Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Setelah
sebelumnya kita mengkaji siapakah pria yang mesti dijauhi dan tidak
dijadikan idaman maupun idola, maka untuk kesempatan kali ini kita
spesial akan membahas wanita. Siapakah yang pantas menjadi wanita
idaman? Bagaimana kriterianya? Ini sangat perlu sebelum melangkah ke
jenjang pernikahan, sehingga si pria tidak salah dalam memilih. Begitu
juga kriteria ini dimaksudkan agar si wanita bisa selalu introspeksi
diri. Semoga bermanfaat.
Kriteria Pertama: Memiliki Agama yang Bagus
Inilah
yang harus jadi kriteria pertama sebelum kriteria-kriteria lainnya.
Tentu saja wanita idaman memiliki aqidah yang bagus, bukan malah aqidah
yang salah jalan. Seorang wanita yang baik agamanya tentu saja tidak
suka membaca ramalan-ramalan bintang seperti zodiak dan shio. Karena ini
tentu saja menunjukkan rusaknya aqidah wanita tersebut. Membaca ramalan
bintang sama halnya dengan mendatangi tukang ramal. Bahkan ini lebih
parah dikarenakan tukang ramal sendiri yang datang ke rumahnya dan ia
bawa melalui majalah yang memuat berbagai ramalan bintang setiap pekan
atau setiap bulannya. Jika cuma sekedar membaca ramalan tersebut,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, lalu ia bertanya mengenai sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama 40 malam.”[1] Jika sampai membenarkan ramalan tersebut, lebih parah lagi akibatnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa
mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkan apa yang mereka
katakan, maka ia telah kufur pada Al Qur’an yang diturunkan pada
Muhammad.”[2]
Begitu pula ia paham tentang hukum-hukum Islam yang berkenaan dengan dirinya dan juga untuk mengurus keluarga nantinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan seorang pria untuk memilih perempuan yang baik agamanya. Beliau bersabda,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Perempuan
itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan
kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak,
niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi”.[3]
Perhatikanlah kisah berikut yang menunjukkan keberuntungan seseorang yang memilih wanita karena agamanya.
Yahya
bin Yahya an Naisaburi mengatakan bahwa beliau berada di dekat Sufyan
bin Uyainah ketika ada seorang yang menemui Ibnu Uyainah lantas berkata,
“Wahai Abu Muhammad, aku datang ke sini dengan tujuan mengadukan fulanah -yaitu istrinya sendiri-. Aku adalah orang yang hina di hadapannya”. Beberapa saat lamanya, Ibnu Uyainah menundukkan kepalanya. Ketika beliau telah menegakkan kepalanya, beliau berkata, “Mungkin, dulu engkau menikahinya karena ingin meningkatkan martabat dan kehormatan?”. “Benar, wahai Abu Muhammad”, tegas orang tersebut.
Ibnu Uyainah berkata,
مَنْ
ذَهَبَ إِلىَ العِزِّ اُبْتُلِيَ بِالذَّلِّ وَمَنْ ذَهَبَ إِلَى الماَلِ
اُبْتُلِيَ بِالفَقْرِ وَمَنْ ذَهَبَ إِلىَ الدِّيْنِ يَجْمَعُ اللهُ لَهُ
العِزَّ وَالماَلَ مَعَ الدِّيْنِ
“Siapa yang menikah
karena menginginkan kehormatan maka dia akan hina. Siapa yang menikah
karena cari harta maka dia akan menjadi miskin. Namun siapa yang menikah
karena agamanya maka akan Allah kumpulkan untuknya harta dan kehormatan
di samping agama”.
Kemudian beliau mulai bercerita, “Kami
adalah empat laki-laki bersaudara, Muhammad, Imron, Ibrahim dan aku
sendiri. Muhammad adalah kakak yang paling sulung sedangkan Imron adalah
bungsu. Sedangkan aku adalah tengah-tengah. Ketika Muhammad hendak
menikah, dia berorientasi
pada kehormatan. Dia menikah dengan perempuan
yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dari pada dirinya. Pada
akhirnya dia jadi orang yang hina. Sedangkan Imron ketika menikah
berorientasi pada harta. Karenanya dia menikah dengan perempuan yang
hartanya lebih banyak dibandingkan dirinya. Ternyata, pada akhirnya dia
menjadi orang miskin. Keluarga istrinya merebut semua harta yang dia
miliki tanpa menyisakan untuknya sedikitpun. Maka aku penasaran, ingin
menyelidiki sebab terjadinya dua hal ini.
Tak disangka suatu hari
Ma’mar bin Rasyid datang. Kau lantas bermusyawarah dengannya.
Kuceritakan kepadanya kasus yang dialami oleh kedua saudaraku. Ma’mar
lantas menyampaikan hadits dari Yahya bin Ja’dah dan hadits Aisyah.
Hadits dari Yahya bin ja’dah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perempuan
itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan
kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak,
niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” (HR Bukhari dan Muslim). Sedangkan hadits dari Aisyah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Perempuan yang paling besar berkahnya adalah yang paling ringan biaya
pernikahannya” (HR Ahmad no 25162, menurut Syeikh Syu’aib al Arnauth,
sanadnya lemah).
