa Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam?!.
Wahai para wanita yang ingin mencapai martabat Istri shalihah.
Wahai para wanita yang menginginkan kebahagian rumah tangga.
Kalian harus tetap tinggal di rumahmu, menangislah untuk kesalahanmu dan carilah keridhaan Rabb-mu.
Wahai para wanita yang menginginkan kebahagian rumah tangga.
Kalian harus tetap tinggal di rumahmu, menangislah untuk kesalahanmu dan carilah keridhaan Rabb-mu.
(http://www.ahlussunnah-jakarta.org/detail.php?no=171)
Sumber: http://www.darussalaf.or.id/myprint.php?id=546
Tidak ada komentar:
Posting Komentar