Oleh karena itu kuputuskan untuk menikah karena
faktor agama dan agar beban lebih ringan karena ingin mengikuti sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di luar dugaan Allah kumpulkan untukku kehormatan dan harta di samping agama.[4]
Inilah
kriteria wanita idaman yang patut diperhatikan pertama kali –yaitu
baiknya agama- sebelum kriteria lainnya, sebelum kecantikan, martabat
dan harta.
Kriteria Kedua: Selalu Menjaga Aurat
Kriteria
ini pun harus ada dan jadi pilihan. Namun sayangnya sebagian pria malah
menginginkan wanita yang buka-buka aurat dan seksi. Benarlah, laki-laki
yang jelek memang menginginkan wanita yang jelek pula.
Ingatlah, sangat bahaya jika seorang wanita yang berpakaian namun telanjang dijadikan pilihan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ
الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ
مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ
لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا
لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua
golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu
kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan
[2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang,
berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita
seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya,
walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”[5] Di antara makna wanita yang berpakaian tetapi telanjang dalam hadits ini adalah:
- Wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.
- Wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang.[6]
Sedangkan aurat wanita yang wajib ditutupi adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى
أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59). Jilbab bukanlah penutup wajah,
namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai
khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”
(QS. An Nuur [24] : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar,
Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh
ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.[7]
Kriteria Ketiga: Berbusana dengan Memenuhi Syarat Pakaian yang Syar’i
Wanita
yang menjadi idaman juga sepatutnya memenuhi beberapa kriteria
berbusana berikut ini yang kami sarikan dari berbagai dalil Al Qur’an
dan As Sunnah.
Syarat pertama: Menutupi seluruh tubuh (termasuk kaki) kecuali wajah dan telapak tangan.
Syarat kedua: Bukan memakai pakaian untuk berhias diri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah pertama.”
(QS. Al Ahzab : 33). Abu ‘Ubaidah mengatakan, “Tabarruj adalah
menampakkan kecantikan dirinya.” Az Zujaj mengatakan, “Tabarruj adalah
menampakkan perhiasaan dan setiap hal yang dapat mendorong syahwat
(godaan) bagi kaum pria.”[8]
Syarat ketiga: Longgar, tidak ketat dan tidak tipis sehingga tidak menggambarkan bentuk lekuk tubuh.
Syarat keempat: Tidak diberi wewangian atau parfum. Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Seorang
perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki
agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut
adalah seorang pelacur.”[9]
Dari
Yahya bin Ja’dah, “Di masa pemerintahan Umar bin Khatab ada seorang
perempuan yang keluar rumah dengan memakai wewangian. Di tengah jalan,
Umar mencium bau harum dari perempuan tersebut maka Umar pun memukulinya
dengan tongkat. Setelah itu beliau berkata,
تخرجن متطيبات فيجد الرجال ريحكن وإنما قلوب الرجال عند أنوفهم اخرجن تفلات
“Kalian,
para perempuan keluar rumah dengan memakai wewangian sehingga para
laki-laki mencium bau harum kalian?! Sesungguhnya hati laki-laki itu
ditentukan oleh bau yang dicium oleh hidungnya. Keluarlah kalian dari
rumah dengan tidak memakai wewangian”[10].
Dari
Ibrahim, Umar (bin Khatab) memeriksa shaf shalat jamaah perempuan lalu
beliau mencium bau harum dari kepala seorang perempuan. Beliau lantas
berkata,
لو أعلم أيتكن هي لفعلت ولفعلت لتطيب إحداكن لزوجها فإذا خرجت لبست أطمار وليدتها
“Seandainya
aku tahu siapa di antara kalian yang memakai wewangian niscaya aku akan
melakukan tindakan demikian dan demikian. Hendaklah kalian memakai
wewangian untuk suaminya. Jika keluar rumah hendaknya memakai kain jelek
yang biasa dipakai oleh budak perempuan”. Ibrahim mengatakan, “Aku
mendapatkan kabar bahwa perempuan yang memakai wewangian itu sampai
ngompol karena takut (dengan Umar)”[11].
Syarat kelima: Tidak menyerupai pakaian pria atau pakaian non muslim.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَعَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ
“Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.”[12]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”.[13]
Inilah di antara beberapa syarat pakaian wanita yang harus dipenuhi. Inilah wanita yang pantas dijadikan kriteria.
Kriteria keempat: Betah Tinggal di Rumah
Di
antara yang diteladankan oleh para wanita salaf yang shalihah adalah
betah berada di rumah dan bersungguh-sungguh menghindari laki-laki serta
tidak keluar rumah kecuali ada kebutuhan yang mendesak. Hal ini dengan
tujuan untuk menyelamatkan masyarakat dari godaan wanita yang merupakan
godaan terbesar bagi laki-laki.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu” (QS Al Ahzab: 33).
Ibnu
Katsir ketika menjelaskan ayat di atas mengatakan, “Hendaklah kalian
tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian keluar rumah
kecuali karena ada kebutuhan”.[14]
Disebutkan
bahwa ada orang yang bertanya kepada Saudah -istri Rasulullah-,
“Mengapa engkau tidak berhaji dan berumrah sebagaimana yang dilakukan
oleh saudari-saudarimu (yaitu para istri Nabi yang lain, pent)?” Jawaban
beliau, “Aku sudah pernah berhaji dan berumrah, sedangkan Allah
memerintahkan aku untuk tinggal di dalam rumah”. Perawi mengatakan,
“Demi Allah, beliau tidak pernah keluar dari pintu rumahnya kecuali
ketika jenazahnya dikeluarkan untuk dimakamkan”. Sungguh moga Allah
ridha kepadanya.
Ibnul ‘Arabi bercerita, “Aku sudah pernah
memasuki lebih dari seribu perkampungan namun aku tidak menjumpai
perempuan yang lebih terhormat dan terjaga melebihi perempuan di daerah
Napolis, Palestina, tempat Nabi Ibrahim dilempar ke dalam api. Selama
aku tinggal di sana aku tidak pernah melihat perempuan di jalan saat
siang hari kecuali pada hari Jumat. Pada hari itu para perempuan pergi
ke masjid untuk ikut shalat Jumat sampai masjid penuh dengan para
perempuan. Begitu shalat Jumat berakhir mereka segera pulang ke rumah
mereka masing-masing dan aku tidak melihat satupun perempuan hingga hari
Jumat berikutnya”.[15]
Dari Abdullah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
الْمَرْأَةَ عَوْرَةٌ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا
اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ فَتَقُولُ: مَا رَآنِي أَحَدٌ إِلا
أَعْجَبْتُهُ، وَأَقْرَبُ مَا تَكُونُ إِلَى اللَّهِ إِذَا كَانَتْ فِي
قَعْرِ بَيْتِهَا”
“Sesungguhnya perempuan itu aurat.
Jika dia keluar rumah maka setan menyambutnya. Keadaan perempuan yang
paling dekat dengan wajah Allah adalah ketika dia berada di dalam
rumahnya”.[16]
Kriteria Kelima: Memiliki Sifat Malu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Rasa malu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.”[17]
Kriteria
ini juga semestinya ada pada wanita idaman. Contohnya adalah ketika
bergaul dengan pria. Wanita yang baik seharusnya memiliki sifat malu
yang sangat. Cobalah perhatikan contoh yang bagus dari wanita di zaman
Nabi Musa ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَمَّا
وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ
وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا
قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ
كَبِيرٌ (23) فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ
إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ (24)
“Dan
tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana
sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai
di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat
(ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?”
Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami),
sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak
kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya.”
(QS. Qashash: 23-24). Lihatlah bagaimana bagusnya sifat kedua wanita
ini, mereka malu berdesak-desakan dengan kaum lelaki untuk meminumkan
ternaknya. Namun coba bayangkan dengan wanita di zaman sekarang ini!
Tidak
cukup sampai di situ kebagusan akhlaq kedua wanita tersebut. Lihatlah
bagaimana sifat mereka tatkala datang untuk memanggil Musa ‘alaihis salaam; Alloh melanjutkan firman-Nya,
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan penuh rasa malu, ia berkata, ‘Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.‘” (QS. Al Qashash : 25)
Ayat
yang mulia ini,menjelaskan bagaimana seharusnya kaum wanita berakhlaq
dan bersifat malu. Allah menyifati gadis wanita yang mulia ini dengan
cara jalannya yang penuh dengan rasa malu dan terhormat.
Amirul Mukminin Umar bin Khoththob rodiyallohu ‘anhu mengatakan, “Gadis itu menemui Musa ‘alaihis salaam dengan pakaian yang tertutup rapat, menutupi wajahnya.” Sanad riwayat ini shahih.[18]
Kisah
ini menunjukkan bahwa seharusnya wanita selalu memiliki sifat malu
ketika bergaul dengan lawan jenis, ketika berbicara dengan mereka dan
ketika berpakaian.
Demikianlah kriteria wanita yang semestinya
jadi idaman. Namun kriteria ini baru sebagian saja. Akan tetapi,
kriteria ini semestinya yang dijadikan prioritas.
Intinya, jika
seorang pria ingin mendapatkan wanita idaman, itu semua kembali pada
dirinya. Ingatlah: ”Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik”. Jadi,
hendaklah seorang pria mengoreksi diri pula, sudahkah dia menjadi pria
idaman, niscaya wanita yang ia idam-idamkan di atas insya Allah menjadi
pendampingnya. Inilah kaedah umum yang mesti diperhatikan.
Semoga Allah memudahkan kita untuk selalu mendapatkan keberkahan dalam hidup ini.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Diselesaikan -berkat nikmat Allah- di Pangukan-Sleman, 14 Shofar 1431 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar